Dana JETP Belum Turun, Faisal Basri: Indonesia Dinilai Belum Serius
Pemerintah telah menyepakati pendanaan transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP). Nilainya mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun yang bisa digunakan dalam dua sampai tiga tahun kedepan. Namun, hingga saat ini dana tersebut belum diberikan kepada Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, ekonom senior Faisal Basri mengatakan pemberian dana JETP terhalang oleh adanya enabling environment di Indonesia yang mempersulit untuk bisa mengakses dana tersebut.
Tak hanya itu, dia mengatakan bahwa negara maju atau institusi yang ingin memberikan dananya belum melihat adanya keseriusan Indonesia dalam menjalankan program transisi energi.
“Afrika Selatan bisa dapat dananya kenapa kita tidak? Negara atau institusi yang ingin memberikan dana ini melihat apakah kita serius atau tidak. Seperti pajak karbon yang selalu ditunda misalnya, jadi keseriusan kita dilihat,” ujar Faisal dalam diskusi daring Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia dan Antisipasi Implikasinya, Rabu (13/9).
Selain itu, lanjut Faisal, negara maju juga melihat rencana Indonesia tidak lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara tapi banyak sekali pengecualiannya.
Faisal menilai, Indonesia dalam biaya transisi energi seharusnya tidak hanya mengandalkan pendanaan JETP saja, karena sebenarnya Indonesia bisa memanfaatkan keuntungan dari energi kotor untuk mendanai transisi energi.
“Jadi seharusnya energi kotor membiayai energi bersih itu baru keren. Karena batubara tahun lalu diekspor itu 685 juta ton, harganya melonjak luar biasa. Bahkan total keluarga batu bara itu meyumbang ¼ dari ekspor Indonesia, nilai ekspornya 71 miliar us dollar atau setara dengan Rp 1000 triliun,” kata dia.
“Anehnya Indonesia tidak memanfaatkan keuntungan dari batu bara tersebut untuk digunakan dalam pendanaan transisi energi. Bahkan, di Indonesia tidak ada yang namanya pajak untuk lingkungan. Di Mongolia 70% keuntungan dana energi kotor diambil negara untuk membiayai transisi energi,” ujarnya lagi.
Dia mengatakan, seharusnya Indonesia bisa bercermin dari Mongolia yang mengambil keuntungan energi kotor sebesar 70% untuk membiayai transisi energi. Menurutnya, jika Indonesia mengambil 50% saja dari keuntungan energi kotor atau batu bara, maka Indonesia bisa mendapatkan dana sebesar Rp 500 triliun untuk renewable energy.
“Jadi kita nggak kekurangan dana, mekanismenya jelas. Maka kita harus serius. Program transisi energi ESDM juga sudah bagus. Tapi ada kekuatan yang tidak kelihatan dan merusak ini semua, yaitu adanya oligarki batu bara yang merusak semuanya,” ujarnya.
Sebagai informasi, pendanaan JETP nantinya memang lebih banyak akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. Ini termasuk pendanaan swasta yang di inisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$10 miliar.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi pinjaman komersial yang bunganya lebih menarik," kata dia.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.