Duet Tiktok - Tokopedia, Polemik Keranjang Kuning dan Nasib UMKM

Hatim Varabi, Head of Digital Product Katadata Media Network
Oleh Hatim Varabi
5 April 2024, 11:25
Hatim Varabi, Head of Digital Product Katadata Media Network
Katadata
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Sejak Tiktok shop ekspansi ke Indonesia, pendapat publik seperti terbelah. Sebagian mempersoalkan model bisnis mereka yang mencampurkan antara social media dan e-commerce atau seringkali disingkat social commerce. Intinya, Tiktok menjalankan bisnis e-commerce di platform sosmed.  

Kelompok yang kontra gencar mengingatkan pemerintah bahwa social commerce tidak bisa dibenarkan. E-commerce dan social media harus dipisahkan agar tercipta kompetisi yang setara. Wujud dari social commerce itu kemudian disimplifikasi pada eksistensi keranjang kuning dan live shopping.

Tapi, tidak semua pihak menolak. Para seller, pelapak, pedagang online justru sebaliknya. Mereka gembira karena terbantu dengan cara berjualan ala Tiktok shop. Dagangan lebih laris, transaksi lebih mudah dan karena itu angka penjualan meningkat. Beberapa ruko di pusat perbelanjaan yang mati suri malah bersalin rupa menjadi tempat bikin konten atau jualan live.

Pun konsumen, merasakan kenyamanan. “New Experience” ini membuat tagline “konsumen adalah raja” benar-benar terimplementasi secara optimal. Konsumen jatuh hati karena Tiktok shop memberi ruang interaksi yang intens dengan para penjual. Ini menjadi titik perbedaan paling signifikan dengan model bisnis lama pemain e-commerce.

Dulu konsumen hanya sebatas memilih barang di e-commerce. Cuma bisa mengamati foto barang, cek spesifikasi, membaca ulasan pembeli lain dan bertanya ke penjual melalui kolom chat yang dijawab di lain waktu. Tiktok shop kemudian datang dan membuat perbedaan. Fitur live shopping memampukan seller untuk mendemonstrasikan produk dan “ngobrol” langsung dengan calon pembeli.

Penjual dan pembeli seperti tatap muka tapi di dunia maya. Sebegitu dekat interaksinya.

Bisnis model Tiktok shop berhasil menggetarkan lawan dan karena itu memicu resistensi. Apalagi Tiktok bagian dari korporasi global (ByteDance) dengan likuiditas melimpah. Mereka bisa bakar duit berapapun untuk menyaingi kompetitor manapun.  

Seperti kita tahu, ruang publik kemudian dibanjiri negative campaign tentang predatory pricing, cross border dan seterusnya yang sebenarnya dilakukan juga para pemain eksisting. Semua narasi itu kemudian diarahkan dan dibingkai pada satu titik : Tiktok shop harus punya izin sebagai e-commerce atau dianggap ilegal.

Pemerintah akhirnya bertindak melalui Permendag. Langkah Tiktok terhenti kecuali melakukan dua hal. Pertama, mengurus izin dan membangun e-commerce sendiri. Atau, kedua, menjalin kemitraan dengan partner lokal yang memiliki lisensi sebagai e-commerce. Selain itu pemerintah juga meminta Tiktok melakukan pendampingan terhadap UMKM agar semakin kompetitif dalam memasarkan produk secara online.  

Langkah Kemendag ini, menurut saya, sudah tepat dan patut diapresiasi. Senyaman apapun pedagang dan pembeli bertransaksi di Tiktok shop, prinsip dasar tentang “playing field” yang sama harus ditegakkan. Pemerintah sudah bertindak benar karena Tiktok tidak akan pergi begitu saja dari negeri yang prospek ekonomi digitalnya paling menjanjikan di Asia.

Dan kita sama sama tahu, Tiktok memilih opsi berkolaborasi dengan platform e-commerce eksisting yakni Tokopedia karena paling praktis, paling efektif dan paling menghemat waktu. Tidak kebayang berapa banyak energi dan waktu yang terbuang jika harus bangun bisnis dari nol dan kerumitan proses perizinannya.

