Refleksi International Women’s Day: Perempuan dalam Transisi Energi
Peringatan International Women’s Day (IWD) pada 8 Maret tahun ini dapat menjadi momentum refleksi mengenai peran perempuan Indonesia dalam transisi energi. Tahun ini, PBB menetapkan tema peringatan IWD yaitu, “Invest in Women: Accelerate Progress”, dengan menitikberatkan pada 5 sektor penting dan memastikan tak ada satu pun perempuan tertinggal di belakang (no one left behind).
Dalam konteks perjuangan untuk melawan krisis iklim, sudah sepatutnya kesetaraan gender menjadi satu aspek yang harus diperhatikan. Memastikan kesetaraan gender artinya menjamin pemenuhan hak-hak perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan penting terkait dengan penanganan krisis iklim.
Memastikan hak-hak perempuan terpenuhi adalah cara untuk mencapai kondisi ekonomi berkeadilan dan menjaga keberlanjutan bumi untuk generasi mendatang. Tak terkecuali, perempuan adat.
Secara global, representasi perempuan dalam bidang energi terbarukan masih di angka 32%. Lantas, bagaimana perempuan dapat berperan maksimal untuk mempercepat transisi menuju energi bersih di Indonesia?
Invest in Women: Accelerate Progress
Indonesia tidak kekurangan sosok perempuan yang dapat memberikan contoh cara berkontribusi dalam mengakselerasi transisi energi bersih. Salah satunya adalah Tri Mumpuni yang berkontribusi menghadirkan listrik bersih untuk 65 desa di Indonesia yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
Terobosan yang dilakukan Tri Mumpuni itu membuktikan perempuan dapat menjadi motor dari upaya transisi energi. Untuk mendorong peningkatan jumlah pelibatan perempuan secara bermakna, diperlukan investasi berupa pembuatan kebijakan di sektor energi terbarukan yang memastikan seluruh pihak mengakomodir isu gender equality and social inclusion (GESI).
Di Indonesia, aturan mengenai gender sudah ada sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Namun belum ada kebijakan yang spesifik menekankan pengarustamaan isu GESI di sektor energi terbarukan.
Untuk mendukung pengarustamaan isu GESI, diperlukan investasi lain berupa pelatihan teknis untuk para perempuan di sektor energi terbarukan. Pelatihan tersebut dapat berupa peningkatan skill teknis maupun peningkatan kapasitas dalam hal manajemen.
Untuk daerah 3T, misalnya, pelatihan dapat diberikan kepada komunitas perempuan agar dapat menjadi teknisi pembangkit listrik tenaga surya yang andal. Dengan begitu, energi terbarukan berbasis komunitas dapat dioptimalkan sebagai solusi untuk mendapatkan listrik yang handal sekaligus rendah emisi.
Keterlibatan masyarakat dalam pemeliharaan infrastruktur listrik energi terbarukan berbasis komunitas akan menciptakan rasa kepemilikan. Ini dapat diciptakan dengan mengutamakan pelibatan komunitas perempuan dalam pemeliharaan infrastruktur. Dengan demikian dapat menjamin keberlanjutan PLTS untuk desa lebih maju dan berdaya.
Di Sulawesi Tenggara, pelatihan teknisi PLTS komunitas bagi komunitas perempuan menjadi pintu masuk utama bagi pelibatan perempuan dalam skema transisi energi bersih. Perempuan yang sudah mendapatkan pelatihan teknisi akan menjadi teknisi yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan PLTS di desanya masing-masing. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur, ada pelatihan manajemen keuangan koperasi EBT bagi komunitas perempuan.
Berbagai investasi dalam bentuk pelatihan ini menjadi bukti keniscayaan pelibatan perempuan yang bermakna dan mampu membuat perempuan berdaya sebagai aktor yang menggerakkan transisi energi. Dengan memberdayakan perempuan terbukti dapat menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan, terutama bagi komunitas di mana kelompok perempuan tersebut berada.
Investasi krusial selanjutnya adalah berupa investasi pendidikan, khususnya untuk perempuan adat. Ada gap pendidikan yang cukup dalam antara komunitas perempuan yang tinggal di pedesaan dengan perkotaan. Gap ini membuat perempuan di pedesaan kurang dapat mengoptimalkan potensi sumber daya energi terbarukan di daerahnya.
Padahal, potensi sumber daya energi terbarukan cukup melimpah di daerah pedesaan, yang dapat dikelola di skala komunitas. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu fokus pada distribusi pendidikan melalui strategi terpadu yang didukung oleh kebijakan pemerintah pusat, khususnya soal pemanfaatan berbagai keberlimpahan sumber energi alternatif di pedesaan.
Investasi selanjutnya yang mutlak harus dilakukan adalah penciptaan lingkungan kerja yang inklusif. Perempuan biasanya akan mengalami hambatan untuk masuk ke dalam industri tenaga kerja setelah menjalani kehidupan pernikahan dan memiliki anak. Sistem dan budaya kerja di Indonesia saat ini, dipandang belum adil dan ramah untuk perempuan. Sebab itu, pemerintah harus bersedia berinvestasi lebih banyak pada pembuatan kebijakan yang dapat mendorong iklim yang lebih inklusif bagi perempuan.
Perempuan membawa berbagai sudut pandang dan keterampilan, yang dapat mengarah pada inovasi dan pemecahan masalah dalam proyek energi terbarukan. Karena itu, investasi yang dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan kelompok dan komunitas perempuan tidak akan menjadi 'investasi bodong'. Komunitas perempuan terbukti dapat menjadi agen perubahan yang mampu mengakselerasi kemajuan dalam bidang transisi energi bersih.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.