Perang Dagang AS-Cina, Mengapa Xi Jinping Ogah Takluk dengan Intimidasi Trump?
Perang dagang yang semula dilancarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke semua negara dan menjadi yang terbesaar dalam sejarah, kini mengerucut ke satu target tunggal yakni Cina. Kedua negara ekonomi terbesar dunia ini saling berbalas tarif dalam beberapa hari terakhir.
Trump pada Rabu (9/4) mengumumkan penundaan kebijakan tarif tinggi untuk puluhan negara, di atas tambahan tarif yang berlaku universial sebesar 10%. Namun khusus terhadap Cina, Trump memutuskan tambahan tarif lebih tinggi yakni mencapai 125% sebagai respons atas sikap Beijing yang enggan mengalah.
Perang tarif antara AS dan Cina yang berlangsung cepat ini mengejutkan. Dalam kurun waktu seminggu, tarif Trump atas impor Tiongkok telah melonjak dari 54% menjadi 104% dan sekarang menjadi 125%. Tarif tersebut menambah pungutan yang sudah ada yang diberlakukan sebelum masa jabatan kedua presiden. Cina sebelumnya membalas dengan cara yang sama, dengan menaikkan bea masuk pembalasan tambahan pada semua impor AS menjadi 84%.
Pertikaian ini menciptakan keretakan bersejarah yang tidak hanya akan menimbulkan penderitaan bagi kedua ekonomi yang saling terkait erat ini, tetapi juga menambah ketegangan luar biasa pada persaingan geopolitik mereka.
"Ini mungkin indikasi terkuat yang pernah kita lihat yang mendorong ke arah perpecahan ," kata Nick Marro, kepala ekonom untuk Asia di Economist Intelligence Unit, seperti dikutip dari CNN, Kamis (10/4).
Perpecahan ini, menurut dia, mengacu pada hasil di mana kedua ekonomi hampir tidak memiliki perdagangan atau investasi bersama. "Sulit untuk tidak melihat guncangan saat ini secara berlebihan, tidak hanya pada ekonomi Cina dan AS, tetapi dalam landskap global," kata dia.
Trump tampaknya mengaitkan keputusannya untuk tidak memberikan penangguhan hukuman yang sama kepada Cina seperti negara lain karena tindakan balasan cepat Beijing. Ia mengatakan kepada wartawan pada Rabu (9/4), bahwa Cina sebenarnya ingin membuat kesepakatan, tetapi tidak tahu bagaimana cara melakukannya.
Mengapa Cina Ogah Mengalah?
Namun, tanggapan dari Beijing terlihat sangat berbeda. Presiden Xi Jinping, yang paling berkuasa di Cina dalam beberapa dekade, tidak melihat pilihan bahwa negaranya akan menyerah begitu saja terhadap apa yang disebut mereka sebagai “intimidasi sepihak” Amerika.
Secara terbuka, Beijing telah menggembar-gemborkan nasionalisme yang kuat sehubungan dengan tindakan balasannya. Ini adalah bagian dari strategi yang telah dipersiapkan mereka secara diam-diam selama lebih dari empat tahun sejak Trump terakhir menjabat.
Walaupun Cina telah lama mengatakan ingin berdialog, eskalasi cepat Trump tampaknya justru dianggap memberikan penegasan kepada Beijing bahwa AS tidak ingin berdialog. Menurut pengamat, Xi melihat negaranya siap untuk melawan, sambil memanfaatkan gejolak perdagangan Trump untuk memperkuat posisinya.
"Xi sudah sangat jelas sejak lama bahwa ia memperkirakan Cina akan memasuki periode pertikaian berkepanjangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, bahwa Cina perlu mempersiapkan diri untuk itu, dan mereka telah melakukannya secara ekstensif," kata Jacob Gunter, kepala analis ekonomi di lembaga pemikir MERICS yang berbasis di Berlin.
Menurut dia, Xi Jinping telah menerima tantangan dari Amerika dan sudah siap untuk melakukan perlawanan.
Apakah Trump akan menangguhkan apa yang disebut tarif pembalasan terhadap Cina bersama negara lain jika Beijing tidak bergerak begitu cepat untuk membalas? Ini masih menjadi pertanyaan terbuka. Kanada telah melakukan tindakan balasan tetapi dimasukkan dalam penangguhan hukuman, meski tidak menghapus tarif universal 10% yang dikenakan minggu lalu.
Bagaimanapun, sikap keras Trump dan Xi Jinping berpotensi besar menganggu hubungan perdagangan, yang meski tidak seimbang tetapi sangat terintegrasi dengan nilai mencapai sekitar setengah triliun dolar.
Selama puluhan tahun, Cina telah menjadi pusat pabrik dunia, tempat rantai produksi yang semakin otomatis dan berteknologi tinggi menghasilkan segala hal, mulai dari barang-barang rumah tangga dan sepatu hingga barang elektronik, bahan mentah untuk konstruksi, peralatan, dan panel surya.
