Tantangan Pemerintah dalam Menekan Lonjakan Harga Kedelai
Fluktuasi harga kedelai yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan sangat meresahkan konsumen Tanah Air, baik perorangan maupun industri. Apakah memperluas area tanam merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan produktivitas?
Harga kedelai, baik impor maupun lokal, di tingkat konsumen selama setahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, pada Januari 2023, harga kedelai impor meningkat 22,95% dibandingkan harga pada Januari 2022. Sementara untuk kedelai lokal, harga pada Desember 2022 lebih tinggi 19,40% dibandingkan harga pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Mahalnya harga kedelai tidak hanya berdampak pada konsumsi, juga pada mata pencaharian masyarakat Indonesia. Peningkatan harga yang signifikan tersebut berdampak pada UMKM produsen makanan berbasis kedelai. Diperkirakan ada sekitar lima juta masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidup dari industri pengolahan tahu dan tempe.
Pada 2022 misalnya, banyak pengrajin tahu tempe yang mogok produksi akibat harga kedelai yang terlalu mahal. Selain tahu dan tempe, kedelai juga digunakan untuk bahan pembuatan tauco atau susu kedelai.
Hingga saat ini, Indonesia masih mengimpor mayoritas dari kedelai yang dikonsumsi. Produksi kedelai lokal masih jauh dari permintaan nasional.
Tantangan dalam memenuhi permintaan kedelai nasional cukup besar, salah satunya dapat dilihat melalui data produksi kedelai nasional yang menurut USDA, terus menurun dalam kurun 2019 hingga 2022 sebesar 16,66% setara 80 ribu ton.
Berdasarkan studi CIPS oleh Kadir Ruslan (2021) mengenai produktivitas hortikultura, budidaya tanaman kedelai di lahan sawah selama ini hanya sebagai tanaman selingan. Produksi yang menurun tetap mengkhawatirkan meski dibarengi dengan penurunan konsumsi kedelai tahunan nasional sebesar 1%, atau mencapai 34 ribu ton kebutuhan nasional pada rentang tahun yang sama.
Merosotnya produksi kedelai di tingkat nasional turut menyumbang peningkatan harga kedelai di tingkat produsen. Sebagai contoh, harga kedelai pada 2021 meningkat 20,07% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 8.013 per kilogram.
Kenaikan harga kedelai di tingkat produsen pun berdampak terhadap keberlangsungan produksi olahan kedelai di Indonesia, terutama di industri olahan tahu dan tempe, sumber protein yang diandalkan masyarakat.
Kenaikan harga kedelai di tingkat produsen pun secara simultan berdampak terhadap harga olahan kedelai di tingkat konsumen. Harga kedelai di tingkat konsumen naik cukup signifikan. Data menunjukkan bahwa harga kedelai domestik di tingkat konsumen per 2019 hingga 2021 naik 11,25%, dari Rp 10.277 menjadi Rp 11.433 per kilogram.
Selain itu, harga kedelai impor di tingkat konsumen menunjukkan eskalasi lebih tinggi dibandingkan dengan impor kedelai domestik, yakni meningkat 18,77% atau Rp 10.145 per kilogram di 2019 menjadi Rp 12.049 pada 2021.
Kedelai merupakan salah satu dari berbagai komoditas pangan yang ditargetkan untuk mencapai swasembada dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024. Kementerian Pertanian juga menyoroti rendahnya produksi kedelai yang disebabkan oleh belum terdistribusinya benih unggul dengan baik dan rendahnya harga jual yang tidak memberikan keuntungan kepada petani.
Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengejar peningkatan produksi kedelai nasional serta target swasembada adalah dengan memperluas lahan tanam kedelai. Kedelai juga merupakan salah satu dari beberapa komoditas pangan prioritas yang masuk dalam program Food Estate.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di 2022 pun menyatakan siap mengucurkan anggaran untuk memperluas lahan tanam kedelai dari 150 ribu hektar menjadi 300 ribu hektar. Luas ini masih akan bertambah menjadi 600 ribu hektare di tahun 2023.
Namun, terdapat penurunan total alokasi anggaran pada tahun 2023, yang semula Rp 3 triliun dan telah disepakati oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian menjadi Rp 2,7 triliun.
Penurunan total alokasi anggaran dari pagu tersebut turut berdampak terhadap berkurangnya rencana perluasan area lahan penanaman kedelai di 2023, yang semula diajukan seluas 369 ribu hektare menjadi 250 ribu hektar saja.
Direktorat Jenderal bersangkutan menyatakan bahwa rincian anggaran untuk komoditas kedelai adalah sebesar Rp 502,3 miliar, di mana 93,5%, yaitu Rp 469,7 miliar, akan ditujukan bagi budidaya kedelai.
Strategi peningkatan produksi kedelai dengan perluasan lahan hingga ratusan ribu hektare tidak hanya memerlukan anggaran yang besar, juga mengesampingkan aspek keberlanjutan dan risikonya bagi lingkungan. Pada akhirnya, manusia juga yang akan membayar harga “mahal” untuk kerusakan alam dan bencana yang diakibatkan oleh perluasan lahan tanam secara masif.
Jika tidak dibarengi dengan usaha intensifikasi pertanian, seperti dengan penggunaan bibit unggul, keberhasilan program ini patut dikhawatirkan. Insentif khusus juga perlu diberikan kepada petani agar budidaya kedelai tidak hanya dijadikan tanaman selingan seperti yang selama ini dilakukan oleh petani.
Merespons kenaikan harga kedelai yang terjadi sejak akhir tahun lalu, pemerintah pun memberlakukan subsidi harga untuk pengrajin sebesar Rp 1.000 per kilogram. Namun subsidi harga ini bersifat sementara. Intervensi harga sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah mahalnya harga kedelai di tingkat nasional.
Pemberlakuan floor atau ceiling price untuk menyiasati harga kedelai yang sedang mahal juga bukan merupakan sebuah solusi yang tepat. Selain tidak menyasar permasalahan tingginya harga kedelai di tingkat nasional, penetapan harga floor dan ceiling malah akan menimbulkan disrupsi terhadap pasar.
Peningkatan produktivitas kedelai memang penting untuk menjamin pemenuhan kebutuhan nasional. Namun perlu digaris bawahi bahwa usaha peningkatan produktivitas juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan demi menjaga keseimbangan alam dan juga pemenuhan konsumsi manusia di masa depan.
Fokus terhadap intensifikasi pertanian seperti penggunaan bibit unggul juga baiknya ditekankan mengingat jumlah lahan yang semakin sedikit dan pembukaan lahan besar-besaran yang tidak berkelanjutan. Kepastian akan penyediaan bibit kedelai unggul pun diharapkan tersebar secara merata ke berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan karakteristik geografis hingga kebutuhan kedelai tiap daerah, serta diikuti dengan pengawasan kualitas bibit secara berkala agar tepat sasaran dan tepat guna.
Selain itu, peningkatan produktivitas perlu didukung dengan investasi untuk memastikan adanya transfer teknologi dan infrastruktur yang sesuai untuk menjamin metode tanam yang baik. Contohnya, peningkatan produktivitas kedelai budidaya memerlukan suplai air yang cukup.
Dengan mayoritas kebutuhan kedelai dipenuhi oleh impor, tentu perlu disadari bahwa harga kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga kedelai di level domestik. Keterbukaanm terhadap perdagangan internasional dan diversifikasi negara impor, dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi tingginya harga kedelai impor di tingkat domestik.
**
Penulisan artikel ini berkolaborasi dengan Maria Dominika - Research Trainee CIPS
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.