Mewaspadai Dampak Negatif Pengetatan Bank Sentral Amerika Serikat
Lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi di pertengahan Juni 2021 tidak menghambat laju pemulihan ekonomi Indonesia di kuartal II. Ekonomi negara ini bertumbuh 7,07% secara tahunan (y-o-y), dan merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak 2008.
Namun memasuki kuartal III, seiring dilakukannya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM yang masih terus diperpanjang hingga 30 Agustus 2021, dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan ekonomi kuartal III. Hal ini terlihat dari aktivitas manufaktur indeks PMI Manufacturing yang turun ke level 40.1 di Juli lalu sebagai imbas dari PPKM.
Dengan adanya PPKM ini, pertumbuhan ekonomi 2021 pun diprediksi tidak akan setinggi sebelumnya. Pemerintah merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi kisaran 3,7% hingga 4.5%, turun dibandingkan sebelumnya yang berada di kisaran 4.5% hingga 5.3%. Dengan adanya pertumbuhan yang lebih rendah, maka kebijakan ekonomi diperkirakan akan tetap akomodatif, dan inflasi pun akan tetap terjaga rendah.
Pasar saham bergerak stabil pada Juli selama periode PPKM, dan di awal Agustus masih bertahan di atas level psikologis 6.000. Di awal bulan, euforia dari penawaran saham perdana (IPO) perusahaan e-commerce Bukalapak, serta pertumbuhan ekonomi yang diatas ekspektasi, mendorong indeks harga saham gabungan (IHSG) ke level 6.200.
IPO tersebut mengawali kinerja sektor teknologi pada IHSG, dan diharapkan akan disusul oleh IPO e-commerce berikutnya seperti GoTo. Dengan demikian, indeks diharapkan dapat berada di kisaran 6.500 - 6.800 hingga akhir tahun.
Rendahnya inflasi, suku bunga dan stimulus yang masif akan menciptakan kondisi reflasi. Reflasi atau reflation adalah suatu kondisi yang terjadi untuk menstimulasi ekonomi, dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar, menekan deflasi, memangkas pajak, dan sejumlah kebijakan akomodatif yang biasanya terjadi pasca resesi atau kontraksi pada ekonomi. Masa reflasi ditandai dengan kenaikan saham dan rendahnya imbal hasil obligasi.
Kondisi saat ini sudah berbeda dibandingkan awal tahun. Di awal tahun, optimisme vaksinasi dan laju kasus harian yang perlahan melandai sempat membuat spekulasi kenaikan laju inflasi yang lebih cepat, sehingga kebijakan mungkin tidak akan ditahan longgar terlalu lama, dan masa reflasi tidak akan bertahan lama.
Di saat itu, imbal hasil obligasi domestik pun meroket dan harga obligasi terkoreksi. Di saat yang sama ekspektasi inflasi di Amerika Serikat pun terlihat lebih tinggi, sehingga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah US Treasury.
Saat ini imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia berada di kisaran 6,2%. Dengan inflasi Indonesia hanya berada di 1,52%, maka real yield atau selisih antara imbal hasil dan inflasi, berada di kisaran 4,68% merupakan level imbal hasil yang cukup menarik dibandingkan dengan real yield yang ditawarkan oleh negara berkembang lainnya.
Selain itu, Kementerian Keuangan pun menegaskan tidak akan menambah penerbitan baru di luar rencana untuk 2021, sehingga hal ini akan memastikan adanya suplai obligasi yang terbatas. Sehingga, dengan real yield yang menarik, suplai obligasi yang terbatas dan era suku bunga rendah, tentunya ini menjadi daya tarik utama pasar obligasi domestik.
Namun, berinvestasi tentunya juga perlu mempertimbangkan risiko-risiko dari sentimen negatif yang ada. Inflasi Amerika Serikat yang terus meroket, menyentuh angka 5,4% di bulan Juni, telah memecahkan rekor inflasi tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Tingginya laju inflasi ini membuat pelaku pasar resah dengan adanya kemungkinan pengetatan kebijakan oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (Fed).
Pengetatan kebijakan itu disebut dengan tapering. Bank sentral akan mengurangi laju pembelian aset setiap bulannya. Saat terjadi resesi, Fed melakukan pembelian aset setiap bulan untuk menstimulasi ekonomi, dan menurunkan referensi acuan suku bunga dalam jangka panjang. Saat pembelian aset ini berhasil mendorong kenaikan inflasi, sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi, maka sudah sewajarnya Fed mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah pembelian aset.
Namun, berdasarkan rapat pembuat kebijakan bank sentral di bulan Juni, Fed memutuskan untuk tidak terburu-buru melakukan tapering dan memperkirakan kenaikan suku bunga baru akan naik di 2023, sebanyak 2 kali.
Pada siklus reflasi sebelumnya, pasca krisis keuangan global 2008, setelah menahan suku bunga dan melakukan pembelian aset selama lima tahun, bank sentral AS akhirnya melakukan tapering bertahap di akhir 2013 hingga 2015. Saat itu, pasar pun mengalami koreksi baik di pasar obligasi dan saham, tapi koreksi terjadi sebelum tapering benar-benar dilakukan. Pasar kembali rebound saat terjadi kejelasan dari arah kebijakan Fed saat itu.
Dengan demikian, investor pun perlu mewaspadai adanya koreksi yang terjadi di pasar saat sentimen-sentimen negatif ini kembali bermunculan di pasar. Ada dua strategi yang dapat diterapkan saat berinvestasi adalah dengan melakukan diversifikasi dan dollar cost averaging.
Melalui diversifikasi, investor dapat membagi alokasi portfolio investasi berdasarkan profil risiko ke beberapa jenis aset, seperti deposito, obligasi maupun reksa dana saham. Sementara, dollar cost averaging atau akumulasi bertahap saat terjadi koreksi, akan membantu menurunkan rata-rata harga beli dari investasi kita. Kedua strategi ini dapat membantu kita, sebagai investor, untuk meminimalisir risiko kerugian yang muncul akibat sentimen negatif tersebut.
Di masa pembatasan mobilitas atau PPKM saat ini, tentu akan menyulitkan jika kita ingin mulai berinvestasi dengan cara yang lebih tradisional, yaitu kita datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses face-to-face. Namun, dengan kemajuan teknologi, tentunya hal ini semakin dipermudah.
Untuk memulai investasi pun bisa dilakukan sambil rebahan dengan adanya pembelian investasi secara online. Tentunya, investor juga perlu memilih agen penjual dengan reputasi dan kredibilitas yang baik. Pastikan juga agen penjual juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.