Membedah Suburnya Pertumbuhan Kelompok Militan Islam di Jawa

Alexandre Pelletier
Oleh Alexandre Pelletier
28 Oktober 2020, 09:00
Alexandre Pelletier
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Suasana aksi reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta, Senin (2/12/2019). Reuni tersebut digelar untuk lebih mempererat tali persatuan umat Islam dan persatuan bangsa Indonesia.

Pengaruh seorang kiai berhubungan erat dengan seberapa besar pesantren dan jaringannya. Kiai dengan jumlah murid lebih banyak dan punya lebih banyak jaringan dengan kiai lain secara umum lebih mudah memberi pengaruh lebih di dalam maupun luar wilayah.

Kiai yang punya pengaruh dapat meningkatkan popularitas mereka, sehingga dapat mendapatkan akses, kekuasaan, dan sumber daya di pemerintahan daerah, partai politik, dan institusi Islam (misalnya Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia).

Kiai dengan status lebih rendah, yaitu yang muridnya sedikit dan koneksinya lemah dengan kiai lain, akan lebih sulit mendapatkan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya. Sebaliknya, mereka menjadi rentan dan harus melakukan banyak upaya jika ingin bertahan dalam jangka panjang.

Kurangnya pesantren besar di Jawa Barat membuat provinsi tersebut kekurangan kiai yang berpengaruh.

Meski masyarakat Jawa Barat memiliki identitas Islam yang kuat, otoritas Islam di sana lebih lemah dan lebih kompetitif dibanding dengan daerah lain. Dalam konteks ini, kita bisa memahami munculnya kelompok militan di Jawa Barat.

Kiai Jawa Barat memiliki pesantren lebih kecil dan harus bersaing mendapatkan murid dengan menggunakan retorika agama yang lebih agresif.

Bergabung atau membentuk sebuah kelompok militan, yang menggunakan wacana moralitas dan sektarianisme, telah menjadi alat kuat untuk memperluas otoritas keagamaan.

Banyak kiai kecil telah mendapatkan pengikut baru dan pengakuan dari kiai dan pembuat kebijakan lainnya justru sebagai hasil dari mobilisasi dan wacana agama yang tegas di ruang publik.

Dengan kata lain, aktivitas mereka di kelompok militan telah memperkuat status, pengaruh, dan kekuatan mereka - sesuatu yang mereka tidak bisa dapatkan sendirian. Banyaknya kiai kecil menjelaskan perkembangan pesat kelompok militan di Jawa Barat.

Kelembagaan yang Lebih Kuat di Jawa Timur

Di Jawa Timur, situasinya jauh berbeda. Survei pendapat menunjukkan perilaku terhadap moral dan agama minoritas secara umum hampir sama di seluruh daerah-daerah di Jawa.

Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa pengikut NU yang sebagian berada di Jawa Timur sama tidak tolerannya dengan yang kaum Muslim lain, bahkan dalam beberapa kasus jauh lebih intoleran.

Akan tetapi, mobilisasi militan jauh lebih kecil di Jawa Timur.

Di sini, bukan ideologi, melainkan lembagalah yang lebih penting: kiai punya pesantren besar, punya jaringan kuat antarkiai, dan tidak bersaing untuk mendapatkan pengikut serta perhatian publik. Struktur kelembagaan ini cenderung menahan upaya-upaya kiai untuk bergerak sendiri dan menjadi lebih menonjol dari lainnya.

Cara untuk memperoleh pengaruh dan kekuatan di Jawa Timur adalah melalui NU dan mendapat posisi pemimpin di berbagai organisasi sayap NU. Menggunakan mobilisasi militan untuk mendapat status, seperti di Jawa Barat, akan sia-sia.

Lebih lagi, karena mereka punya institusi kuat di bawahnya, kiai lokal merasa lebih mudah - atau berdampak tidak buruk dalam hal reputasi mereka - untuk secara terbuka menentang dan menghalangi aktivitas kelompok militan.

Menariknya, banyak kiai di Jawa Timur menentang kelompok militan lebih karena takut kalah dari pemimpin baru yang muncul, ketimbang karena mereka menentang tujuan kelompok militan.

Apa yang harus dilakukan negara?

Kesimpulannya, struktur lokal otoritas agama - ketimbang perbedaan politik atau gagasan - menjadi alasan sukses-gagalnya kelompok militan di Jawa.

Di daerah yang otoritas agamanya kuat, kelompok militan tidak bisa mengakar. Di daerah yang otoritas agamanya lemah dan kompetitif, kelompok militan berkembang pesat.

Poin penting yang dapat diambil adalah pemerintah harus hati-hati dalam mengurangi pengaruh otoritas keagamaan pada era demokrasi. Pemerintah harus menghindari pemberian ruang berlebih yang memunculkan kompetisi antarelite agama - di Majelis Ulama Indonesia misalnya - yang meningkatkan insentif untuk melakukan mobilisasi militan.

The Conversation

Halaman:
Alexandre Pelletier
Alexandre Pelletier
Post-Doctoral Fellow, Cornell University
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...