Agar Lobster Bermanfaat untuk Negeri
Apa sajakah tantangan pengelolaan lobster di Tanah Air? Pertanyaan ini penting dijawab agar polemik lobster di pengujung 2020 tidak sekadar “ramai”, tetapi juga berujung pada jalan perbaikan di 2021 dan ke depannya.
Mari lihat pengelolaan lobster Indonesia dalam kurun 20 tahun terakhir. Ke luar, kontribusi ekspor lobster teramat kecil. Bahkan, perdagangan lobster Indonesia di pasar dunia belum pernah genap 2 persen: hanya 0,87 persen di 2001, sempat naik menjadi 1,78 persen di 2013, lalu turun menjadi 0,70 persen di 2019. Saat ini, sebanyak 99,5 persen produksi lobster dunia berasal dari tangkapan alam.
Pada rezim lobster hasil tangkapan alam inilah Kanada, Amerika Serikat, dan Australia menempati urutan 1, 2 dan 3 eksportir lobster terbesar di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Posisi Indonesia tertinggal hampir 60 kali lipat dari Kanada, 20 kali lipat dari Amerika Serikat dan sekitar 16 kali lipat dari Australia.
Sedang ke dalam, perkembangan budidaya lobster di Tanah Air juga terus menyusut.
Secara global, produksi lobster dari budidaya masih relatif kecil dibanding hasil tangkapan alam. Namun tren pertumbuhan produksinya pada 2010-2016 meningkat mencapai 8,48 persen per tahun —jauh di atas pertumbuhan rata-rata produksi lobster hasil tangkapan alam yang hanya 1,58 persen per tahunnya. Angka tersebut juga lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan konsumsi ikan per kapita warga dunia selama 50 tahun terakhir yang hanya 3,1 persen per tahunnya (FAO, 2020). Maka, peluang Indonesia untuk menjadi pemain lobster dunia justru ada di budidaya. Apalagi, berbudidaya lobster bukanlah hal baru bagi nelayan Indonesia.
Pelajaran Berharga Dua Menteri
Di Teluk Jor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, misalnya, praktik berbudidaya lobster menggunakan keramba jaring apung sudah berlangsung hampir 30 tahun terakhir. Ekosistem usahanya pun sudah terbentuk rapih: ada nelayan yang berperan sebagai penangkap benih lobster, ada kolektor dan penjual benih, ada pembudidaya dengan ragam ukuran panen, ada agregator hasil panen, dan seterusnya hingga ke pasar.
Tidak heran, di 2013 lalu, produksi lobster Indonesia dari budidaya sempat memuncak dengan produksi lebih dari 54 persen dari total budidaya lobster dunia. Waktu itu, Vietnam hanya sekitar 41 persen saja. Namun, perubahan kebijakan yang tidak pro budidaya —disamping sumber daya benih yang sudah semakin terbatas— menyebabkan postur produksi budidaya lobster dunia berbalik: Vietnam lompat ke 85 persen dan Indonesia turun ke 9 persen.
Sebenarnya, baik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (2014-2019) dan Menteri Edhy Prabowo (2019-2020) telah memberikan banyak sekali pelajaran berharga yang dapat digunakan untuk menyempurnakan kebijakan lobster di kepulauan Indonesia. Dari Peraturan Menteri Susi Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, misalnya, bangsa ini memperoleh pelajaran bahwa melarang ekspor benih lobster (saja) tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki kesejahteraan nelayan dan pengembangan budidaya lobster di Tanah Air.
Terlebih lagi, aturan itu juga melarang nelayan Indonesia mengambil benih lobster dari perairan Indonesia, untuk dibudidayakan oleh nelayan Indonesia, di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Walhasil, semua serba salah: ke luar benih lobster tidak boleh diekspor dan ke dalam benih lobster tidak boleh dibudidayakan. Pelajaran sebaliknya didapatkan dari Menteri Edhy.
Melegalkan nelayan untuk mengambil benih lobster dari alam, baik untuk keperluan ekspor maupun budidaya, juga tidak otomatis akan menaikkan kesejahteraan nelayan dan budidaya lobster Indonesia. Kebijakan ini justru memicu perebutan benih lobster berkualitas antara si eksportir dan si pembudidaya. Lemahnya pengawasan telah menyuburkan praktik manipulatif dan koruptif sehingga bisnis ekspor benih lobster menjadi lebih menjanjikan ketimbang ikhtiar untuk berbudidaya.