Setelah mengumumkan transaksi, kedua pihak memulai proses integrasi data dan migrasi sistem elektronik dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Nah, sambil menunggu proses rampung, Kemendag berinisiatif mengizinkan keduanya melakukan uji coba, termasuk membolehkan kembali para seller berjualan di platform.

Fokus Bantu UMKM

Inisiatif Kemendag ini menuai polemik. Bagi sebagian pihak, uji coba di masa transisi adalah hal tidak lazim dan tidak dikenal dalam regulasi. Bagi yang lain, terutama seller, justru menjadi berkah. Sederhana saja, mereka jadi bisa berjualan lagi, punya tambahan lapak. Apalagi musim panen pedagang, yakni Ramadan dan Lebaran, sudah tiba.

Saya berada di pihak yang setuju dengan diskresi Kemendag. Bagaimanapun, objektif utama dari sebuah regulasi itu diukur dari seberapa besar manfaatnya bagi publik. Kalau regulasi menimbulkan hambatan, menyusahkan publik, menyulitkan UMKM jualan, ya berarti ada yang keliru dalam cara berfikir kita.

Inisiatif Kemendag menunjukkan bentuk akomodasi terhadap aspirasi para pelaku UMKM.

Lagipula, di sisi lain, Tiktok sudah berupaya memenuhi semua permintaan Kemendag agar comply dengan aturan. Termasuk memberikan pendampingan dan pelatihan terhadap UMKM dalam beradaptasi dengan teknologi. Yang tak kalah penting, mereka juga sudah menunjukkan komitmen yang kuat dengan membenamkan investasi lebih dari Rp23 triliun di Tokopedia, platform tempat UMKM memperbesar pangsa pasar.

Selain soal masa transisi, polemik yang kencang juga terjadi di isu keranjang kuning dan live shopping. Buat para pengkritik, fitur ini adalah eksistensi dari bisnis model social commerce. Selama fitur itu masih ada di platform Tiktok, selama itu pula dipersepsikan tidak comply terhadap Permendag. Bahwa Tiktok telah mengurus izin, konsultasi ke pemerintah, secara bertahap memindahkan sistem elektronik dan data ke Tokopedia, mereka seolah tutup mata.

Sampai pada titik ini, saya malah menduga, polemik yang ramai belakangan ini memang sengaja dimunculkan dan punya motif buruk. Tidak lebih dari sekedar urusan persaingan bisnis dari pemain lain yang terancam tergerus market sharenya. Manuver semacam ini tentu berbahaya karena tidak lagi menempatkan kritik pada bingkai kepentingan publik yang lebih luas.

Dugaan ini muncul karena Kemendag berulang kali menegaskan bahwa platform sosial media lain boleh meniru cara Tiktok dan Tokopedia melakukan integrasi back end. Jadi, platform semacam Instagram dan Facebook, yang selama ini dijadikan tempat promosi dagangan (online shop/olshop), bisa juga bermitra dengan e-commerce.

Artinya, dalam bahasa yang sederhana, para olshop yang selama ini berjualan di Instagram atau Facebook, bisa meletakkan keranjang biru, orange, hijau atau lainnya di akunnya dengan catatan Facebook atau Instagram sudah memiliki izin e-commerce atau mengakuisisi platform e-commerce eksisting. Mereka cukup melakukan integrasi secara “back end” seperti halnya Tiktok dan Tokopedia.  

Yang perlu dilakukan para pemain e-commerce adalah membantu UMKM lokal menjadi tuan rumah bisnis e-commerce tanah air. Beri mereka pelatihan agar bisa bikin konten jualan yang kreatif dan menarik. Jika sudah dilatih teknik jualan online yang efektif, berilah mereka kanal khusus untuk promosi dan subsidi (promo).

Hatim Varabi, Head of Digital Product Katadata Media Network
Hatim Varabi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...