Bagaimana Kelanjutan Bisnis Penerbangan di Indonesia Pasca-pandemi?
Sejak Undang-Undang Penerbangan Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 berlaku, tingkat keselamatan penerbangan Indonesia semakin membaik. Kecelakaan pesawat beberapa tahun berikutnya secara kuantitaf sudah berkurang. Memang masih ada kecelakaan fatal dan itu tentu menjadi perhatian dan corrective action semua stakeholder di Indonesia.
Aviation Safety Network (ASN) mencatat, kecelakaan fatal pesawat terbang di Indonesia dari 2002 berada pada puncaknya di 2008, di mana kita mengingat akan kecelakaan Sriwijaya Air. Dan tahun-tahun berikutnya, sejak diberlakukan Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009, jumlah kecelakaan pesawat di Indonesia sudah jauh berkurang.
Keunggulan Indonesia sebagai Negara Berbentuk Kepulauan
Negara kita yang berbentuk kepulauan memiliki sekitar 30 bandara modern dan dikelola oleh Angkasa Pura 1 dan 2. Dari 30 bandara tersebut, sebagian besar sudah layak disebut sebagai bandara internasional. Selain itu, untuk di pelosok daerah, ada 100 lebih bandara. Di Papua, tercatat skitar 60 bandara kecil yang dikomersialisasikan oleh pesawat baling-baling.
Dari jumlah bandara tersebut menunjukkan bahwa potensi bisnis penerbangan di Indonesia sangat besar. Hal ini didukung oleh pergerakan manusia dan barang yang tersebar di 550 kabupaten di Indonesia. Ini sebuah market domestik yang sangat menjanjikan, saat ini maupun di masa mendatang.
Secara paralel, pemerintah memiliki program untuk memajukan 10 destinasi wisata. Idealnya, ada sinergi antara dunia penerbangan dan dunia pariwisata di Indonesia untuk menggalakkan arus pariwisata domestik serta menambah lalu lintas penerbangan niaga di 10 destinasi tersebut yang dicanangkan oleh pemerintah beberapa tahun lalu.
Sebagai contoh, destinasi pariwisata Manado sebelum pandemi mempunyai regular flight untuk domestik dan internasional. Selain itu, potensi charter flight in bound internasional dari Cina daratan juga besar terutama untuk Manado dan Bintan. Contoh nyata wisatawan datang ke Manado untuk melihat laut, dan gunung, melihat kepulauan-kepulauan kecil di utara Manado, seperti Pulau Siladen, Bunaken dan sebagainya. Kita berharap dengan turunnya angka Covid-19 secara global, potensi pariwisata Manado dan pulau Bintan bisa dirintis lagi.
Dua miliar lebih penduduk Cina adalah pangsa pasar yang sangat besar untuk kita garap in bound-nya. Jika hanya mengandalkan pasar internasional yang regular schedule, itu memakan waktu cukup lama karena jumlah armada kita menyusut tajam. Kondisi armada di Indonesia belum pulih, masih menurun sekitar 60 % dari kondisi normal.
Kalau mau mendorong traffic outbound-inbound, armada pesawat maskapai Indonesia ke rute luar negeri memang terbatas. Peluang ada saat ini adalah charter flight, jika melihat potensi arus in bound wisatawan dari Cina daratan ke Manado dan Bintan.
Melandainya angka Covid-19 membuat perjalanan melalui udara sudah hampir mirip sebelum pandemi. Kemudahan untuk menggunakan transportasi udara ketika Covid-19 harus mengisi EHAC (Electronic Health Alert Card) sebagai prosedur baku. Saat ini memakai aplikasi PeduliLindungi. EHAC serta Peduli lindungi bagi masyarakat sudah menjadi hal yang lumrah guna memproteksi kesehatan penumpang pesawat, juga simpel.
Kesiapan mengangkut, kesiapan destinasi pariwisata sudah hampir pulih. Tapi jumlah pesawat kurang sehingga terjadi ketidakseimbangan suplai dengan permintaan penumpang, terutama ketersediaan kursi yang terbatas. Saat ini yang terjadi adalah hukum ekonomi supply and demand. Tiket pesawat cenderung berada di tarif batas atas sehingga kesannya tiket mahal karena tiket promo menghilang.
Stake Holder Harus Koordinasi
Sebaiknya kementerian perhubungan, kementerian pariwisata duduk bersama untuk membuat paket-paket pariwisata yang terjangkau. Kapan lagi bisa memulai pemulihan bisnis penerbangan dan pariwisata kalau masing-masing pihak tidak sepakat dan tidak duduk bersama untuk membicarakan persoalan tiket pesawat yang cenderung mahal ini.
Dukungan pemerintah yang bisa diberikan mungkin beberapa insentif oleh Kementerian Keuangan. Pesawat itu banyak komponen impor, struktur biaya-nya masih impor, baik itu roda pesawat, oli, dan sparepart lainnya. Setidaknya bisa diberikan kelonggaran insentif pajak impor. Selain itu, pajak kemewahan barang impor itu bisa tidak ada sama sekali atau dikurangi sampai dengan berapa persen.
