Larangan Ekspor RI Berpotensi Dongkrak Harga Batu Bara Dunia

Happy Fajrian
4 Januari 2022, 17:43
harga batu bara, larangan ekspor batu bara,
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batubara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022).

Kebijakan larangan ekspor batu bara yang diterapkan pemerintah Indonesia berpotensi mendongkrak harga mineral hitam tersebut dalam beberapa pekan ke depan. Padahal pada awal tahun ini harga batu bara di pasar ICE Newcastle, Australia, turun dari US$ 169,6 menjadi US$ 157,5 per ton pada Senin (3/1).

Harga batu bara sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Oktober 2021 di level US$ 269,5 per ton. Namun setelah itu terus turun seiring pulihnya pasokan di seluruh dunia, terutama setelah Cina menggenjot habis produksinya untuk mengatasi krisis energi.

“Setiap langkah Indonesia, eksportir batu bara termal utama dunia, untuk menghentikan sementara ekspor dapat membuat harga patokan global melonjak lagi setelah sempat mencapai rekor pada Oktober 2021,” kata analis Morgan Stanley, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (4/1).

Analis Morgan Stanley memproyeksikan harga batu bara akan berada di kisaran US$ 140 per ton pada kuartal I 2022 jika Indonesia tidak mencabut larangan ekspor tersebut. Sebab, ada sekitar 40% pasokan yang hilang imbas kebijakan tersebut.

“Kehilangan 40% pasar lintas laut dalam semalam, di tengah puncak permintaan musim dingin, dapat membuat kami bersiap untuk lonjakan harga batu bara lainnya,” tulis para analis. Meski demikian, Indonesia diperkirakan masih akan mendominasi ekspor batu bara termal tahun ini.

Sebelumnya, harga batu bara acuan global di pasar ICE Newcastle Australia mencapai rekor tertingginya pada Oktober 2021 di level US$ 269,5 per ton imbas ketatnya pasokan di tengah melonjaknya permintaan di tengah pemulihan ekonomi yang mendongkrak kebutuhan energi. Simak databoks berikut:

Indonesia memberlakukan larangan tersebut karena menipisnya persediaan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PLN dan produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yang berpotensi menyebabkan pemadaman listrik nasional.

Berdasarkan kebijakan domestic market obligation (DMO), penambang batu bara harus memasok 25% dari produksi tahunan mereka ke PLN dengan harga maksimum US$ 70 per ton. “Ini mutlak, tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun,” kata Presiden Joko Widodo Senin (3/1).

“Perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat dikenakan sanksi. Jika perlu, tidak hanya tidak mendapatkan izin ekspor tetapi juga pencabutan izin usahanya,” kata Jokowi menambahkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terpaksa bertindak cepat, dan memutuskan untuk melarang ekspor. Kalau tidak, pemadaman listrik akan mengancam pemulihan ekonomi Indonesia.

“Jika kita membiarkan pemadaman listrik terjadi supaya ekspor (batu bara) dapat terus berlanjut, pemulihan di Indonesia akan terancam. Harus ada pengorbanan. Pemerintah memilih yang berdampak seminimal mungkin terhadap perekonomian,” katanya.

Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir mengatakan bahwa pihaknya langsung bertemu dengan Kementerian Perdagangan pada akhir pekan lalu untuk mencari solusi masalah ini.

"Tujuan utamanya sekarang adalah untuk menghindari pemadaman listrik. Untuk jangka pendek, solusinya sepuluh anggota terbesar kami mencoba membantu kekurangan PLN," katanya.

Bagaimanapun APBI meminta agar kebijakan tersebut dicabut. Sebab beberapa penambang tidak bisa menjual ke PLN karena spesifikasi batu bara yang tak sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan setrum pelat merah yakni batu bara kualitas rendah dengan nilai kalor 4.200 KCal per kg atau kurang.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...