Proyek OBOR Tiongkok: Kontroversial di Asia, Didukung Arab dan Rusia
Proyek raksasa One Belt One Road (OBOR) Tiongkok mencatat babak baru dengan ditandatanganinya kerja sama Tiongkok dengan 18 negara Arab pada Jumat (12/7). Menurut Departemen Perdagangan Tiongkok, perusahaan-perusahaan asal negara Tirai Bambu itu akan menggarap proyek-proyek senilai US$ 35,6 miliar atau sekitar Rp 498,4 miliar di negara-negara Arab. Bidang kerja sama mencakup berbagai sektor, antara lain energi, infrastruktur, dan manufaktur.
Seperti dilansir kantor berita Xinhua, Wakil Menteri Perdagangan Tiongkok Qian Keming mengatakan, nilai investasi langsung dari perusahaan-perusahaan Tiongkok pada proyek-proyek tersebut mencapai US$ 1,2 miliar atau Rp 16,8 triliun. Pemerintah Tiongkok juga mendorong perusahaan-perusahaan keuangan dari negara tersebut untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Arab di sektor pelabuhan, rel kereta, kelistrikan, dan telekomunikasi.
Kerja sama ini menandai bergabungnya negara-negara Arab dalam proyek OBOR. Tiongkok telah melakukan pendekatan kepada negara-negara Arab tersebut sejak China-Arab States Cooperation Forum dilaksanakan di Beijing pada Juli 2018. Pada pertemuan tersebut, Presiden Tiongkok Xi Jinping menjanjikan pinjaman senilai US$ 20 miliar atau Rp 280 triliun untuk mendukung proyek-proyek di Arab.
Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan The Second China-Arab Reform and Development Forum di Shanghai pada 15-16 April 2019. Pertemuan tersebut dihadiri 40 pemimpin negara Arab, antara lain Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Perdana Menteri Uni Emirat Arab Mohammed bin Rashid Al Maktoum.
Menurut Guy Burton dalam jurnal International Policy Digest, tawaran kerja sama dari Tiongkok ini disambut baik negara-negara Arab. Beberapa negara Arab menghadapi masalah instabilitas politik akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, masuknya Tiongkok dengan proyek OBOR dinilai bisa mengatasi masalah tersebut.
Negara-negara di Semenanjung Arab yang terhubung dengan pembangunan proyek infrastruktur OBOR, seperti Mesir diprediksi akan mendapatkan pendanaan signifikan dari Tiongkok. Begitu pula dengan Uni Emirat Arab (UEA). Tiongkok saat ini merupakan mitra dagang kedua terbesar bagi negara tersebut sedangkan UEA merupakan pintu masuk ekspor Tiongkok ke Timur Tengah.
April lalu, UEA dan Tiongkok telah menandatangani kerja sama untuk investasi senilai US$ 3,4 miliar di proyek terkait OBOR, termasuk pembangunan stasiun seluas 60 juta meter persegi di Dubai. "Mitra dagang kami dari Tiongkok akan menggunakan stasiun tersebut untuk menyimpan dan mengirimkan produk-produknya melalui Dubai ke seluruh dunia," kata Perdana Menteri UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, melalui cuitan di akun Twitternya.
Negeri Tirai Bambu itu juga menyiapkan dana US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun untuk negara-negara Arab yang tengah berkonflik, seperti Suriah. Namun, dana tersebut dinilai tidak mencukupi. Pasalnya, Bank Dunia memperkirakan rekonstruksi Suriah membutuhkan dana sekitar US$ 240 miliar atau Rp 3.360 triliun.
(Baca: Ambisi BOR dan Lomba Kereta Cepat Tiongkok oleh Negara Asia-Australia)
Kontroversi Proyek OBOR di Asia
Proyek OBOR juga memicu kontroversi di Asia. Pada pertemuan ke-39 Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss pada medio September 2018, India menyatakan keberatan terhadap OBOR. Pasalnya, pembangunan Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan dinilai mengabaikan kedaulatan dan integritas wilayah India.
Survei Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada Januari lalu juga menunjukkan kekhawatiran terhadap makin besarnya pengaruh Tiongkok dan program OBOR. Survei yang melibatkan 1.008 responden dari sepuluh negara Asean ini menunjukkan 73% responden menilai Tiongkok punya pengaruh ekonomi terbesar di Asean. Bahkan, lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh AS di kawasan tersebut.
Akan tetapi, mayoritas responden juga khawatir terhadap ambisi geostrategis Tiongkok. Sebanyak 70% responden menilai pemerintah di negaranya harus berhati-hati dalam negosiasi proyek-proyek infrastruktur OBOR. Responden dari Malaysia, Filipina, dan Thailand, sebagaimana dikutip Reuters, menilai hal ini penting agar pemerintah tidak terjerat utang.
(Baca: Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra)
Dukungan Rusia dan Upaya Mendominasi Perdagangan Global
Selain menggaet negara-negara Arab, Tiongkok juga mendapatkan dukungan dari Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin belum lama ini menyetujui pembangunan jalan sepanjang 1.250 mil atau 2.012 km yang menghubungkan Belarus dengan Shanghai.
Proyek yang disebut sebagai Meridian Highway itu merupakan bagian dari jalur sepanjang 8.050 km yang menghubungkan Shanghai, Tiongkok dengan Hamburg, Jerman. Menurut The Moscow Times, konstruksi jalan raya yang terdiri atas empat lajur itu dimulai tahun ini dan diperkirakan tuntas pada 2033. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 131,3 triliun. Proyek ini diharapkan dapat mempersingkat rute kargo darat dari Tiongkok bagian barat ke Eropa Tengah.
Kepala Riset Pusat Analisis Rusia-Tiongkok, Sergei Sanakoyev, mengatakan proyek Meridian Highway ini bisa membuka tambahan lapangan kerja dan menambah pendapatan Rusia dari transit kendaraan kargo dari Tiongkok. Russian Holding, perusahaan yang dipimpin mantan petinggi Gazprom Alexander Ryazanov, menjadi salah satu pemilik dari proyek ini dan menguasai 80% lahan yang akan dilewati pembangunan jalan tersebut.
Hubungan Tiongkok-Rusia yang makin hangat di tengah perseteruan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok menimbulkan berbagai spekulasi. Salah satunya adalah upaya Tiongkok-Rusia untuk menguasai perdagangan global. Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar dari Rusia dengan volume perdagangan melampaui US$ 100 miliar pada 2018.
Pengamat dari Carnegie Moscow Center Dmitri Trenin menilai hubungan Tiongkok-Rusia merupakan model baru dari hubungan dua negara besar. Eratnya kerja sama Tiongkok-Rusia membuat AS khawatir. Tiongkok-Rusia bukan hanya bekerja sama di bidang militer tetapi juga di bidang ekonomi dalam kerangka Penyatuan Ekonomi Eropa-Asia.
Seperti dilansir Nationalinterest.org, Zhigniew Brzezinski dalam bukunya The Grand Chessboard memprediksi koalisi Rusia-Tiongkok berpotensi berkembang menjadi kemitraan seperti di awal era Perang Dingin. Hanya saja, kali ini Tiongkok akan menjadi pemimpinnya sedangkan Rusia sebagai pengikut.
Bagi Rusia, kemitraan dengan Tiongkok adalah upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan di antara negara-negara besar. Sebaliknya, bagi Tiongkok pengaruh yang kuat di sistem internasional tidak bisa dipisahkan dari kekuatan ekonomi negara tersebut. Dalam hal ini, proyek OBOR menjadi sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
(Baca: Punya OS Hongmeng, Huawei Dilaporkan Tertarik Gunakan OS Rusia)