The Fed Pangkas Suku Bunga Lagi Jelang Akhir 2025, Apa Dampaknya Bagi RI?
Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed kembali memangkas suku bunga acuannya hingga 25 basis poin (bps) pada Desember 2025. Hal ini menandai pemotongan ketiga secara beruntun dan membuat suku bunga The Fed di level 3,50%-3,75%.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kebijakan The Fed ini akan membawa dampak tersendiri terhadap ekonomi RI. “Dari sisi dampak ke perekonomian Indonesia, saluran yang paling cepat terlihat adalah saluran pasar keuangan,” kata Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (11/12).
Dia menjelaskan, penurunan suku bunga dan rencana pembelian surat utang jangka pendek mendorong penurunan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat dan pelemahan indeks nilai tukar dolar. Hal ini kemudian memperkuat risiko global.
Josua mengungkapkan, data pasar setelah pengumuman menunjukkan indeks saham utama Amerika Serikat menguat, imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor sepuluh tahun turun beberapa basis poin, dan indeks dolar melemah. Lalu juga diikuti penguatan sebagian besar mata uang Asia dan penurunan imbal hasil obligasi negara berkembang, termasuk penguatan rupiah dan penurunan imbal hasil surat berharga negara tenor sepuluh tahun.
Untuk Indonesia, Josua menyebut kombinasi penguatan rupiah dan turunnya imbal hasil surat berharga negara ini menjadi beban bunga utang dalam valuta asing berpotensi lebih ringan. Begitu juga dengan biaya pendanaan pemerintah melalui penerbitan surat berharga negara menjadi lebih murah, dan kondisi pendanaan eksternal korporasi, termasuk perbankan menjadi lebih longgar.
Dalam jangka pendek, hal ini memperbaiki transmisi kebijakan fiskal. “Ini memberi ruang lebih besar bagi pembiayaan defisit anggaran maupun pembiayaan dunia usaha dengan biaya dana yang lebih terkendali,” ujarnya.
Mengurangi Risiko Penurunan Ekspor
Josua mengungkapkan saat ini prospek pertumbuhan Amerika Serikat tetap positif namun moderat. Menurutnya, hal itu mengurangi risiko penurunan drastis permintaan ekspor.
“Ini baik untuk komoditas maupun produk manufaktur, dibandingkan skenario ketika suku bunga tinggi dipertahankan terlalu lama,” ujar Josua.
Namun demikian, Josua menyebut masih adanya ketegangan perdagangan dan kenaikan tarif yang mendorong inflasi barang di Amerika Serikat. Hal ini membuat prospek harga komoditas dan kinerja ekspor Indonesia tetap dibayangi ketidakpastian.
Hal ini akan berdampak kepada neraca perdagangan RI. “Neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia ke depan cenderung menyempit dari posisi sangat kuat beberapa tahun terakhir,” kata Josua.
Dorongan untuk Ekonomi RI masih Minim
Secara keseluruhan, Josua menyebut kebijakan The Fed ini memberikan kombinasi dampak yang cenderung positif bagi stabilitas. Namun dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar.
Josua menjelaskan, pelemahan dolar dan penurunan imbal hasil obligasi Amerika Serikat meredakan tekanan depresiasi terhadap rupiah. “Sehingga inflasi yang bersumber dari barang impor dan energi bisa lebih terkendali,” ujarnya.
Menurut Josua, kondisi ini penting untuk menjaga kestabilan harga di tengah kebijakan fiskal pemerintah yang cenderung ekspansif untuk mendorong pertumbuhan dan program prioritas.
Arus Modal hingga penguatan Rupiah
Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto keputusan terbaru The Fed bisa menjadi angin segar bagi pasar negara berkembang, seperti Indonesia.
“Respons pasar keuangan Indonesia diperkirakan positif, baik dari pasar saham, obligasi pemerintah, maupun pasar SRBI,” kata Myrdal.
Myrdal menjelaskan, potensi arus modal masuk akan datang ke pasar keuangan Indonesia yang semakin menarik. Hal ini seiring dengan melebarnya kesenjangan antara kebijakan moneter Indonesia dan kebijakan moneter AS.
Penguatan rupiah terhadap dolar AS juga berpeluang untuk terjadi. “Rupiah terhadap dolar AS diproyeksikan menguat hingga di bawah Rp 16.654 per dolar AS,” ujar Myrdal.
Di sisi lain, Myrdal mengatakan keputusan The Fed berpotensi mengurangi tekanan inflasi impor domestik. Hal ini akan berdampak kepada penguatan rupiah dan juga akan menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps pada pertemuan kebijakan moneter berikutnya.
