Kabinet Gemuk Prabowo, Dampaknya terhadap Kesehatan Fiskal

Achmad Hanif Imaduddin
Oleh Achmad Hanif Imaduddin
23 Oktober 2024, 09:16
Achmad Hanif Imaduddin
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan 48 nama menteri beserta 56 wakil menteri dan 5 kepala badan setingkat menteri pada 20 Oktober 2024. Secara keseluruhan, Kabinet Merah Putih ini berisikan lebih dari 100 orang, menjadikannya terbesar sepanjang sejarah Indonesia pascareformasi 1998. 

Presiden sebelumnya, Joko “Jokowi” Widodo bahkan tidak pernah memiliki menteri lebih dari 34 orang. Ini bukan tanpa sebab. Batasan jumlah menteri sebelumnya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008. Namun, pada 15 Oktober atau menjelang pelantikan Prabowo, peraturan ini diubah dengan UU Nomor 61 Tahun 2024. 

Peraturan terbaru itu menghapus batasan menteri sebanyak 34 orang dan memberi kewenangan pada presiden untuk melantik menteri sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan. Klausul ini menjadi dasar bagi Prabowo untuk mengonsolidasi kabinet yang sangat gemuk. 

Kementerian Baru Membebani Anggaran Negara

Akan tetapi, penambahan jumlah menteri dan lembaga baru menyimpan risiko keremukan fiskal. Pengeluaran kementerian dan lembaga negara telah melonjak 75,21%, dari Rp684,2 triliun pada 2016 menjadi Rp1.198,8 triliun dalam outlook anggaran 2024. Kenaikan ini dipicu oleh pembentukan lembaga baru, seperti Badan Karantina Indonesia dan Otorita Ibu Kota Nusantara, serta penambahan program di beberapa kementerian.

Lonjakan anggaran tersebut bahkan belum mengestimasi secara penuh kemunculan lembaga baru, seperti Badan Gizi Nasional yang menangani program makan siang gratis serta Badan Haji dan Umrah yang akan dibentuk sebagai pecahan dari Kementerian Agama, ataupun badan-badan lain.

Penambahan ini juga akan membawa efek pengganda pada peningkatan biaya pegawai untuk mengupah aparatur sipil negara di kementerian dan lembaga baru. Selama sepuluh tahun terakhir, belanja pegawai terus meningkat dan tidak pernah turun di bawah 21,45% dari total anggaran. Pada 2025, belanja pegawai diproyeksikan mencapai Rp513,23 triliun atau meningkat 11,36% dari tahun sebelumnya.

Beban Negara untuk Mengupah Menteri dan Wakilnya

Analisis Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan ada peningkatan anggaran sebesar Rp91,52 miliar hingga Rp390 miliar per tahun untuk membayar gaji, tunjangan, dan biaya operasional para menteri dan wakil di Kabinet Merah Putih, dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Jika mengabaikan kemungkinan perubahan peraturan pengupahan menteri beserta wakilnya, maka selama lima tahun ke depan akan ada peningkatan beban anggaran sebesar Rp457,6 miliar hingga Rp1,95 triliun.

Dengan demikian, kabinet gemuk buatan Prabowo akan meningkatkan beban fiskal negara karena peningkatan pada sedikitnya lima pos anggaran, meliputi pertama, biaya pembentukan kementerian dan lembaga atau badan baru; kedua, gaji menteri, wakil menteri, dan kepala badan setingkat; ketiga, biaya operasional kementerian dan lembaga; keempat, belanja program; dan kelima, upah untuk pegawai kementerian dan lembaga. 

Terlebih, perkiraan pembengkakan anggaran ini belum mempertimbangkan fasilitas yang diterima oleh menteri beserta wakilnya, seperti jaminan kesehatan, mobil dinas, tunjangan rumah, hingga dana pensiun. Ini berarti beban fiskal negara bisa saja lebih besar dari yang diperkirakan.

Selain itu, hubungan peningkatan anggaran untuk kementerian dan lembaga baru dengan performa dan kinerja institusi patut dipertanyakan. Sebagai contoh, Kementerian Komunikasi dan Informatika, meskipun gagal mencegah serangan siber terhadap Pusat Data Nasional yang mengganggu layanan imigrasi dan pendaftaran mahasiswa pada Juni 2024 lalu, nyatanya menerima anggaran besar pada 2024 mencapai Rp14,5 triliun. Ini lebih banyak daripada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Fakta dan data ini melahirkan dua kesadaran kritis: pertama, apakah penambahan kementerian dan lembaga benar-benar mampu mengatasi tantangan negara secara efektif; dan kedua, peningkatan beban fiskal negara karena penambahan belanja kementerian dan lembaga tidak dapat serta-merta menghasilkan pelayanan publik dan pengelolaan krisis yang lebih baik. 

Bagaimana Rakyat dan Institusi Negara Seharusnya Merespons?

Terdapat dua garda penting dalam memastikan penambahan kementerian dan lembaga negara tidak semakin meremukkan kondisi fiskal negara: institusi negara dan rakyat. Dalam hal ini, institusi negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memainkan peran penting dalam menjaga  dan mengawasi setiap kebijakan pemerintah.

BPK memegang tanggung jawab besar dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara di berbagai kementerian dan lembaga. MA menjadi benteng terakhir dalam menguji peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan regulasi lain, dan secara moral harus memastikan kebermanfaatannya untuk rakyat Indonesia. Sedangkan KPK menjadi pengawas krusial agar negara tidak semakin terbebani akibat tindakan korupsi dan kolusi yang menjangkiti kementerian dan lembaga negara.

Akan tetapi, apabila institusi-institusi tersebut tidak bisa lagi menjalankan tugasnya secara efektif, maka garda terakhir adalah rakyat. Rakyat perlu memahami bahwa upah pejabat publik dan biaya program-program kementerian dan lembaga berasal dari kantongnya sendiri melalui pembayaran perpajakan. 

Oleh karena itu, ketika rakyat mengkritisi pengelolaan anggaran negara, bukan berarti rakyat tidak setuju dengan pembangunan dan keberlanjutan yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, ini semua dilakukan semata-mata untuk memastikan pemerintah tetap akuntabel dan benar-benar memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir golongan. Hanya dengan kesadaran inilah, Indonesia mampu menjadi negara yang maju secara ekonomi dan dewasa secara politik.

Artikel ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan.

Achmad Hanif Imaduddin
Achmad Hanif Imaduddin
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...