- Produktivitas kedelai lokal terus meningkat tetapi areal tanamnya justru kian merosot.
- Harga jual kedelai pernah jatuh sampai ke level Rp 4.500 per kilogram hingga membuat petani merugi dan meninggalkan budidaya kedelai.
- Kementerian Pertanian menargetkan 1 juta ton produksi kedelai di 2022 tetapi harus dipikirkan juga mekanisme harga jual untuk menjaga keberlanjutan petani lokal.
Mengenakan kemeja putih lengan panjang, Amran Sulaiman blusukan ke kebun kedelai di Tanjung Jabung Timur, Jambi pada September 2016 silam. Ia masih jadi Menteri Pertanian kala itu. Amran mengangkat tinggi-tinggi kedelai yang baru dipanen. Sementara di sampingnya, Gubernur Jambi Zumi Zola tersenyum sumringah mendampingi Sang Menteri.
Acara panen simbolis di Tanjung Jabung Timur itu seharusnya jadi babak baru pengelolaan kedelai di Indonesia. Kelompok Tani Sidodadi mengembangkan ratusan hektare sentra kedelai di Kecamatan Berbak dengan dukungan pemerintah dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Total jenderal, ada 500 hektare lahan kedelai di Tanjung Jabung Timur yang dikembangkan lewat uluran tangan pemerintah.
Panen simbolis kala itu sukses besar. Produktivitasnya mencapai 2,4 ton per hektare. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas kedelai nasional yang hanya 1,5 ton per hektare. “Ternyata bisa tumbuh di sini, kita kembangkan Pak Gubernur. Kalau perlu, kembangkan menjadi 20.000 hektare,” ujar Mentan kepada Zumi kala itu.
Sosok kunci di balik kenaikan produktivitas ini adalah Munif Ghulamahdi, Guru Besar Ekofisiologi Tanaman di Fakultas Agronomi dan Hortikultura IPB. Sejak 2009, Munif telah mengembangkan teknik baru untuk membudidayakan kedelai di lahan pasang surut.
Ia menyebutnya Budidaya Jenuh Air (BJA). Teknik ini dilakukan dengan memberikan irigasi terus-menerus di lahan kedelai dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan jenuh air. “Menurut riset produktivitasnya bahkan bisa mencapai 4 ton per hektare,” katanya saat dihubungi Katadata, Selasa (22/2).
Munif mengatakan teknik budidaya kedelai sudah berkembang pesat dalam 30 tahun terakhir. Pada 1992, produktivitas nasional hanya 1,1 ton per hektar. Saat ini angka tersebut sudah mencapai 1,5 ton per hektar. Bahkan dengan teknik BJA, produktivitas itu bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi.
Sayangnya, panen simbolis oleh Amran dan Zumi kala itu akhirnya berakhir antiklimaks. Munif mengenang kala itu Amran memang meminta sentra produksi di Tanjung Jabung Timur dikembangkan hingga puluhan hektare.
Namun, menurut Munif, persoalan harga jual kedelai masih luput dari kacamata pemerintah. Kini, enam tahun setelah Amran dan Zumi berpose di depan kamera saat panen di Jambi, tata niaga kedelai tak kunjung membaik.
Fluktuasi Harga Kedelai
Tiga puluh tahun lalu, ketika produktivitas kedelai cuma 1,1 ton per hektare, Indonesia boleh dibilang swasembada kedelai. Munif menceritakan pada era 1990-an total areal tanam kedelai di Indonesia mencapai 1,6 juta hektare. Namun, angka itu terus merosot.
“Yang ditanam petani pada tahun 2021 sekitar 150.000 hektare dengan total produksi 200.000 ton kedelai,” kata Munif.
Menurut Munif, alih fungsi lahan kedelai menjadi perumahan atau komoditas lain sangat masif dalam tiga dekade terakhir. Salah satu pemicunya adalah fluktuasi harga. Saat ini, harga kedelai di pasar memang bisa mencapai Rp 11.000 per kilogram. Namun, ada beberapa waktu ketika harga kedelai jatuh hingga petani merugi.
Munif mengatakan harga kedelai bahkan pernah menyentuh level Rp 4.500 per kilogram. Bagi petani, ini adalah bencana. Tidak heran jika akhirnya banyak petani yang menyerah membudidayakan kedelai.
Kala Amran meminta Munif menambah luasan areal tanam di Tanjung Jabung Timur menjadi 20.000 hektare, ia tidak buru-buru setuju. Munif ingin memastikan hasil produksi sentra kedelai tersebut bisa diserap pasar dengan harga yang pantas.
Pemerintah lantas meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) menyerap kedelai petani dengan harga Rp 7.000 per kilogram. Namun, Bulog tidak bisa melakukannya. “Akhirnya petani jual sendiri dengan harga rendah. Pernah sampai Rp 4.500 per kilogram,” ujar Munif.
