Hitungan Anggota DPR: Potensi Kebocoran Solar Subsidi Rp 147 T / Tahun
Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu menduga negara berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 147 triliun per tahun dari kebocoran subsidi BBM ke perusahaan perkebunan kepala sawit dan pertambangan.
Perhitungan Adian berangkat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM yang masih memperbolehkan truk roda enam untuk membeli jatah Solar subsidi sebanyak 200 liter per hari.
Adian mengatakan, saat ini ada 7.624 perusahan perkebunan dan pertambangan di Indonesia. Dengan asumsi rata-rata tiap perusahaan memiliki 30 truk roda enam berbahan bakar solar, maka ada 228.720 truk yang menyerap 200 liter per harinya.
Jika dikalkulasikan, tiap harinya ada 45,74 juta kilo liter (kl) solar subsidi mengalir ke tangki-tangki truk milik perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan," ujarnya dalam diskusi daring Tempo bertajuk Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sarasan pada Selasa (30/8).
Sementara untuk nominal subsidi yang dikeluarkan oleh negara, Adian berpatokan pada selisih antara harga keekonomian dengan harga jual eceran yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mencapai Rp 8.800 per liter.
"Satu tahun itu subsidi yang terpakai dengan asumsi selisih Rp 8.800 rupiah itu mencapai Rp 147 triliun. Jadi subsidi ini untuk perusahan atau untuk rakyat? Jangan-jangan yang terima subsidi ini perkebunan besar misalnya Sinarmas, London Sumatera dan sebagainya," kata dia.
Selain itu, Indonesia juga memiliki 2.892 perusahaan kelapa sawit yang 323 diantaranya merupakan perusahaan hasil penanaman modal asing (PMA). Dengan kalkulasi yang sama, pemerintah menghabiskan Rp 55,73 triliun per tahun untuk mengalirkan solar bersubsidi ke truk-truk roda enam milik perusahaan asing tersebut.
"Lalu saya cari berapa pajak kebun sawit yang masuk ke kita? Hanya Rp 20 triliun. Ini ada selisih Rp 35 triliun. Ini kok jadi rugi. Jangan-jangan kita memberi subsidi kepada PMA itu. Apakah negara pernah menjelaskan ini? Inilah sasaran subsidi yang tidak tepat dan itu yang terjadi," tutur Adian.
Adian pun berhadap pemerintah bisa menjelaskan adanya kebocoran distribusi BBM bersubsidi sebelum memutuskan untuk menaikan harga. Dia menilai, masyarakat lebih membutuhkan informasi dan kepastian soal kemana uang subsidi tersebut dialirkan.
Informasi tersebut dirasa lebih bisa diterima warga ketimbang kabar yang mengatakan kenaikan harga BBM perlu disesuaikan akibat lonjakan komoditas energi global imbas konflik Rusia dan Ukraina.
"Menurut saya itu persoalan kepercayaan. Kalau subsidi BBM dikurangi, duitnya jadi apa? ada pertanyaan itu. Narasi ini harus dibangun oleh negara," ucap Adian.
Pada kesempatan yang sama, staf khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyampaikan bahwa pemerintah melalui APBN 2022 masih sanggup untuk membayar subsidi dan kompensasi energi yang mencapai Rp 502,4 triliun hingga akhir tahun ini, jika harga minyak berada di kisaran US$ 100 per barel.
Selain itu, besaran subsidi dan kompensasi juga bakal jebol jika konsumsi masyarakat melebihi kuota yang ditetapkan. Jika itu terjadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyebutkan, anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini bisa bengkak lagi menjadi Rp 698 triliun.
Ini dengan asumsi bahwa konsumsi BBM bersubsidi baik Pertalite dan Solar mengalami pola konsumsi pesat selama delapan bulan terakhir. Kemungkinan kuota Pertalite bengkak menjadi 29 juta kl dari alokasi 23,05 juta kilo liter (kl) dan solar menjadi 17,4 juta kl dari kuota hanya 15,1 juta kl.
Perkiraan penambahan Rp 195,6 triliun ini juga dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105 per barel, atau di atas asumsi dalam revisi APBN sebesar US$ 100 per barel. Selain itu, kurs rupiah juga sudah jauh di atas asumsi, yakni Rp 14.700 dari perkiraan Rp 14.450 per dolar AS.
"Potensi tambahan Rp 195,6 triliun akan ditagihkan tahun depan, ini yang akan mempersempit ruang tahun anggaran 2023," kata Sri Mulyani