Ampuhkah Anggaran Besar Internet Mengatasi Kesenjangan Digital?

Whisnu Triwibowo
Oleh Whisnu Triwibowo
21 November 2021, 07:00
Whisnu Triwibowo
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Guru mendampingi siswa saat pembelajaran menggunakan layanan internet gratis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di SDN 51 Simpang Kubu Kandang, Pemayung, Batanghari, Jambi, Sabtu (30/10/2021). Kementerian Kominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) memberikan bantuan layanan internet gratis kepada 17 sekolah dasar di daerah yang tidak ada jaringan atau sulit terjangkau jaringan internet di Batanghari.

Di tengah bekapan pandemi, pemerintah Indonesia menyiapkan anggaran sekitar Rp 17 triliun per tahun untuk membangun layanan internet 4G di sekitar 9.000 desa di daerah perbatasan, pedalaman, dan tertinggal hingga 2024.

Sebelumnya, proyek pembangunan jaringan serat optik nasional Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur di laut yang menghabiskan sekitar Rp 7,6 triliunan telah selesai. Proyek baru Palapa Ring Terintegrasi dari barat ke timur membutuhkan dana Rp 8 triliun mulai tahun depan.

Pertanyaan besarnya: apakah proyek baru ini akan mengikis kesenjangan internet dan digital di Jawa dan luar Jawa, kota dan desa?

Pemerintah Indonesia bisa belajar dari Belanda yang telah memiliki penetrasi internet lebih dari 90 % tapi tetap menghadapi masalah kesenjangan digital di sana dan terhambat dalam mencapai keuntungan digital (digital dividend) baik secara ekonomi maupun sosial.

Untuk menciptakan masyarakat digital yang demokratis dan sejahtera secara ekonomi, aspek ketersediaan jaringan internet hanya merupakan salah satu elemennya.

Mengatasi Kesenjangan Digital

Hampir dua tahun pandemi Covid-19 menegaskan peran penting internet dalam kehidupan masyarakat. Teknologi digital mampu memediasi segala bentuk kegiatan dan kebutuhan masyarakat sehingga tidak membuat kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik terhenti.

Pemerintah memahami aspek penting teknologi informasi dan komunikasi digital tidak hanya selama masa pandemi tapi untuk pembangunan ke depan. Pengambil kebijakan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lengkap terkait elemen penting untuk menutup kesenjangan digital. Sehingga kebijakan yang dibuat bisa komprehensif dan efisien dari sisi penggunaan anggaran.

Literatur terkait kesenjangan digital bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk membuat kerangka kebijakan (blueprint) yang komprehensif. Para peneliti kesenjangan digital mengidentifikasi ada tiga level kesenjangan digital: (1) akses, (2) penggunaan dan kecakapan, dan (3) keuntungan digital kapital.

Riset saya di Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan ketiga faktor ini saling berkorelasi. Untuk mencapai tujuan agar masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari internet dan teknologi digital, perhatian dan kebijakan perlu diarahkan kepada tiga level tersebut.

Kesenjangan pertama terkait akses baik dari sisi ketersediaan jaringan, seperti sambungan kabel pita lebar (broadband) pengirim dan penerima data atau 4G di darat, dan material (misal gawai, teknologi pendukung, biaya perawatan).

Memberikan akses semata belum bisa menutup kesenjangan pada level pertama. Karena ragam gawai akan memberikan kualitas yang berbeda. Pengguna internet dengan akses laptop tentu bisa lebih baik mencari informasi ketimbang yang berbasiskan telepon selular.

Data dari International Telecommunication Union (ITU) tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami kesenjangan akses jaringan internet dan juga material akses terhadap komputer. Hanya 53,7 % penduduk yang menggunakan internet dan 18,8 % memiliki akses laptop. Bandingkan dengan Malaysia yang 89,6 % penduduknya menggunakan internet dan 77,6 % punya komputer.

Selain itu kualitas jaringan yang stabil dari sisi kapasitas bandwidth dan sambungan berpengaruh terhadap keuntungan bagi pengguna. Seorang siswa yang mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan kapasitas sambungan terbatas dan tidak andal tentu akan termarginalisasi dibandingkan siswa lain yang tidak mengalami masalah serupa.

Pemerintah perlu memetakan ulang strategi terkait akses fisik internet, terutama sejauh mana Proyek Palapa Ring tidak bertumpang tindih dengan proyek 4G.

Secara kualitas, jaringan internet berbasis kabel optik lebih baik dari sisi teknis. Sementara sistem 4G teresterial atau di darat akan sangat mahal dan rentan dengan perubahan kondisi cuaca dan topografi. Selain itu biaya perawatan juga harus diperhatikan terkait kerusakan atau kendala yang mungkin terjadi.

Ketika akses semakin membaik, ternyata internet menciptakan kesenjangan baru level kedua, yaitu pada dimensi penggunaan dan kecakapan pengguna. Penggunaan atas internet bisa merupakan kegiatan produktif seperti pencarian informasi atau non-produktif untuk konsumsi hiburan.

Kritik terhadap penggunaan non-produktif menjadi keprihatinan ketika pengguna internet menjadi pasif dan konsumtif. Sehingga internet lebih memberikan dampak negatif yang tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif melalui pengusaha berskala kecil dan menengah.

Terkait dengan dimensi kecakapan digital (digital skills) ada tiga hal yang perlu diperhatikan: keterampilan medium, literasi informasi, dan pemahaman atas keamanan digital.

Halaman:
Whisnu Triwibowo
Whisnu Triwibowo
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...