Pengusaha Sebut Impor Juli Turun karena Minimnya Arus Modal ke RI
Para pengusaha menilai penurunan impor pada periode Juli 2020 karena minimnya arus modal ke sektor industri nasional. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani.
Menurut Shinta minimnya arus modal ke sektor industri juga dipengaruhi oleh rendahnya permintaan baik di level domestik maupun internasional. "Sehingga konsumsi industri terhadap barang modal, bahan baku dan bahan penolong bersifat minimalis," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (18/8).
Pasalnya industri manufaktur juga tidak mau mengambil risiko untuk meningkatkan produksi karena tidak ada peningkatan permintaan yang cukup signifikan di level domestik maupun internasional.
Shinta pun memperkirakan proses pemulihan ekonomi nasional akan berjalan sangat lambat, karena hal ini bergantung pada pemulihan kepercayaan pasar untuk meningkatkan konsumsi di level global maupun nasional.
Oleh karena itu, para pengusaha berharap adanya arus modal yang lebih lancar ke sektor industri nasional. Arus modal tersebut dapat berbentuk stimulus pemodalan dari pemerintah, belanja pemerintah, dan arus masuk investasi yang didorong oleh perubahan iklim usaha dan investasi nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang Juli surplus US$ 3,26 miliar. Secara rinci, ekspor Juli sebesar US$ 13,73 miliar, meningkat 14,33% secara bulanan. Sementara, impor Juli sebesar US$ 10,47 miliar, turun 2,73% secara bulanan.
Berdasarkan jenis barangnya, impor barang konsumsi sebesar US$ 1,11 miliar atau turun 21,01% secara bulanan. Begitu pula dengan impor bahan baku/penolong yang juga turun 2,50% menjadi US$ 7,39 miliar. Peningkatan impor hanya terjadi pada kelompok impor barang modal sebesar 10,82% menjadi US$ 1,97 miliar.
Kondisi ini berbeda dibandingkan bulan sebelumnya dimana impor naik hingga 51,10% secara bulanan. Impor bahan baku/penolong meningkat 24,01%, dan barang modal naik 27,35% dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya.
Seperti diketahui, impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi salah satu indikator yang menunjukkan geliat sektor industri.
Sebaliknya, Shinta menilai peningkatan ekspor terjadi karena normalisasi kegiatan ekonomi di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Jepang. Dengan demikian, permintaan produk manufaktur meningkat, seperti besi-baja, sawit, pakaian jadi, produk elektronik, dan kendaraan.
Dia pun meminta agar Indonesia mencermati peningkatan kinerja ekspor lantaran disebabkan oleh peningkatan harga komoditas, khususnya harga emas. Shinta meyakini bila konsumsi emas global meningkat, pelaku pasar global masih menahan diri untuk meningkatkan permintaan industri.
"Jadi, kita tidak bisa bernapas lega dulu dan menanggap krisis sudah lewat karena risiko terjadinya krisis masih cukup besar," ujar dia.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, penurunan impor Juli tidak menunjukkan pelemahan geliat industri nasional. Menurutnya, ada jeda waktu dalam proses produksi pabrik global sehingga proses impor ke Indonesia ikut terhambat.
"Jadi produksi sudah meningkat pada Juni, tapi ada keterbatasan aktivitas produksi. Akhirnya produksi Juli tidak setinggi bulan sebelumnya," ujar dia.
Pasalnya data Purchasing Managers Index (PMI) Juli menunjukkan adanya peningkatan aktivitas industri meski belum memasuki level ekspansi. Sebagaimana diketahui, PMI Manufaktur Indonesia periode Juli 2020 naik level 46,9 dibandingkan bulan sebelumnya 39,1.
Untuk mendorong kinerja industri, dia menilai perlunya pencairan stimulus fiskal untuk korporasi. Sebagaimana diketahui, anggaran pembiayaan korporasi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 53,57 triliun. "Insentif fiskal terbilang mandek," ujar dia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan, Benny Soetrisno pun mengatakan, stimulus berupa kemudahan pembiayaan perlu segera direalisasikan.
Dia menduga, stimulus tersebut tidak segera dicairkan lantaran adanya trauma pelanggaran terhadap aturan yang berlaku, seperti yang terjadi pada kasus Bank Century. "Mungkin traumatik kebijakan akan menyalahi perdata atau pidana, padahal sudah ada Undang-Undang Nomor 2/2020," katanya.