Pabrik-pabrik tersebut memenuhi permintaan konsumen Amerika dan global akan barang-barang yang terjangkau tetapi memicu defisit perdagangan yang sangat besar. Kondisi ini menciptakan perasaan di antara sebagian orang Amerika, termasuk Trump, bahwa globalisasi telah mencuri manufaktur dan lapangan kerja AS.
Menurut sejumlah perkiraan, peningkatan tarif Trump hingga lebih dari 125% kini dapat memangkas ekspor Cina ke AS lebih dari setengahnya dalam beberapa tahun mendatang.
Banyak barang dari Cina tidak dapat dengan cepat digantikan sehingga harga konsumen AS akan naik, mungkin selama bertahun-tahun, sebelum pabrik baru mulai beroperasi. Menurut analisis JP Morgan pada Rabu (9/4), kondisi ini dapat mengakibatkan kenaikan pajak bagi warga Amerika mencapai sekitar US$860 miliar sebelum terjadinya substitusi.
Di Cina, sejumlah besar pemasok kemungkinan besar akan melihat margin mereka yang sudah sempit terhapus sepenuhnya, dengan gelombang upaya baru untuk mendirikan pabrik di negara lain akan segera dimulai.
Direktur Pusat Tiongkok Abad ke-21 di Universitas California San Diego Victor Shih melihat, skala tarif ini dapat menyebabkan jutaan orang menjadi pengangguran dan gelombang kebangkrutan terjadi di seluruh Tiongkok. Ekspor AS ke Cina bahkan bisa mendekati nol.
“Namun, Cina dapat mempertahankan situasi ini jauh lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh politisi Amerika,” katanya.
Hal ini terjadi sebagian karena para pemimpin Partai Komunis Tiongkok tidak mendapatkan umpan balik cepat dari para pemilih dan jajak pendapat. Beijing diyakini dapat melewati badai.
“Selama Covid mereka menutup ekonomi yang menyebabkan lapangan kerja yang tak terhitung, penderitaan tidak menjadi masalah," kata dia.
Cina Sudah Lama Bersiap Menghadapi Perang Dagang
Komentar yang muncul di halaman depan People's Daily, media yang menjadi corong Partai Komunis Cina menyeatakan, bahwa negara tembok raksasa ini siap dan punya strategi melawan AS. Mereka mengatakan, telah terlibat dalam perang dagang dengan AS selama delapan tahun dan mengumpulkan banyak pengalaman dalam perjuangan tersebut.
Laporan itu mencatat, Beijing dapat melakukan upaya luar biasa untuk meningkatkan konsumsi domestik, yang terus melemah, dan memperkenalkan langkah-langkah kebijakan lain untuk mendukung perekonomiannya. “Rencana untuk menanggapinya sudah dipersiapkan dengan baik dan memadai,” kata komentar tersebut.
Suara Beijung pun tampak tenang dalam menghadapi ketidakpastian tentang seberapa jauh tindakan lebih lanjut dapat meningkat. “Hasil akhir tergantung pada siapa yang bisa menang," kata dia.
Beijing dalam beberapa minggu terakhir juga telah berbicara dengan negara-negara dari Eropa hingga Asia Tenggara dalam upaya untuk memperluas kerja sama perdagangan. Salah satu upayanya adalah dengan menggaet sekutu dan mitra Amerika yang jengkel dengan perang dagang yang kadang-kadang terjadi.
"Pemerintah Tiongkok telah mempersiapkan hari ini selama enam tahun – mereka tahu ini adalah suatu kemungkinan," kata Shih.
Cina saat ini berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk menghadapi konflik perdagangan yang lebih luas, kata para ahli. Dibandingkan dengan tahun 2018, negara ini memperluas hubungan perdagangannya dengan seluruh dunia, mengurangi pangsa ekspor AS dari sekitar seperlima totalnya menjadi kurang dari 15%.
Produsennya juga telah mendirikan operasi ekstensif di negara ketiga seperti Vietnam dan Kamboja, sebagian untuk memanfaatkan potensi bea masuk AS yang lebih rendah.
Cina juga telah membangun rantai pasokan untuk tanah jarang dan mineral penting lainnya, meningkatkan teknologi manufaktur dengan AI dan robot humanoid, serta meningkatkan kemampuan teknologi canggihnya, termasuk semikonduktor. Sejak tahun lalu, pemerintah juga telah berupaya, dengan berbagai tingkat keberhasilan, untuk mengatasi masalah seperti konsumsi yang lemah dan tingginya utang pemerintah daerah.
"Kelemahan Cina memang signifikan, tetapi dalam konteks pertikaian habis-habisan, kelemahan tersebut dapat diatasi. AS tidak akan mampu, sendirian, membawa ekonomi Cina ke ambang kehancuran," kata Scott Kennedy, penasihat senior di lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies di AS.
