Pentingnya Mengendalikan Wabah
Beberapa waktu lalu, berbagai media melaporkan bahwa beberapa rumah sakit (RS) sudah kolaps akibat wabah Covid-19 yang tidak terkendali dengan baik. Berita ini bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan menjadi alarm agar fokus pada pokok persoalan yang sesungguhnya sedang kita hadapi: ancaman ambruknya sistem layanan kesehatan.
Kita pernah mendengar istilah bed occupancy ratio (BOR) atau rasio keterisian RS. Ketika gelombang kedua Covid-19 muncul, dilaporkan terjadi peningkatan BOR di berbagai daerah secara signifikan. Sistem layanan kesehatan menjadi kacau karena pasien yang harus ditangani melebihi kapasitas. Lonjakan pasien virus corona bergejala yang membutuhkan bantuan medis adalah sebab terjadinya peningkatan BOR hingga melebihi kapasitas dan membuat layanan kesehatan ambruk.
Virus SARS-CoV-2 menginfeksi manusia dan menularkannya kembali kepada manusia. Mari kita menyapa istilah basic reproduction number atau angka penularan yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi. Tanpa intervensi maksudnya apabila pemerintah tidak melakukan apa-apa dan masyarakat tidak memakai masker serta berkerumun. Artinya, basic reproduction number ini mengasumsikan transmisi virus pada kehidupan yang berjalan normal seperti tidak ada wabah.
Dalam statistik, istilah basic reproduction number diberikan simbol R0 (“Nol” atau tanpa intervensi). Saat wabah ini pertama kali merebak, angka R0 berada di kisaran 2 – 3. Dengan kata lain, potensi penyebarannya adalah satu orang menularkan kepada dua sampai tiga orang lainnya. Ketika isu varian delta dari India ini masuk ke Indonesia, angka R0 dikabarkan mencapai tujuh. Bayangkan, satu orang dapat menularkan ke tujuh orang lain.
Risiko penyebaran virus tersebut berkontribusi pada angka-angka kasus terkonfirmasi yang kita saksikan sehari-hari. Peningkatannya, meminjam istilah matematika, terjadi secara eksponensial. Kalau kita lihat pada sebuah grafik, garis pertumbuhannya tidak lurus (linier), melainkan melengkung ke atas. Artinya, penyebaran terjadi secara masif. Itulah mengapa kita melihat data kasus terkonfirmasi harian tampak semakin cepat bertambah. Jawabannya karena pertumbuhan transmisi yang terjadi secara eksponensial tersebut.
Bukankah sebagian besar yang terinfeksi berhasil sembuh? Masalahnya di mana?
Masalahnya adalah peningkatan kasus terkonfirmasi beriringan dengan bertambahnya pasien yang bergejala sedang hingga berat. Mereka yang bergejala ini membutuhkan bantuan medis. Semakin banyak yang membutuhkan bantuan medis, artinya layanan kesehatan seperti puskesmas maupun RS harus bekerja lebih ekstra. Tapi lagi-lagi kita harus ingat, kerja ekstranya layanan kesehatan memiliki batas maksimal. Sehingga, yang harus dilakukan adalah mengendalikan penyebaran virus, agar tidak terjadi ledakan secara eksponensial tadi.
Cara yang paling efektif sebagaimana saran epidemiolog adalah karantina penuh (menahan mobilitas secara total), atau disebut juga dengan lockdown. Negara lain seperti India, Iran, bahkan Tiongkok terbukti berhasil mengendalikan transmisi virus lewat lockdown. Kebijakan lockdown memang bukan untuk menghilangkan virus, karena bagaimanapun, virus itu akan tetap ada. Karena akan tetap ada, langkah yang harus dilakukan adalah mengendalikan transmisi virus itu sendiri. Asumsinya adalah: selama ada mobilitas, penularan akan terus terjadi.
Usaha-usaha pemerintah mulai dari PSBB, kemudian PPKM, PPKM mikro, hingga PPKM darurat pada intinya adalah untuk mengendalikan penyebaran virus, terlepas berjalan efektif ataupun tidak. Sedangkan dari sisi masyarakat yang tidak punya kuasa atas politik anggaran, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah taat protokol kesehatan sebagai langkah preventif. Memakai masker dengan benar, menghindari kerumunan, dan rajin-rajin cuci tangan terbukti secara ilmiah mencegah penularan.
