Langkah Strategis Pengganti Subsidi LPG

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
6 Agustus 2024, 08:05
Sampe L purba
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
Button AI Summarize

Sejak konversi minyak tanah ke LPG diberlakukan pada 2014, persoalan bahan bakar dapur masyarakat Indonesia memasuki dimensi internasional. Indonesia tidak memiliki cukup gas yang mengandung propane-butane (bahan LPG). Volume impor LPG meningkat dari 3,6 juta ton pada 2014 menjadi 6,95 juta ton pada 2023, sementara konsumsi LPG nasional mencapai 8,7 juta ton. Artinya, sekitar 77% LPG diimpor. Harga LPG berdasarkan indeks Saudi Aramco saat ini sekitar US$560 per metrik ton.

Di Indonesia, terdapat dua jenis harga LPG, yakni LPG 3 kg bersubsidi sekitar Rp7.000 per kg, dan LPG non-subsidi dengan harga dua kali lipat. Beban subsidi LPG 3 kg meningkat dari Rp46 triliun pada 2014 menjadi Rp95,6 triliun pada 2023. Ketidaktepatan sasaran konsumen, ketergantungan impor, beban neraca perdagangan, dan volatilitas kurs menjadi ancaman bagi keamanan dan ketahanan energi [energy security and energy resilience].

Segmentasi, Sinergi, atau Mandiri

Dengan analisis manfaat dan biaya, pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan pada LPG dengan mendorong pemakaian gas rumah tangga dan kompor induksi listrik. Konsumen rasional akan memilih produk dengan tingkat kepuasan tertinggi berdasarkan pendapatan dan harga. Pemerintah perlu kebijakan berbasis pemetaan yang matang dan konsisten untuk memilih segmentasi pasar, sinergi antarpemasok, atau perlindungan mandiri terhadap pengembangan komoditas tertentu demi mencapai skala ekonomi dan efisiensi operasional.

Kemampuan membayar masyarakat, rasionalitas konsumen, ketersediaan sumber energi, infrastruktur penunjang, serta pengadaan atau peniadaan komoditas tertentu harus diatur pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada LPG.

Kebijakan Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 6 tahun 2019 mengatur penyediaan dan pendistribusian gas bumi melalui jaringan transmisi dan distribusi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil. Pemerintah memperkenalkan tiga skema: jaringan gas (jargas) melalui APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), dan jargas mandiri.

Saat ini, terdapat sekitar 700.000 sambungan rumah tangga jargas APBN, kemudian 290.000 rumah tangga jargas mandiri, dan tidak ada realisasi jargas KPBU. Ketiga model ini tidak optimal karena jargas APBN bersaing dengan jargas mandiri. Sedangkan jargas KPBU memerlukan IRR yang mengompensasi investasi dan margin yang diharapkan. 

Harga beli gas APBN di hulu ditetapkan pemerintah US$4,72 per MMBTU, sedangkan harga beli gas jargas mandiri didasarkan pada kesepakatan business-to-business antara PGN dan Kontraktor KKS. Harga jual ke masyarakat dipersamakan dengan harga gas APBN sekitar Rp6.000 dan jargas mandiri sekitar Rp10.000 per meter kubik.

Penetrasi LPG dan Efektivitas Jargas

Penetrasi LPG 3 kg tanpa hambatan bebas di wilayah jargas, dan penjualan LPG tidak berkurang di daerah operasi yang ada jargas. Pemerintah perlu menghitung efektivitas jargas APBN, tidak hanya berapa banyak penggunaannya, tetapi dampaknya dalam meredam pembelian LPG.

Promosi Kompor Induksi Listrik

Pemerintah mempromosikan kompor induksi listrik untuk mengurangi penggunaan LPG. Kompor induksi menggunakan induksi elektromagnetik untuk memanaskan peralatan masak. Daya listrik untuk kompor induksi ada yang di 500 watt, namun untuk efisiensi diperlukan daya listrik 1.600 watt. Konsumen targetnya adalah golongan menengah atas dengan daya listrik di atas 2.200 watt.

Dalam satu simulasi, penggunaan kompor induksi satu bulan adalah 59,87 kwh dengan subsidi listrik Rp50.745. Untuk penggunaan yang sama, kompor LPG menghabiskan 3 tabung LPG 3 kg subsidi Rp65.700. Penggunaan kompor induksi memberikan penghematan subsidi sekitar Rp15.000 per bulan, namun total daya listrik yang dibutuhkan harus lebih besar.

Implementasi Kebijakan

Agar pilihan bijak pengganti LPG berjalan dengan baik, perlu ada kecerdasan, ketegasan, dan konsistensi dalam implementasi kebijakan. Tidak boleh ada liberalisasi dan kebebasan mutlak. Harus tegas dalam demarkasi siapa dan di mana target konsumen LPG bersubsidi, LPG non-subsidi, gas pipa rumah tangga, maupun kompor listrik induksi. 

Seperti yang diungkapkan oleh Joseph Stiglitz pada tahun 2024, “kebebasan seseorang dapat merupakan penindasan dan pencengkraman kepada orang lain.” Hal ini menegaskan bahwa kebijakan yang terlalu bebas dapat merugikan pihak lain.

Steven Landsburg dalam bukunya pada 1993 juga menyebutkan bahwa “orang merespons insentif, selebihnya adalah komentar belaka.” Ini menyoroti pentingnya insentif yang tepat dalam mendorong perilaku konsumen sesuai dengan tujuan kebijakan pemerintah.

Aspek GRC

Dalam merancang dan mengimplementasikan regulasi terkait LPG, gas rumah tangga, dan kompor induksi listrik, penting bagi pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip GRC (Governance, Risk Management, Compliance). 

Tata kelola (governance) yang baik memastikan bahwa keputusan diambil secara transparan dan bertanggung jawab. Manajemen risiko (risk management) diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko yang mungkin timbul dari kebijakan yang diimplementasikan. Kepatuhan (compliance) memastikan bahwa semua aturan dan regulasi dipatuhi, serta menjaga integritas proses implementasi kebijakan.

Menggabungkan prinsip-prinsip GRC dalam kebijakan energi akan membantu memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya efektif tetapi juga berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Epilog dan Saran

Pemerintah perlu memetakan kuadran wilayah jaringan distribusi LPG non-subsidi, LPG subsidi, jargas badan usaha, dan jargas APBN, mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur dan daya beli masyarakat. Kehadiran jargas sebaiknya untuk mendorong bauran energi, bukan menggantikan LPG. 

Pemerintah sebaiknya menyerahkan pembangunan jargas APBN kepada badan usaha dengan harga kompetitif. Pemerintah perlu memfasilitasi badan usaha jargas dengan perusahaan pemegang wilayah jaringan distribusi dan pengembang perumahan menengah ke atas untuk menggunakan jargas mandiri atau kompor induksi jika jaringan gas belum tersedia. Mengingat kebijakan ini melibatkan diskusi di DPR dan penggunaan keuangan negara, pilar GRC (tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan) harus ditegakkan.

Dengan kecerdasan dan konsistensi, Indonesia bisa mencapai keamanan dan ketahanan energi yang lebih baik serta mengurangi ketergantungan pada impor LPG.

Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...