Bentuk dukungan dari Kementerian Perhubungan, bisa berupa tarif sewa biaya navigasi, misalnya. Juga biaya lalu-lintas udara, sewa parkir di airport, biaya ground handling sesuai jamnya, beda tarif penerbangan saat peak season atau low season. Tarif menjadi variabl, ada tarif yang peak season dan low season serta working hours sehingga jangan sampai ada tarif di bandara cenderung flat.
Market yang bisa didorong oleh maskapai saat ini dari korporasi dan pebisnis, mengingat tarif masih cenderung mahal. Mungkin bagi wisatawan kalau sendiri masih ada daya belinya. Tetapi wisatawan yang pergi berempat atau berlima, bahkan sekeluarga, dengan tarif sekarang akan berat.
Belum lagi menanggung biaya kuliner, masuk destinasi wisata, hingga local transport. Kalau dijumlah, komponen tiket pesawat menjadi 60 % lebih sehingga kurang fair bagi orang yang pergi dengan tujuan pariwisata, kecuali tujuan korporasi atau tujuan bisnis.
Kondisi makro ekonomi Indonesia juga menjanjikan di 2022 kalau tidak ada hal-hal di luar geopolitik internasional maupun domestik. Prediksi Menteri Keuangan, pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,5 %. Ini sudah bagus, artinya akan terjadi pergerakan orang maupun barang untuk naik pesawat. Belum lagi proyek pembangunan Ibu Kota Baru yang bakal menggerakkan trafik orang dan barang ke Balikpapan.
Bisnis Angkutan Kargo Udara Prospektif
Lalu, ada optimisme di Bandara Kertajati, salah satu bandara yang dilirik maskapai kargo sebagai homebase. Ini bagus dibandingkan sebelum Covid-19 karena selama ini kesan Kertajati masih negatif. Catatan saya beberapa bulan lalu, ada salah satu maskapai cargo charter yang memindahkan homebase-nya ke Bandara Kertajati. Saya rasa akan mendorong pertumbuhan kargo udara walaupun yang pindah baru satu maskapai.
Kargo juga salah satu peluang selain penumpang. Industri pengiriman barang itu sedang booming dengan pertumbuhan 30 % dibandingkan sebelum 2020. Ini menjadi tantangan dan sudah dijawab beberapa maskapai kargo.
Perbaikan-perbaikan ataupun yang perlu dilakukan semua stake holder adalah memberikan dorongan secara konsisten kepada pengusaha maskapai agar kembali bergairah. Perlu pembicaraan antara maskapai, Kementerian Keuangan yang mempunyai otoritas untuk pajak dan fiskal, dan Kementerian Perhubungan yang mempunyai otoritas regulasi yang mendorong industri kargo.
Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2020 memperbolehkan barang dinaikkan ke kabin penumpang. Hal ini sangat mendorong pertumbuhan bisnis kargo udara dan itu tentu diapresiasi oleh dunia usaha. Itu beberapa contoh yang bisa kita mintakan kepada pemerintah.
Beberapa Restriksi Jam Kerja yang Menghambat
Permasalahan lain, terutama di luar Pulau Jawa, adalah pembatasan walking hour. Orang daerah, seperti Maluku dan Ternate, cenderung tidak mau terbang ke Jakarta menjelang malam. Mereka merasa tidak nyaman landing malam di Jakarta. Ini mesti dicarikan jalan keluar. Untuk sementara, agak sulit karena masalah membayar lembur gaji pegawai bandara-bandara pelosok.
Demikian juga kargo. Saya amati, back lock sangat terbatas utilitas flying hour-nya. Karena, ketika magrib mereka harus load di bandara-bandara remote area, sehingga ini mengganggu pengiriman kembali ke Pulau Jawa. Masalah loading working hour itu misalnya di Maluku, Maluku Utara, NTT, dan Papua. Ini mesti cepat dicarikan solusi oleh Kementerian Perhubungan yang mempunyai otoritas untuk mengaturnya.
Kenyataan di lapangan yang saya temui pada Desember 2021, pada saat harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) banyak barang yang menumpuk di Bandara Halim Perdanakusuma. Terjadi backlock. Barang itu mau dikirim tapi pesawatnya belum datang, karena tertahan di bandara-bandara kecil. Tidak bisa kembali ke Jawa pada hari yang sama (sameday).
Kalaupun bisa sameday balik sore di Jawa lalu dikirimkan kembali ke luar Jawa, di daerah juga tidak mau terima. Padahal ini juga menyangkut kelancaran bahan-bahan pokok di luar Pulau Jawa.
Itu masalah-masalah krusial jangka pendek yang harus dicarikan jalan keluar oleh regulator: walking hour di bandara remote area, pemulihan pariwisata yang tidak sebanding dengan jumlah pesawat, harga tiket yang mahal, dan sebagainya. Diharapkan dalam waktu dekat terjadi komunikasi bersama antara maskapai penerbangan dan pemerintah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.