Itikad Baik Vs Arogansi Asuransi
Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Putusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil KUHD yang dimohonkan oleh Maribati Duha, pada Jumat, 3 Januari 2025. Pemohon Maribati Duha menilai ketentuan di dalam Pasal 251 KUHD berpotensi membuat perusahaan asuransi memanfaatkan regulasi untuk kepentingannya sendiri.
Pasal 251 KUHD menyebutkan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Kuasa hukum dari pihak pemohon merasa ketentuan norma Pasal 251 KUHD ini bisa dimanfaatkan perusahaan asuransi untuk menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat tim internal perusahaan asuransi sendiri. Kelalaian tersebut antara lain adalah underwriting ulang atau seleksi risiko yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Pasal 251 KUHD juga dinilai membuat pemegang polis sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan jika kelalaian yang terjadi bukan berasal dari pihak tertanggung. Pasal 251 ini juga dianggap memberikan hak eksklusif kepada perusahaan asuransi untuk membatalkan tanpa mempertimbangkan pembelaan-pembelaan hukum yang dilakukan tertanggung.
Mahkamah menyatakan yang menyebabkan norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan itikad baik.
Hakim MK menilai Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian. Kecuali sekadar ada pilihan akibat yang timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan diketahui sebelumnya.
Norma Pasal 251 KUHD setelah dicermati secara seksama oleh Mahkamah merupakan norma yang berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam. Hal ini, khususnya jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan itikad baik.
Disebutkan juga, norma Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian. Kecuali, sekadar ada pilihan akibat yang timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan tersebut diketahui sebelumnya.
Oleh karena itu, tampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung.
MK menyebut suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, adresat norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung.
Mahkamah akhirnya memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD. Sifat suatu perjanjian yang seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian, yang di antaranya syarat kebebasan berkontrak dan harus adanya kesepakatan para pihak, di samping prinsip-prinsip yang lainnya.
Maka norma Pasal 251 KUHD seolah-olah hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung saja, tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung. Sehingga telah menjadi kesepakatan adalah norma yang tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil khususnya bagi tertanggung .
Lebih jauh, alasan hukum yang juga melandasi Mahkamah untuk memberikan penegasan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD adalah pasal ini merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini.
Dampak Putusan MK
Dampak dari putusan MK ini sangat luas bagi industri asuransi. Dari sisi industri, perusahaan asuransi dituntut lebih profesional dan hati-hati menerapkan asas itikad baik. Dengan putusan MK ini, maka pasal 251 KUHD sudah tidak mempunyai daya untuk menangkal tindakan tidak jujur dari nasabah asuransi dalam mengisi SPAJ/SPPA.
SPPA atau Surat Permohonan Penutupan Asuransi merupakan dokumen yang diajukan oleh tertanggung kepada penanggung asuransi untuk menutup pertanggungan sesuai dengan polis. Sedangkan SPAJ atau Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang berisi data diri calon nasabah saat ingin mengajukan asuransi jiwa. Dalam SPAJ, perusahaan asuransi tidak jarang meminta dokumen tambahan seperti hasil medical check up yang berfungsi untuk mengetahui riwayat kesehatan calon nasabah.
Dengan putusan MK, perusahaan asuransi harus lebih memastikan akurasi data dan informasi sewaktu nasabah mengisi SPAJ. Tidak bisa lagi mengandalkan pada saat terjadi klaim ditemukan ketidak jujuran, baru menjadi masalah.
Perusahaan asuransi sudah tidak memiliki daya menangkal tindakan tidak jujur dari nasabah. Perusahaan asuransi perlu melakukan upaya mitigasi yang harus dilakukan yakni melakukan asesmen secara menyeluruh dan detail terhadap riwayat risiko setiap nasabah. Perusahaan asuransi dalam melakukan penilaian tersebut tidak mempercayakan begitu saja kepada pihak agen. Agen hanya berorientasi pada penjualan untuk meraih komisi, tidak berkepentingan pada tingkat risiko.
Dengan tidak diperbolehkan membatalkan polis menggunakan pasal 251 KUHD, maka kerja underwriter menjadi lebih berat dalam arti harus meneliti benar informasi untuk menerima suatu risiko sebelum polis diterbitkan. Sekali polis telah diterbitkan tidak berdasar lagi untuk mempersoalkan itikad baik tertanggung mengingat polis sudah tidak bisa dibatalkan secara sepihak oleh penanggung.
Selain itu juga perusahaan juga harus menilai setiap perubahan risiko nasabah sepanjang waktu berlangsungnya polis . Serta bersama asosiasi dan OJK menyusun peraturan pengganti pasal 251 . Bila KUHD yang warisan Belanda ini perlu diubah , maka harus ada komitmen ekstra dari Pemerintah dan DPR termasuk OJK untuk merevisi UU Perasuransian
Hasil penelitian sejumlah studi menunjukkan mayoritas pihak tertanggung dan penanggung tidak jujur dan tidak sedikit yang ingin menyalah gunakan asuransi untuk mendapatkan keuntungan finansial. Bahkan ada yang sudah merupakan sindikat untuk membobol perusahaan asuransi .
Sebaliknya perusahaan asuransi tak jarang berlindung dengan Pasal 251, khususnya yang berniat menolak klaim dengan berbagai dalih yang seharusnya dibayar. Sebagian konsumen seringkali kesal dengan perilaku demikian. Hingga berujung sengketa baik ke pengadilan maupun lembaga alternatif penyelesaian sengketa seperti LAPS SJK ( Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan ) .
Lebih dari itu perusahaan asuransi tidak segan segan bertindak arogan . Sebuah perkara yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Bangil, Jawa Timur, sebuah perusahaan asuransi papan atas joint venture bahkan menggugat nasabah wanprestasi untuk menyatakan polis yang diterbitkan sah adanya.
Padahal polis sudah terbit dengan tanda tangan palsu, premi nasabah di debet dari rekening secara tidak sah, bahkan agen yang bersalah sudah dijatuhi pidana setahun. Asuransi mengirim penawaran refund ke nasabah atas polis yang dipalsukan. Namun nasabah sudah terlanjur kesal dengan perlakuan asuransi selama ini yang acuh tak acuh. Di ujung hari, asuransi mentransfer sejumlah premi yang sudah mereka dapatkan kembali ke nasabah. Karena si nasabah tidak bersedia mengirim konfirmasi refund akhirnya asuransi menggugat, wanprestasi nasabah di pengadilan .
Asuransi minta pengadilan mengesahkan polis yang palsu. Padahal nasabah tidak pernah minta penutupan asuransi. Nasabah tidak pernah menandatangani apapun , termasuk sudah memberitahu asuransi. Namun alih alih membatalkan polis, asuransi malah menerbitkan kuasa auto debet palsu hingga digunakan sebanyak tujuh kali bahkan menolak membayar klaim kali.
Dalam perkara lain yang dibawa ke lembaga arbitrase atas kesepakatan bersama dan sudah diputus namun asuransi menolak membayar klaim. Sekalipun telah dilaporkan ke OJK, perusahaan asuransi yang notabene BUMN bahkan mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan yang kemudian ditolak pengadilan.
Sejumlah perkara ini merupakan puncak gunung es arogansi perusahaan asuransi yang mencederai kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.
Kita ingin mewujudkan industri asuransi yang tidak sekedar sehat dan tumbuh berkelanjutan, tapi industri yang dipercaya dan memberi kontribusi optimal, tidak sekadar menjadi “bisnis ingkar janji.”
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.