Tiga Alasan Indonesia Perlu Meningkatkan Diplomasi Antariksa

Yunita Permatasari
Oleh Yunita Permatasari
27 November 2021, 07:30
Yunita Permatasari
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Thom Baur Roket SpaceX Falcon 9, dengan kapsul Kru Dragon, diluncurkan membawa empat astronot pada misi operasi awak komersial NASA yang pertama di Pusat Luar Angkasa Kennedy di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Minggu (15/11/2020).

Kedua, Indonesia negara kunci kawasan

Indonesia secara geografis terletak di tengah kawasan. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mayoritas muslim, populasi penduduk mencapai 270 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara kunci dalam stabilitas kawasan.

Kita juga merupakan pelopor kegiatan keantariksaan di kawasan sejak 1960-an dan pionir dalam pembuatan hingga pelaksanaan peraturan nasional keantariksaan melalui UU Nomor 21 Tahun 2013.

Sejak 1960-an, Indonesia memiliki lembaga penerbangan dan antariksa nasional, yang telah mendudukkan Indonesia sebagai pemimpin lembaga keantariksaan internasional seperti the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), Regional Support Office (RSO) United Nations Platform for Space-based Information for Disaster Management and Emergency Response (UNSPIDER), the United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (USESCAP), dan Asia-Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF), yang telah berkontribusi dalam diadopsinya guidelines maupun inisiatif tata kelola keantariksaan.

Bahkan Indonesia bernilai lebih strategis dalam keantariksaan karena lokasi astronomis yang menjadikannya dilalui slot orbit geostasioner terpanjang di dunia. Dengan posisi ini, bandar antariksa ekuator bisa menghemat bahan bakar wahana peluncur satelit sehingga mengurangi biaya.

Kapabilitas keantariksaan Indonesia dengan sejarahnya yang panjang jauh mumpuni untuk sekadar sebagai negara berkembang dalam keantariksaan meski belum mampu menjadi negara maju di bidang tersebut.

Indonesia sedang membangun bandar antariksa ekuator pertama di Pasifik yang berlokasi di Biak Papua, observatorium terbesar se-ASEAN di Nusa Tenggara Timur, dan berbagai kapabilitas lainnya.

Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis khusus yaitu berada di ekuatorial, berbentuk kepulauan, dan rawan bencana menjadi sangat berkepentingan untuk menguasai kemandirian teknologi dan aplikasi antariksa.

Ketiga, keantariksaan kunci manajemen bencana

Indonesia sebagai negara rawan bencana, termasuk paling rawan banjir di dunia, menyadari dan mendukung pengembangan manajemen bencana di kawasan. Indonesia menjadi Kantor Pendukung Regional Informasi berbasis antariksa untuk bencana bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (RSO UNSPIDER) sejak 2013. Dalam konteks ini, telah mengembangkan booklet kebakaran hutan untuk portal pengetahuan UNSPIDER.

Indonesia berperan sangat aktif dalam Sentinel Asia, inisiatif regional Asia Pasifik untuk berbagi informasi bencana sejak 2010 sebagai simpul analisis data, dan dalam Piagam Internasional “Antariksa dan Bencana Besar” di kawasan Asia Tenggara. Indonesia telah mengaktifkan Piagam Internasional untuk memantau bencana di berbagai negara dalam kawasan misalnya Vietnam.

Termasuk, Indonesia mengembangkan prosedur tanggap darurat di ASEAN melalui AHA Centre dan ASEAN-Sub Committee on Space Technology and Application (ASEAN-SCOSA.

Selain itu, Indonesia menyediakan tenaga ahli sebagai dukungan teknis pada negara-negara di kawasan. Kita juga meningkatkan kapasitas di kawasan sebagai penyelenggara konferensi dan pelatihan manajemen bencana.

Indonesia dapat terus mengembangkan teknologi antariksa yang relevan menghadapi dan mitigasi bencana seperti pandemi Covid-19, bencana alam, dampak perubahan iklim, bahkan penyelundupan lintas batas negara, kejahatan dunia maya, dan risiko ekonomi digital.

Selain itu, kita dapat melanjutkan pembangunan teknologi antariksa untuk memantau, menjaga, dan memanfaatkan seluruh wilayah daratan, perairan, dan udara secara utuh, meliputi keseluruhan sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Diplomasi Antariksa di Semua Level

Diplomasi keantariksaan di kawasan menjadi wadah bagi Indonesia memperkuat kapasitas dan peran menjamin penggunaan keantariksaan bertujuan damai, terutama dalam manajemen bencana sehingga memperluas pembangunan. Pengembangan diplomasi secara total dalam berbagai bentuk baik antarpemerintah (G2G), pemerintah-bisnis (G2B), antarbisnis (B2B), maupun antarpenduduk (P2P) harus dikembangkan dengan keunggulannya masing-masing.

Diplomasi pemerintah ke pemerintah diperlukan untuk menjamin keamanan kegiatan keantariksaan. Diplomasi pemerintah ke bisnis serta diplomasi antarbisnis diperlukan dalam menjawab tantangan dan peluang peran sektor swasta yang kompetitif. Begitupun diplomasi publik atau antarindividu, sebagai agen populer kemitraan keantariksaan dengan negara lain di era digital.

Dengan demikian, diplomasi antariksa secara total menjadi komitmen eksistensi Indonesia sebagai negara rentan bencana dan demi menjaga stabilitas perdamaian dan meningkatkan pembangunan.

Halaman:
Yunita Permatasari
Yunita Permatasari
Researcher in Aerospace Policy Studies, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...