Proyek DME Mandek, Pakar: Hilirisasi Batu Bara Tak Bisa Seperti Nikel
Proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) saat ini mandek dengan belum adanya mitra baru setelah hengkangnya Air Products pada awal 2023 lalu.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan konsep hilirisasi pertambangan hingga menjadi produk akhir dapat diterapkan pada komoditas mineral seperti nikel, tembaga, bauksit, timah, emas, dan besi. Namun tidak dengan batu bara.
“Kalau batu bara berbeda, makanya saya mengatakan agak berat lah batu bara kita harus menaikkan nilai tambah. Karena dari segi teknologi dan lender yang juga tidak mudah,” ucapnya dalam CORE Indonesia Outlook Ekonomi Sektor-Sektor Strategis 2024 di Jakarta pada Selasa (23/1).
Dia menambahkan bahwa untuk meningkatkan kebermanfaatan hilirisasi dalam sektor pertambangan dapat dimulai dengan melakukan harmonisasi antar Kementerian. Sebab hingga saat ini porsi hilirisasi dalam konteks nilai tambangnya belum terlalu besar.
“Dengan harmonisasi antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian ESDM, sehingga mulai dari tambang dimana kegiatan eksplorasi menjadi ore dan pemurnian, hingga pabrikasi yang menghasilkan end produk bisa menambah nilai tambahnya,” ujarnya.
Singgih menilai, harmonisasi antara dua Kementerian ini harus diwujudkan terlebih dengan munculnya investasi yang cukup tinggi pada industri smelter di Indonesia. “Jika kita memperkuat sektor manufakturnya, dimana nilai tambah tidak hanya sampai pemurnian saja namun hingga menciptakan industrialisasi,” ujarnya.
Selain dua hal di atas, sulitnya hilirisasi batu bara juga disebabkan karena regulasi yang berlaku. “Dimana pada pengusaha batu bara, hilirisasi atau nilai tambah batu bara ini bukan merupakan kewajiban. Bagi para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ini hanya opsional saja,” kata dia.
Lebih lanjut Singgih menjelaskan, kewajiban hilirisasi hanya ditujukan bagi perusahaan yang memegang izin PKP2B yang ingin merubah kontraknya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
“Kewajibannya saat itu membuat DME karena pemerintah ingin melakukan substitusi bagi impor LPG. Sehingga diharapkan dengan perubahan PKP2B menjadi IUPK di 2030 diharapkan 2030 akan menghasilkan 4,8 juta barel DME,” ucap Singgih.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Singgih menyebut DME ini tidak mudah untuk terlaksana. “Karena pengusaha batu bara dari mining science disuruh bertanggung jawab ke chemical sains ini kan berbeda. Kalau ini ekonomis pasti orang bisnis pati menjalankan tanpa disuruh,” ujar Singgih.
Singgih juga menilai progres DME batu bara Indonesia mengalami kemunduran. Terlebih setelah mundurnya perusahaan asal Amerika yakni Air Product dalam proyek tersebut.
“Padahal proyek tersebut sudah ditandatangani Pak Presiden, briket ekonomi sudah bangun dan sudah dijadikan proyek strategis nasional juga akhirnya mundur,” kata dia.
Dia mengatakan, Dewan Energi Nasional menyebut asumsi penambahan 4,8 juta barel DME ini kemungkinan besar hanya bisa menghasilkan 1 juta barel saja. “Itu pun diharapkan apakah itu jalan, karena batu bara tidak semudah yang dibayangkan industrialisasi dari segi mineralnya,” kata dia.