Indonesia Tidak Lagi Kaya Minyak

No image
Oleh
18 Juni 2013, 00:00
No image
Donang Wahyu | KATADATA

Kondisi sebaliknya terjadi pada konsumsi minyak bumi. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi Indonesia. Pada 1980-an, konsumsi minyak dalam negeri masih 400 ribu barel per hari, namun memasuki tahun 2000, konsumsi sudah melonjak tiga kali lipat menjadi 1,2 juta barel minyak per hari. Saat ini, bahkan sudah melebihi 1,4 juta barel minyak per hari.

Lonjakan konsumsi yang tidak diimbangi dengan produksi minyak domestik, tak pelak membuat impor minyak dan BBM semakin meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi, konsumsi BBM masih mendominasi kebutuhan energi nasional, dengan proporsi hampir 50 persen dari total pemenuhan kebutuhan energi. Tingginya impor BBM membuat negara ini bukan lagi sebagai net-oil importer country. Maka sejak 2008, Indonesia pun memutuskan keluar dari OPEC.

Di sisi lain, konsumsi dan impor BBM yang terus meningkat - bahkan menempatkan Indonesia dalam jajaran 14 konsumen minyak terbesar di dunia - membuat jumlah subsidi BBM dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bayangkan, bila pada 2006, menurut data Kementerian Keuangan, jumlah subsidi BBM masih Rp 64 triliun, namun pada 2012, sebanyak Rp 212 triliun uang dibakar untuk membiayai subsidi BBM. Tahun ini, subsidi minyak dan gas dianggarkan Rp 193,8 triliun.

Subsidi BBM Indonesia tergolong besar di dunia. Bahkan, proporsi anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM tidak jauh berbeda dengan negara-negara super kaya minyak. Itu terlihat dari laporan studi Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjudul "Energy Subsidy Reform: Lesson and Implications" dan  dirilis pada 18 Januari 2013.  

Hasil studi IMF menyebutkan tiga negara paling kaya minyak di dunia, yakni Venezuela, Arab Saudi dan Iran, pada 2011 menganggarkan dana subsidi BBM cukup besar bagi rakyatnya. Arab Saudi mengalokasikan 14 persen dari penerimaan negara, Venezuela 15,8 persen dan Iran 16,9 persen. Ironisnya, dana subsidi yang dianggarkan pemerintah Indonesia hampir sama dengan negara-negara petrodolar tersebut. Menurut studi tersebut, sebesar 14 persen dari total penerimaan negara Indonesia digunakan untuk subsidi BBM.

Berkaca pada data-data tersebut, patut dipertanyakan, apakah pantas jika Indonesia mengikuti negara-negara kaya minyak dengan mengalokasikan subsidi BBM yang menyedot anggaran sedemikian besar.  Bahkan, pada tahun ini, nilainya hampir sama dengan anggaran infrastruktur sebesar Rp 201 triliun. Dana itu akan digunakan untuk membangun bandar udara dan pelabuhan baru, jalur kereta api baru , jalan lintas Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua, irigasi, pemukiman dan lainnya.

Agar ketergantungan pada subsidi BBM tidak semakin membesar, maka sudah selayaknya harga BBM dinaikkan. Toh, kendati harga premium dinaikkan Rp 2000, tidak berarti subsidinya hilang. Namun, APBN tetap memikul beban subsidi BBM cukup besar.

Artikel ini sudah dimuat di kolom Opini, Harian Republika, edisi 15 Juni 2013

Halaman:
No image
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...