Dari usaha-usaha seperti PPKM dan protokol kesehatan ketat, angka pada R0 di atas dapat ditekan. Orang-orang mensimbolisasikannya dengan Rt (“t” berarti penyebaran virusnya telah diintervensi). Cara mengukur efektivitas PPKM itu dengan melihat apakah angka Rt itu berhasil turun dengan signifikan atau tidak. Jadi kalau sebelum PPKM dan sebelum taat protokol kesehatan angka penyebarannya mencapai “satu menularkan tiga orang”, setelah diintervensi bisa “satu menularkan satu orang”. Sebetulnya baru dikatakan berhasil jika angka Rt itu mendekati nol, atau nol koma. Semakin mendekati angka nol berarti usaha yang dilakukan semakin efektif.
Usaha itu disebut juga sebagai flattening the curve atau meratakan kurva. Maksudnya, kurva yang menanjak akibat penambahan jumlah kasus harian bisa diturunkan kembali hingga mendekati angka nol kasus.
Walaupun transmisi virus masih terjadi, tetapi berjalan lambat. Penambahan jumlah kasus yang lambat akan memudahkan layanan kesehatan untuk menangani pasien-pasien bergejala berat karena tidak terlampau membebani kapasitas. Maka, kejadian seperti pasien bergejala berat ditolak RS dan saling berebut tabung oksigen lebih mudah untuk dicegah.
Hal kedua yang sama pentingnya untuk mencegah ambruknya layanan kesehatan adalah dengan vaksinasi. Tujuan vaksinasi bukan agar tidak “positif covid”, melainkan untuk membentuk kekebalan tubuh guna melawan infeksi virus. Andaikata terinfeksi, tubuh kita bisa melawan virus tersebut sehingga tidak terjadi gejala serius.
Namun, vaksinasi ini haruslah dilakukan secara massal. Tujuannya adalah untuk mencapai kekebalan komunitas, atau disebut sebagai herd immunity. Kekebalan komunitas ini terjadi manakala rasio vaksinasi telah melampaui separuh penduduk. Ada yang bilang minimal 70 persen populasi di Indonesia harus sudah divaksinasi utuk membentuk herd immunity tersebut.
Tetapi sejatinya angka rasio tersebut bersifat relatif masing-masing daerah bergantung pada tingkat mobilitas dan kepadatan penduduk. Semakin mobile dan padat penduduk suatu daerah, rasio vaksinasi yang dibutuhkan untuk mencapai herd immunity semakin tinggi.
Tiap-tiap vaksin memiliki nilai efikasi atau tingkat kemanjuran. Efikasi vaksin Sinovac, misalnya, disebut-sebut sebesar 65,3%. Artinya, vaksin Sinovac mampu menurunkan kejadian penyakit akibat korona hingga 65,3%. Bayangkan kalau sebagian populasi sudah divaksin, tentu jumlah pasien Covid-19 yang bergejala berat semakin dapat ditekan.
Para tenaga kesehatan tidak lagi kebingungan harus memilih mana pasien-pasien yang paling membutuhkan pertolongan medis di antara pasien-pasien sesak napas. Kita tidak akan lagi melihat pasien diinfus di lorong-lorong RS karena tidak mendapatkan tempat tidur. Semua ini terjadi karena komunitas masyarakat kita sudah relatif kebal terhadap infeksi Covid-19.
Oleh sebab itu, vaksinasi ini adalah kewajiban warga yang harus disediakan secara gratis dan aksesibel oleh pemerintah. Tidak mau divaksin bukanlah pilihan. Semua elemen tokoh masyarakat seperti pemuka agama yang didengar harus turut mensosialisasikan pentingnya vaksinasi. Misal, para pemuka agama ini harus memahamkan jamaahnya meskipun vaksin corona seperti Astra Zeneca dan Sinopharm adalah haram karena mengandung unsur dari babi, tetapi masih boleh digunakan atas dasar kondisi darurat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan