Kewenangan Daerah Menetapkan HET LPG Subsidi dan Potensi Masalahnya

Komaidi Notonegoro
Oleh Komaidi Notonegoro
16 Juli 2023, 08:22
Komaidi Notonegoro
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Pada 2008, ketika program konversi minyak tanah ke LPG efektif berjalan, realisasi subsidi gas rumah tangga itu Rp 3,89 triliun. Dalam perkembangannya, anggaran subsidi LPG terus meningkat dan menjadi salah satu komponen terbesar dalam subsidi energi. Porsi jumbo tersebut karena merupakan konversi dari anggaran subsidi untuk sekitar 12 juta kilo liter minyak tanah.

Realisasi anggaran subsidi LPG pada 2021 dan 2022 masing-masing Rp 67,61 triliun dan Rp 100,39 triliun. Nilai tersebut mencapai 51,58 % dan 58,46 % terhadap total anggaran subsidi energi di kedua tahun itu. Hal ini terkait konsumsi LPG dalam negeri yang terus meningkat.

Rata-rata pertumbuhan konsumsi LPG selama 2006 - 2022 sekitar 14,11 % untuk setiap tahunnya. Pada 2006, ketika baru dilakukan pilot project konversi minyak tanah ke gas alam cair, realisasi konsumsi LPG sebesar 1,2 juta ton. Sementara pada 2022, realisasi konsumsinya mencapai 8,56 juta ton.

Tata Niaga dan Efektivitas Subsidi

Sampai saat ini, kebijakan tata niaga dan mekanisme subsidi LPG masih menggunakan pola yang relatif sama -mekanisme terbuka- yaitu melalui subsidi pada harga produk. Namun efektivitas pelaksanaan kebijakan subsidi LPG ini perlu ditinjau ulang, terutama jika mencermati kebijakan tata niaga LPG subsidi sejak 2008 relatif tidak banyak penyesuaian.

Dengan mekanisme distribusi terbuka, anggaran subsidi LPG yang terus meningkat setiap tahun dapat berpotensi tidak tepat sasaran, yakni dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tak menjadi prioritas penerima subsidi. Apalagi, sejauh ini, relatif tidak terdapat regulasi yang mengatur secara tegas mengenai siapa yang boleh dan tidak untuk menggunakan LPG bersubsidi.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk dapat menyesuaikan harga eceran tertinggi LPG subsidi dapat menjadi penyebab pengukuran efektivitas kebijakan subsidi LPG relatif sulit dilakukan. Dalam konteks kebijakan makro ekonomi nasional dan keuangan negara, HET LPG yang menjadi basis dalam perhitungan anggaran subsidi di APBN adalah Rp 4.250 per kilogram atau Rp 12.750 per tabung. Akan tetapi, realisasinya, masing-masing daerah menetapkan HET LPG subsidi lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah.

Meskipun HET LPG yang menjadi basis perhitungan anggaran subsidi di APBN ditetapkan Rp 12.750 per tabung, realisasinya, masyarakat justru rata-rata harus membayar harga LPG subsidi lebih dari Rp 20.000 per tabung. Bahkan dalam kondisi tertentu masyarakat harus membayar Rp 30.000.

Sindikat Pengoplos Gas LPG Bersubsidi
Sindikat Pengoplos Gas LPG Bersubsidi (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Kondisi tersebut memberikan gambaran mengenai bagaimana tingkat efektivitas kebijakan subsidi LPG. Peningkatan alokasi anggaran yang dimaksudkan untuk memperbaiki daya beli masyarakat penerima manfaat subsidi, tetapi realisasi di lapangan justru daya beli masyarakat relatif tertekan karena harus membeli LPG subsidi jauh lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah.

Terkait payung hukum kebijakan, terdapat sejumlah regulasi yang menjadi landasan dalam pengelolaan LPG subsidi. Misalnya, Perpres No.104/2007, Perpres No.126/2015, Permen ESDM No.28/2008, Permen ESDM No.26/2009, Permen ESDM No.13/2018, serta Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri ESDM No.5/2011 dan No.17/2011. Lalu ada Kepmen ESDM No.7436 K/12/MEM/2016, Kepmen ESDM No.0298 K/DJM.S/2018, dan Kepdirjen Migas No.0249.K/10/DJM.0/2018.

Di antara regulasi tersebut, Permen ESDM No.26/2009 berpotensi menimbulkan celah permasalahan dalam tata niaga dan distribusi LPG bersubsidi. Regulasi tersebut menetapkan bahwa “dengan memperhatikan kondisi daerah, daya beli masyarakat, dan marjin yang wajar, serta sarana dan fasilitas penyediaan dan pendistribusian LPG, pemerintah daerah provinsi bersama pemerintah daerah kabupaten/kota menetapkan harga eceran tertinggi untuk pengguna LPG tertentu pada titik serah di sub penyalur LPG tertentu”.

Ketentuan tersebut menjadi penyebab temuan pemerintah yang menginformasikan terjadi ketimpangan harga eceran LPG subsidi antara daerah yang satu dan lainnya. Perbedaan harga LPG subsidi antardaerah tersebut pada dasarnya wajar karena merupakan konsekuensi logis dari ketentuan regulasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan HET LPG subsidi di wilayahnya masing-masing.

Jika ditinjau dari perspektif pengelolaan anggaran subsidi, kebijakan distribusi dan tata niaga LPG subsidi, kewenangan penetapan HET yang diberikan kepada daerah dapat berpotensi kontraproduktif. Terkait pengelolaan anggaran subsidi, misalnya, kewenangan penetapan kuota volume dan alokasi anggaran subsidi LPG menjadi domain pemerintah pusat: Rp 4.250 per Kg atau Rp 12.750 per tabung.

Dapat dikatakan bahwa HET LPG subsidi oleh masing-masing daerah tidak memiliki relevansi secara langsung dengan kebijakan pengelolaan subsidi LPG. Bahkan dapat dimungkinkan objective antara pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan HET LPG subsidi dapat berbeda. Tujuan pemerintah untuk melindungi daya beli masyarakat penerima manfaat subsidi, sementara tujuan daerah dapat terkait untuk meningkatkan penerimaan pajak dan non-pajak untuk APBD masing-masing.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk dapat menetapkan HET juga berpotensi menimbulkan permasalahan dalam tata niaga dan distribusi LPG subsidi, terutama di wilayah perbatasan antardaerah. Pola distribusi LPG subsidi dengan mekanisme terbuka memungkinkan masyarakat di daerah tertentu membeli di daerah lainnya yang menetapkan HET lebih rendah.

Mencermati relatif banyaknya potensi permasalahan yang dapat timbul, kebijakan pemberian kewenangan penetapan HET LPG subsidi kepada daerah kiranya perlu ditinjau ulang. Kebijakan pengelolaan subsidi pada dasarnya merupakan domain pemerintah pusat.

Oleh karenanya, berbagai bentuk kebijakan turunannya sudah seharusnya dilakukan dan dikontrol pemerintah pusat. Termasuk jika diperlukan kebijakan diversifikasi harga jual LPG subsidi antardaerah seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah pusat.

Komaidi Notonegoro
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...