Sekarang, mari belajar dari negara eksportir lobster nomor wahid di dunia: Kanada.
Komoditi lobster berkontribusi lebih dari 50 persen pendapatan ekspor perikanan Kanada. Untuk sampai pada posisi tersebut, Kanada tidak sebatas mengatur buka-tutup pintu ekspor lobster. Kanada menyiapkan aturan, fasilitas, insentif dan kemitraan untuk menjamin keberlanjutan bisnis lobster di negaranya dengan menjaga kesehatan persaingan usaha dan menumbuhkembangkan inovasi dan teknologi.
Puncaknya, Kanada ingin memastikan agar harga lobsternya selalu lebih tinggi di pasar dunia. Secara kelembagaan, mereka pun mengonsolidasi empat kekuatan domestiknya: mulai dari produsen, baik itu nelayan, kolektor hingga prosesor. Lalu, pemerintah, khususnya mereka yang memiliki sentra-sentra lobster di daerahnya. Ada pula Pusat Ilmu Pengetahuan Lobster untuk menyiapkan standardisasi, pendidikan dan penelitian. Terakhir, mereka juga memiliki Dewan Lobster Kanada yang aktif melakukan pemasaran, riset pasar, dan fasilitasi kerja sama industri.
Bahkan, Kanada mendekatkan pembangunan infratruktur ekspor ke sentra-sentra lobster untuk menjawab kebutuhan pasar yang berbeda satu dan lainnya. Sebagai contoh, tujuan utama ekspor lobster Kanada awalnya adalah Amerika Serikat. Menguatnya ekonomi Cina telah menempatkan negara tersebut sebagai salahsatu importir lobster hidup terbesar di dunia. Perkembangan ini mendorong perubahan postur industri lobster Kanada. Saat ini, 57 persen dari ekspor Kanada adalah lobster hidup dan tujuan utamanya adalah ke Cina.
Agar Lobster Bermanfaat
Berkaca dari Kanada, maka ikhtiar pengelolaan lobster di Tanah Air membutuhkan pembesaran peran negara dari sekadar menjadi “penjaga portal” buka-tutup kran ekspor benih lobster. Secara operasional, Peraturan Menteri Susi maupun Edhy dapat dibaurkan untuk menutup rapat ekspor benih lobster dari perairan Indonesia, menyiapkan strategi perluasan budidaya, serta menjaga pertumbuhan ekonomi lobster nasional.
Dalam jangka pendek, ekonomi lobster masih sangat ditentukan oleh hasil tangkapan alam. Di sini, menjaga standardisasi dan pengendalian pemanfaatan lobster dari alam menjadi kunci. Selain itu, strategi pemasaran dan perluasan pasar lobster baik di dalam maupun luar negeri harus terus diperkuat, termasuk dengan mendekatkan infrastuktur ekspor di sentra-sentra lobster nasional.
Sedangkan untuk agenda menengah dan panjang, pengembangan budidaya lobster harus menjadi prioritas. Langkah paling awal adalah mengintegrasikan alokasi pemanfaatan ruang pesisir untuk budidaya lobster ke dalam zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di 13 sentra budidaya lobster nasional. Selanjutnya, mendorong pembudidaya lobster untuk berkoperasi sehingga aksesnya terhadap pembinaan, pembiayaan, benih, hingga pasar menjadi lebih terbuka dan berskala ekonomi. Begitupun terhadap BUMN, swasta ataupun perguruan tinggi harus dipacu untuk berinvestasi dalam pengembangan inovasi dan teknologi budidaya lobster: baik untuk pembenihan, pakan, pembesaran hingga karamba jaring apung.
Terakhir, Laporan FAO (2020) menyebut meningkatnya ketegangan antara Cina dan Amerika Serikat telah memperparah ketidakpastian pasar ikan global, termasuk dalam hal perdagangan lobster —di mana 60 persen pasar ekspornya diserap oleh Cina dan Amerika Serikat. Maka, sekaranglah waktu terbaik untuk Indonesia masuk ke pasar utama lobster dunia sembari mempersiapkan diri untuk membangun industri budidaya lobster nasional yang lebih kokoh. Pastilah tidak mudah. Namun hanya dengan menghadirkan peran negara secara utuh maka pengelolaan lobster dapat membawa manfaat untuk negeri.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.