Menurut Munif, Bulog bisa berperan sebagai tameng ketika harga jual kedelai terlalu rendah. Apalagi menurut regulasi, kewenangan Bulog mencakup komoditas padi, jagung, kedelai, daging, dan gula. Namun, Bulog punya anggaran terbatas.
Sumber Katadata di Bulog mengatakan pihaknya butuh penugasan dari Pemerintah agar bisa mengintervensi kisruh kedelai. “Sampai saat ini belum ada penugasan,” kata Sumber tersebut.
Guna mengatasi persoalan fluktuasi harga, pemerintah pernah menerbitkan beleid khusus. Pada Mei 2017, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito merilis Peraturan Menteri (Permen) Nomor 27/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Beleid ini mengatur harga patokan sejumlah komoditas di Indonesia, termasuk kedelai.
Harga kedelai misalnya, dipatok Rp 8.500 di tingkat pembeli dan Rp 9.200 di tingkat konsumen. Menurut Munif, aturan ini bisa menyelamatkan petani saat harga kedelai anjlok jika diterapkan dengan baik. Sayangnya, beleid ini tidak berjalan.
“Karena tidak ada dukungan harga akhirnya petani beralih ke komoditas lain sedangkan industri memilih kedelai impor,” kata Munif.
Pengrajin Tahu Tempe Gulung Tikar
Mengenang kembali momen Amran dan Zumi melakukan panen kedelai di Jambi pada 2016 silam, peristiwa itu akhirnya benar-benar sebatas simbolis belaka. Dalam beberapa tahun terakhir, produktivitas memang meningkat tetapi areal tanam kian merosot. Saat ini, produksi kedelai di Indonesia hanya 600.000 ton per tahun. Padahal, kebutuhan di dalam negeri bisa mencapai 3 juta ton per tahun. Adapun sisanya masih mengandalkan pasokan impor.
Persoalannya, awal tahun ini dibuka dengan berita kurang menggembirakan soal impor kedelai. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan badai El Nina melanda dua produsen utama kedelai yakni Argentina dan Brasil, membuat produksi merosot. Di sisi lain, Cina kini mewajibkan peternak untuk memberikan kedelai kepada ternak mereka. Akibatnya, permintaan kedelai dari Cina–importir terbesar kedelai di dunia–melambung.
Dua kondisi inilah yang akhirnya mengerek harga jual kedelai di pasar. Pengrajin tahu dan tempe bahkan sampai melakukan mogok produksi pada 21-23 Februari 2022 guna memprotes harga kedelai. Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) mencatat kenaikan harga kedelai membuat ribuan pengrajin tahu dan tempe di dalam negeri gulung tikar.
Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan pengrajin tahu dan tempe yang gulung tikar umumnya memiliki kapasitas produksi kurang dari 20 kilogram kacang kedelai per hari.
"Pengrajin dengan kapasitas produksi lebih dari 100 kg dapat menyiasati kenaikan harga dengan mengurangi kapasitas produksi atau memperkecil ukuran produk," katanya kepada Katadata.
Gakoptindo menyatakan jumlah pengrajin tempe dan tahu yang akan menghentikan produksinya lebih dari 100.000 pengrajin. Aip mengatakan harga kacang kedelai yang diterima pengrajin saat ini sekitar Rp 11.000 sampai Rp 11.100 per kilogram.
Sementara itu, Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim mengatakan Pemerintah akan mengajukan subsidi untuk komoditas kedelai. Namun, Pemerintah belum menentukan skema subsidi yang akan dipakai nantinya.
"Tidak ada pilihan (selain subsidi). Yang diminta (pengrajin tempe-tahu, harga kedelai) stabil selama tiga bulan, sedangkan sampai saat ini importir belum berani untuk Maret 2022," kata Isy kepada Katadata.
Target Ambisius Kementan
Kisruh soal pasokan kedelai lokal membuat Kementerian Pertanian menjanjikan target ambisius. Direktur Aneka Kacang dan Umbi Ditjen Tanaman Pangan Kementan Yuris Tiyanto mengatakan pihaknya menargetkan produksi 1 juta ton kedelai pada 2022. Target itu akan direalisasikan melalui 650.000 hektare areal tanam di 14 Provinsi.
“Kita sudah melakukan pemberian bantuan ke petani seluas 52.000 hektare ini lewat dana APBN untuk ditanami kedelai," kata Yuris dikutip Antara, Selasa (22/2).
Yuris mengungkapkan lahan seluas 52.000 hektare sudah mulai ditanami kedelai pada Januari 2022. Sementara sekitar 600.000 hektare lahan sisanya akan mulai ditanami kedelai pada April hingga Oktober 2022.
Munif Ghulamahdi menyambut baik rencana ini. Namun, ia kembali mengingatkan agar pemerintah tidak melupakan aspek harga yang menentukan keberlanjutan produksi kedelai di masa depan. “Sekarang harga memang sedang bagus. Tapi bagaimana ketika harga kedelai jatuh?,” kata Munif.