BI Waspadai Efek Domino Shutdown AS: Bisa Guncang Kurs dan Pasar Keuangan RI
Bank Indonesia (BI) menyoroti potensi risiko global dari government shutdown di Amerika Serikat (AS). BI mewaspadai kondisi tersebut bisa memberikan efek domino dan berdampak ke Indonesia.
Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, ketidakpastian global saat ini masih meningkat. Ia mengungkapkan dampak shutdown pemerintah AS bisa menjalar ke berbagai sektor ekonomi dunia.
“Ketidakpastian global saat ini cukup tinggi, salah satunya dari AS. Shutdown terjadi, dampaknya bisa ke defisit fiskal yang lebih besar, lalu berpengaruh ke ekspektasi yield, tingkat pengangguran, dan persepsi pasar,” kata Juli dalam acara Pelatihan Wartawan BI di Bukit Tinggi, Padang, Jumat (24/10).
Juli menjelaskan, ketika tingkat pengangguran di AS meningkat, hal ini biasanya akan direspons oleh Bank Sentral AS alias The Federal Reserve (The Fed) melalui kebijakan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate. Perubahan arah kebijakan moneter tersebut kemudian menular ke pasar keuangan global, termasuk Indonesia melalui kurs dan instrumen keuangan lainnya.
“Ketidakpastian global saat ini tidak hanya berasal dari kondisi fiskal AS, tetapi juga dari bagaimana respons kebijakan moneter AS terhadap dinamika tersebut. Kombinasi keduanya berpotensi menciptakan volatilitas di pasar keuangan, yang perlu terus diantisipasi oleh negara berkembang seperti Indonesia,” ujar Juli.
Tren Ekonomi Global Masih Melambat
Juli mengungkapkan, ekonomi global saat ini masih dalam tren melambat. Salah satu faktor utama adalah kebijakan tarif dagang Amerika Serikat yang menekan kinerja perdagangan global.
“Ini mempengaruhi kegiatan ekspor-impor di sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat yang pertumbuhannya melambat,” kata Juli.
Pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Oktober 2025, Juli menyebut terdapat informasi baru terkait pengenaan tarif tambahan oleh AS terhadap sektor atau komoditas tertentu seperti farmasi, mebel, dan otomotif, yang mulai berlaku sejak 1 Oktober 2025.
Selain itu, juga ada rencana tambahan tarif terhadap produk asal global lainnya. “Ini tentu saja meningkatkan ketidakpastian global dan berdampak ke pasar keuangan dunia,” ujarnya.
Di AS, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih lemah. Indikator terkini menunjukkan kondisi ketenagakerjaan yang lesu, sehingga tingkat pengangguran meningkat.
Sementara di negara-negara utama lain seperti Eropa, Jepang, dan India, pertumbuhan ekonominya juga belum terlalu kuat. “Meskipun ada stimulus fiskal di masing-masing negara, permintaan domestik memang masih belum terlalu kuat,” kata Juli.
Untuk Cina, pertumbuhan ekonominya sedikit di atas perkiraan pada kuartal III 2025, berkat stimulus fiskal serta beberapa kebijakan moneter dari Bank Sentral Cina yang mendorong pertumbuhan ekonomi tetap cukup tinggi.
Dengan kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, BI memperkirakan ekonomi dunia sepanjang 2025 akan tumbuh sekitar 3,1%. Juli mengatakan, untuk proyeksi 2026, BI akan melakukan asesmen dan menyampaikannya pada waktunya.
