BPS akan Ubah Penghitungan Garis Kemiskinan, Para Ekonom Sebut Dampak Positifnya


Badan Pusat Statistik dengan kementerian dan lembaga terkait tengah menyusun metodologi penentuan garis kemiskinan yang baru.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan perubahan metodologi ini akan menujukan peningkatan angka kemiskinan Indonesia, namun hal itu bisa memberikan banyak dampak positif.
Revisi batas garis kemiskinan nasional dapat mencerminkan tren kemiskinan sesuai dengan aktual di lapangan. “Jadi kita tahu akhirnya berapa orang sebetulnya masyarakat rentan miskin sehingga pemerintah dapat menyusun program perlindungan sosial yang lebih baik dan tepat sasaran,” ujar Media kepada Katadata.co.id Rabu (11/6).
Tak hanya itu, pemerintah juga akan menganggarkan dana untuk perlindungan sosial lebih besar. Sebab, penduduk miskin atau yang rentan miskin akan jauh lebih besar jumlahnya daripada data yang ada sekarang.
Per September 2024, BPS mencatat hanya 8,57% penduduk Indonesia dalam kondisi miskin atau sekitar 24,06 juta jiwa. Pengukuran ini menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan.
Garis kemiskinan nasional yang digunakan BPS per September 2024 adalah Rp 595.242 per kapita per bulan. Ini terdiri dari kebutuhan makanan sebesar Rp 443.433 dan kebutuhan nonmakanan sebesar Rp 151.809.
Pola Pengeluaran Masyarakat Jadi Lebih Terkini
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan garis kemiskinan yang digunakan BPS memang perlu dievaluasi. Pemakaian referensi komponen makanan dan nonmakanan sudah terlalu lama digunakan.
Jika metodologi penentuan garis kemiskinan BPS diunah, Faisal menilai hal ini berdampak positif untuk menunjukan pola pengeluaran masyarakat. "Bisa lebih merepresentasikan pola pengeluaran dan juga tingkat pengeluaran yang lebih kekinian, terbaru dengan kondisi masyarakat pada saat sekarang," ucapnya. Contoh pengeluaran yang perlu masuk dalam penghitungan garis kemiskinan adalah akses internet.
Faisal menyebut garis kemiskinan harus merepresentasikan kondisi di negara tersebut yang berbeda dengan negara yang lain. "Jadi tidak perlu mentah-mentah mengacu kepada standar Bank Dunia yang terbaru," ujar Faisal.
Yang paling penting, pemerintah dapat meninjau kembali referensi dalam penghitungan garis kemiskinan. Hal ini harus berdasarkan tingkat dan pola pengeluatan masyarakat.
Program Pengentasan Kemiskinan Lebih Realistis
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menjelaskan Bank Dunia saat ini menyesuaikan garis kemiskinan negara-negara lower middle income atau negara berpendapatan menengah ke bawah dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20 atau setara Rp 25.170 per orang per hari (kurs US$ 1 PPP 2024 Rp 5.993).
Lalu untuk negara-negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income berubah dari US$ 6,85 menjadi US$ 8,30 atau setara Rp 49.741 per orang per hari.
"Masalahnya, Indonesia baru saja berpindah dari negatra berpendapatan menengah ke bawah menjadi menengah ke atas. Garis kemiskinan naik dari US$ 3,65 menjadi US$ 8,3 Dampaknya, angka kemiskinan melejit menjadi 194 juta atau 70% dari populasi," kata Wijayanto.
Wijayanto mengatakan pemerintah perlu mengubah metode pengukuran angka kemiskinan yang lama. "Agar program pengentasan kemiskinan kita lebih konkret dan realistis," ujar Wijayanto.
Selama ini pemerintah masih menggunakan pendekatan gimmick, seperti bantuan sosial dan subsidi, yang berimbas menjadi pemborosan anggaran. Wijayanto menilai program tersebut juga tidak berkelanjutan.
"Dengan garis kemiskinan lebih tinggi, pendekatan gimmick tersebut tidak membantu sehingga memaksa pemerintah meninggalkannya," kata Wijayanto.
Pemerintah Godok Revisi Motode Penghitungan Angka Kemiskinan
Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengungkapkan pemerintah saat ini sedang merevisi batas garis kemiskinan nasional. Metodologi yang digunakan BPS dianggap sudah usang dan tidak lagi mencerminkan kondisi serta tantangan ekonomi masyarakat saat ini.
"Ini penting untuk dipahami bahwa menaikkan standar garis kemiskinan merupakan praktik yang wajar dan biasa saja,” kata Arief kepada Katadata.co.id, kemarin.
Menurut Arief, BPS bersama kementerian dan lembaga terkait kini sedang menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. “Harapannya, dalam waktu dekat atau tahun ini kita akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas,” ujarnya.