Strategi Jitu Program Hijau di Tengah Keterbatasan Ruang Fiskal
Ruang fiskal pemerintah terbatas untuk menjalankan program-program inisiatif berkelanjutan. Belum lama ini, Kementerian Keuangan mengumumkan pendapatan negara pada semester I-2024 mengalami kontraksi 6,2% (year-on-year/yoy). Kontraksi diperparah dengan laporan keuangan selama beberapa tahun terakhir.
Rasio perpajakan tercatat menurun dari 13,7% pada 2014 menjadi 10% pada 2023. Sementara itu, rasio utang terus meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir dari 30,2% pada 2019 menjadi 37,8% pada 2023.
Terlebih menjelang pergantian pemerintahan, presiden terpilih Prabowo Subianto membawa sejumlah program ambisius, seperti makan siang bergizi gratis, yang memakan biaya tidak sedikit. Ini bahkan belum termasuk mega proyek pemindahan Ibu Kota Nusantara yang harus dilanjutkan dan rencana pembangunan Kereta Cepat Jakarta - Surabaya, yang semakin menggerus anggaran negara.
Nasib Program Perlindungan dan Pemulihan Lingkungan
Selain kedua tantangan tersebut, Indonesia turut dihadapkan dengan permasalahan global, seperti krisis iklim. Kemudian dorongan internasional untuk lebih peduli terhadap upaya-upaya perlindungan dan pemulihan lingkungan.
Dalam kancah global, Indonesia meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral ini pada dasarnya mengikat negara untuk berkomitmen menjaga keragaman hayati dari degradasi dan kerusakan lingkungan.
Indonesia baru-baru ini bahkan menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat untuk menukar utang sebesar US$35 juta atau Rp560 miliar, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp16.000, untuk proyek konservasi dan restorasi terumbu karang selama 9 tahun.
Penukaran ini bukan mengartikan bahwa Indonesia terbebas dari utang. Namun, negara tetap diminta untuk mengalokasikan anggaran senilai dengan jumlah utang tersebut untuk dialokasikan pada misi keberlanjutan lingkungan.
Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa program-program peduli lingkungan tidaklah gratis. Di sisi lain, ruang fiskal Indonesia semakin sempit akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah dan program-program ambisius pada rezim mendatang. Lantas, bagaimana strategi agar Indonesia tetap dapat berkomitmen pada pemulihan lingkungan di tengah himpitan-himpitan tersebut?
Strategi Pembiayaan Upaya Restorasi Lingkungan
Logika utama untuk memperluas ruang fiskal adalah meningkatkan pendapatan negara dan meminimalisasi pengeluaran kurang produktif. Dengan mempertimbangkan ambisi rezim berikutnya, pengurangan pengeluaran sepertinya kurang memungkinkan untuk dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi peningkatan pendapatan negara melalui sejumlah strategi perpajakan progresif dan berkelanjutan.
Pertama, pemerintah dapat menerapkan pajak karbon untuk memaksa pelaku ekonomi mempertimbangkan dampak lingkungan dari emisi karbon yang dihasilkan. Ini menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil karena membuat pencemar membayar kerusakan yang ditimbulkan.
Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan Indonesia berpotensi mendapat pemasukan tambahan dari pajak ini sebesar Rp69,75 triliun per tahun dengan asumsi tarif pajak karbon sebesar US$5 atau Rp75.000.
Kedua, pajak produksi batu bara dapat menjadi opsi lain bagi pemerintah. Pajak ini dapat mendorong peralihan ekonomi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil menuju sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Pajak juga berpotensi mengurangi polusi udara akibat pembakaran batu bara sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan situs tambang. Riset Celios memprediksi pajak ini dapat menyumbang sekitar Rp28,76 hingga Rp47,49 triliun per tahun untuk negara.
Ketiga, pajak laba mendadak dikenakan pada keuntungan yang tidak terduga, seperti dalam industri ekstraktif yang mendapatkan keuntungan besar dari lonjakan harga komoditas. Pajak ini juga memastikan pendistribusian keuntungan yang lebih adil dan merata sehingga keuntungan besar tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak. Celios memperkirakan negara dapat menerima pemasukan tambahan sebesar Rp 42,71 triliun dari pajak ini.
Terakhir, pemerintah perlu dengan segera mengenakan pajak khusus pada orang-orang super kaya. Orientasi utama dari pajak ini adalah meminimalisasi masalah ketimpangan pendapatan dan memastikan bahwa mereka yang memiliki kekayaan besar juga berkontribusi lebih besar terhadap kebutuhan publik.
Celios menggunakan skenario pengenaan pajak sebesar 2% terhadap 50 orang terkaya di Indonesia berdasarkan data Forbes. Hasilnya, potensi penerimaan negara dari pajak ini mencapai Rp81,56 triliun per tahun.
Dengan serangkaian strategi perpajakan tersebut, Indonesia berpotensi memperoleh pendapatan tambahan sebesar Rp222 hingga Rp241 triliun. Terobosan inovatif dalam perpajakan ini dapat menjadi solusi untuk memastikan keberlanjutan program-program restorasi dan peduli lingkungan tanpa membebani postur fiskal saat ini dan menambah beban utang.
Keunggulan Perpajakan Progresif dan Berkelanjutan
Berkaca pada kondisi ekonomi saat ini dan ambisi politik mendatang, strategi pembiayaan di atas memiliki beberapa keunggulan. Pertama, riset Celios memperkirakan negara membutuhkan setidaknya Rp37,35 triliun per tahun untuk melaksanakan program restorasi lingkungan secara komprehensif dari berbagai sektor: mulai dari pertanian dan perkebunan, lingkungan hidup dan konservasi, hingga keuangan dan perbankan.
Kebutuhan anggaran ini tidak mencapai 20% dari potensi penerimaan negara dari pajak-pajak progresif dan berkelanjutan.
Kedua, terobosan ini tidak bergantung pada kondisi ekonomi saat ini yang sudah lesu dan membebani struktur fiskal. Ketiga, strategi ini selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan global untuk mempromosikan pembangunan yang lebih bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan bersamaan dengan meminimalisasi ketimpangan.
Keempat, penerapan sejumlah perpajakan berkelanjutan tersebut dapat mendorong inovasi dan pengembangan teknologi baru yang berorientasi pada pemanfaatan energi terbarukan. Pada ujungnya menguatkan daya saing ekonomi Indonesia di level global.
Dengan demikian, apabila presiden terpilih Prabowo Subianto tetap ingin menjalankan berbagai program ambisiusnya, tanpa melupakan komitmen untuk merestorasi lingkungan. Sejumlah strategi progresif di atas untuk meningkatkan penerimaan negara harus dipertimbangkan.
Jika tidak, janji-janji politik selama ini justru akan menekan kondisi keuangan dan berujung pada keruntuhan fiskal. Realitas ini tidak hanya buruk bagi perekonomian Indonesia, tetapi juga berpotensi mengabaikan urgensi perlindungan dan pemulihan lingkungan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.