Viral Bea Cukai Disebut Dapat Bonus 50% dari Barang Sitaan, Bagaimana Faktanya?


Kabar viral kembali menyeret nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Melalui media sosial X, akun @anggapph2 membagikan tangkapan layar dari seorang pengguna media sosial Ivana A Assan yang membagikan pengalamannya berkaitan dengan bonus yang bisa diterima petugas Bea dan Cukai dari barang sitaan.
“Ternyata Bea Cukai dapat bonus pendapatan 50% harga dari tiap harga barang yang disita. Pantas, semangat benar kerjanya,” tulis @anggapph2, Kamis (10/4).
Dalam tangkapan layar yang diunggah @anggapph2, Ivana menjelaskan petugas Bea Cukai bisa mendapatkan keuntungan dari harga barang sitaan. Ivana yang mengaku sebagai warga negara Indonesia alias WNI merasa tertipu.
“Rupanya petugas Bea Cukai Indonesia dapat menerima imbalan, seperti komisi atau bonus hingga 50% dari nilai barang yang disita atau bea yang belum dibayarkan Ketika mereka menemukan pelanggaran,” tulis Ivana.
Katadata.co.id mencoba mengkonfirmasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengenai kabar viral tersebut. Namun hingga kini, pihak Bea dan Cukai belum menanggapi pertanyaan konfirmasi tersebut.
Apakah Ada Aturan Bonus dari Barang Sitaan?
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkapkan terdapat aturan yang memperbolehkan Bea dan Cukai dapat menerima premi atau bonus hingga 50% dari hasil lelang atau denda barang sitaan.
“Ini diatur dalam Pasal 113D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan diperkuat dalam beberapa peraturan menteri keuangan (PMK), termasuk yang terbaru pada 2024,” kata Hidayat, Jumat (11/4).
Hidayat menyebut fakta tersebut mengagetkan publik karena belum pernah tersosialisasi secara terbuka. Hal ini menyebabkan kecurigaan dari masyarakat terhadap Ditjen Bea dan Cukai.
“Wajar jika kecurigaan mencuat. Apakah petugas Bea Cukai selama ini punya motif ekonomi dalam menindak barang kiriman masyarakat? Apakah ada insentif tersembunyi yang justru mendorong pelanggaran agar terus terjadi?” ujar Hidayat.
Arah Kebijakan Bermasalah
Hidayat mengungkapkan, pada dasarnya, setiap kebijakan insentif dalam birokrasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip objektivitas, akuntabilitas, dan mendorong perilaku yang benar. Namun ketika premi diberikan berdasarkan nilai pelanggaran yaitu dari nilai barang yang disita, dilelang, atau didenda maka arah kebijakannya menjadi bermasalah.
Hal itu karena nilai pelanggaran justru menjadi aset yang diincar, bukan kondisi yang harus dicegah. “Bayangkan seorang petugas bea cukai yang melihat peluang untuk menyita barang karena kelengkapan dokumen yang kurang, atau karena klasifikasi barang yang dapat ditafsirkan secara berbeda,” ucap Hidayat.
Ia menilai skema bonus tersebut tidak adil karena tidak membangun sistem yang mencegah korupsi atau pelanggaran. Di sisi lain, sistem ini justru mengandalkan eksistensi pelanggaran sebagai sumber penghasilan.
“Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem kepabeanan dan memperkuat anggapan bahwa aparat bekerja demi keuntungan pribadi, bukan demi kepentingan negara,” kata Hidayat.
Selain itu, Hidayat mengatakan praktik tersebut bisa mendorong praktik manipulasi. Sebab, tidak semua kasus kepabeanan bersifat hitam-putih. Banyak importir atau pengirim barang individu yang tidak paham aturan teknis bea masuk.
“Alih-alih membantu, petugas bisa memperumit atau bahkan memelintir pasal untuk menjustifikasi penyitaan. Jika premi menjadi imbalan, maka praktik over-enforcement akan makin menggila,” ujar Hidayat.