Jurus Menkeu Purbaya Jaga Defisit APBN Tak Tembus 3%

Rahayu Subekti
20 Desember 2025, 07:00
purbaya, defisit apbn,
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan) dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengacungkan jempol saat konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025 di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Penerimaan negara diperkirakan tak mencapai target tahun ini, sehingga membuat ruang gerak fiskal pemerintah kian menyempit. Bagaimana Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menjaga agar defisit APBN atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak melewati batas aman 3% dari produk domestik bruto (PDB), sebagaimana UU Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Defisit APBN mencapai Rp 560,3 triliun atau 2,35% terhadap PDB per November. Pemerintah mematok defisit APBN pada 2025 hanya 2,78%.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pun menerapkan paket taktis untuk mengamankan defisit APBN agar tidak mencapai 3%.

Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu Suminto mengatakan secara outlook, defisit APBN tahun ini tidak menyebabkan kebutuhan pembiayaan utang lebih besar.

“Ini karena pemerintah telah mendapatkan izin dari DPR untuk menggunakan SAL sebesar Rp 85,6 triliun,” kata Suminto dalam konferensi pers APBN KiTA Edisi Desember 2025, Kamis (18/12).

Kemenkeu akan semakin gencar menerbitkan surat utang tenor jangka pendek atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) pada akhir 2025 hingga 2026.

Suminto mengatakan Kemenkeu meningkatkan penerbitan SPN sejak memasuki kuartal keempat. Hal ini dalam rangka pengembangan pasar uang, pendalaman pasar obligasi, dan membangun manajemen kas agar lebih efisien.

Kemenkeu juga makin giat mempercepat penagihan para pengemplang pajak kelas kakap. Direktorat jenderal Pajak Kemenkeu juga melakukan pemanggilan kepada wajib pajak orang kaya atau high wealth individual (HWI).

Langkah itu dirancang sebagai respons cepat untuk mengamankan APBN sekaligus memastikan defisit tidak menembus batas psikologis.

Pemerintah Butuh Instrumen Cepat

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai langkah Kemenkeu itu tepat, terutama dalam menjaga kredibilitas APBN ketika penerimaan negara berpotensi tak capai target atau shortfall.

Realisasi pendapatan negara baru mencapai 82,1% per November, dari outlook atau proyeksi hingga akhir tahun Rp 2.865,5 triliun.

“Pemerintah butuh instrumen cepat yang bisa dieksekusi tanpa mengganggu layanan publik dan Saldo Anggaran Lebih alias SAL memberi bantalan likuiditas paling instan,” kata Syafruddin kepada Katadata.co.id, Jumat (10/12).

Ia juga menilai, langkah penagihan tunggakan pajak tepat. Hal ini bisa memperkuat rasa keadilan dan memperbaiki kepatuhan selama otoritas pajak menargetkan kasus bernilai besar dengan bukti kuat dan prosedur bersih.

Semua langkah pemerintah itu bisa membantu menjaga defisit di level yang dianggap aman dalam jangka pendek. “Terutama dengan mengurangi tekanan kas di akhir tahun dan menutup gap pembiayaan,” ujar Syafruddin.

Langkah Kemenkeu Opsi Realistis Jaga Defisit APBN

Ekonom Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, dalam jangka pendek, langkah Kemenkeu itu paling masuk akal. Sebab, pemerintah berada di ruang untuk menaikkan tarif pajak nyaris tidak ada, baik secara ekonomi maupun politik.

“Di kondisi seperti ini, menggunakan instrumen yang sudah tersedia menjadi opsi paling realistis,” kata Yusuf.

Yusuf menjelaskan, penggunaan SAL secara teknis merupakan keputusan yang rasional. SAL pada dasarnya tabungan dari tahun-tahun sebelumnya.

“Ketika suku bunga global masih tinggi dan biaya utang mahal, memilih memakai Tabungan daripada menambah utang baru jelas lebih efisien,” ujar Yusuf.

Ia menilai, hal itu bisa menekan beban bunga di masa depan. Selain itu, memberi ruang bernapas pada APBN dalam tahun berjalan.

Namun tetap ada risiko di dalamnya. “Begitu dipakai, ya habis. Artinya, ini menyelesaikan tekanan hari ini, tapi sekaligus mengurangi bantalan untuk esok hari,” katanya.

Pemerintah Jangan Buru-buru Terbitkan Obligasi

Yusuf menekankan bahwa penerbitan SPN merupakan mekanisme yang wajar dalam menutup defisit. Namun, yang menjadi kunci bukan instrumennya, melainkan waktu dan skala.

“Dengan adanya SAL sebagai bantalan, pemerintah tidak perlu terburu-buru menerbitkan obligasi dalam jumlah besar di awal tahun, yang bisa menekan pasar dan mendorong yield naik,” kata Yusuf.

Yusuf menilai, SPN berjangka pendek lebih berfungsi sebagai alat untuk mengelola mismatch kas bulanan. Menurut dia, hal ini merupakan langkah yang normal dari manajemen kas negara.

Menurut dia, semua langkah Kemenkeu, secara teknis bisa menjaga defisit tetap aman sesuai target.

“Defisit bisa dijaga tetap terlihat rapi, mungkin di kisaran 2,5% hingga 2,8% dari PDB,” kata Yusuf.

Namun, Yusuf mengatakan defisit bisa terhindar dari level psikologis, karena pemerintah hanya mengandalkan bantalan yang sudah ada. “Bukan karena fondasi penerimaan negara benar-benar menguat,” ujar Yusuf.

Oleh karena itu, ia menyoroti risiko yang mungkin timbul. Terlebih karena SAL yang sifatnya sekali pakai.

Yusuf mengatakan, jika SAL pada tahun ini digunakan cukup agresif. maka tahun depan ruang fiskal akan jauh lebih sempit.

Jika pada saat yang sama ekonomi global melambat, harga komoditas turun, dan penerimaan pajak melemah pemerintah akan kehilangan opsi yang paling fleksibel. “Pada titik itu, pilihannya tinggal dua yaitu menambah utang lebih agresif atau memangkas belanja. Lalu keduanya punya konsekuensi ekonomi dan politik yang tidak ringan,” kata Yusuf.

Peneliti Ekonomi Makro dan Finansial Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama juga menilai langkah yang dilakukan pemerintah sesuai dengan regulasi. Optimalisasi penerimaan perpajakan, penerbitan surat utang sudah ditentukan dalam APBN, dan penggunaan SAL sudah sesuai dengan aturannya.

Kalau melihat dari outlook-nya dan capaian yang ada, Riza memprediksi defisit APBN pada tahun ini masih terjaga. “Defisit kemungkinan besar akan masih dalam batas yang ditetapkan, tidak lebih dari 3%,” ujar Riza. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...