Bank Digital: Berpentas di Tepi Jurang

Hasan Ashari
Oleh Hasan Ashari
14 Februari 2025, 06:40
Hasan Ashari
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kendati Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan, sejak sebulan silam, bunga deposito yang ditawarkan bank-bank digital ternyata masih tetap tinggi. Januari silam, BI memangkas BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Suku bunga Deposit Facility dipatok 5%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,5%. Tapi, hingga minggu kedua Februari 2025, bunga deposito yang ditawarkan bank-bank digital masih bertengger jauh di atas acuan. 

Otomatis, bunga deposito bank-bank digital ini juga jauh di atas tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Untuk simpanan di bank umum, LPS menetapkan suku bunga penjaminan 4,25%. Di atas itu, tak ada jaminan jika ada apa-apa.  Simpanan di bank digital tidak akan ditanggung LPS jika bank kesulitan likuiditas atau gagal bayar.

Tak salah jika bank digital diibaratkan komika yang bermain di panggung tepi jurang. Sama-sama berani mengambil risiko. Jika komika berani mengambil risiko disomasi, digugat, atau dipidana akibat materi yang kontroversial, bank digital juga menghadapi risiko kehilangan kepercayaan nasabah jika gagal memenuhi janji yang menggiurkan. Bahkan nasabah berpotensi merugi jika ternyata bank tidak mampu memenuhi kewajibannya. 

Lantas kenapa bank digital senekat itu? Rupanya, bank digital memilih tetap mematok suku bunga tinggi akibat persaingan dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK) yang semakin ketat. Kondisi makroekonomi yang penuh tantangan juga menjadi alasan lainnya. Tingginya tekanan likuiditas dan persaingan DPK yang ketat di tengah upaya BI menjaga nilai tukar rupiah sambil mendukung aliran masuk portofolio asing menjadi turut pertimbangan utama. 

Bank-bank digital akhirnya memilih mempertahankan tingkat suku bunga deposito mereka di level atas untuk menjaga daya saing dan memberikan keuntungan optimal bagi nasabah. Allo Bank, misalnya, menaikkan suku bunga deposito untuk tenor 3, 6, dan 12 bulan dari 5,50%, 6%, dan 6,50% menjadi 6,50%, 7%, dan 7,50% pada awal Januari 2025. Cara itu terpaksa ditempuh untuk mempertahankan dan menarik lebih banyak nasabah serta meningkatkan pertumbuhan DPK.

Bank Jago juga menaikkan suku bunga deposito setelah pemangkasan BI Rate. Bank Jago menawarkan suku bunga deposito pada rentang 5% hingga 6%, meningkat dari sebelumnya yang berada pada rentang 4,25% hingga 5,25%. Bahkan Bank Jago berani memberikan bunga 7,% per tahun bagi pemilik deposito bertenor satu bulan, termasuk bonus.

Itu semua juga belum seberapa. Krom Bank memberikan tingkat suku bunga deposito hingga 8,75% per tahun. Bank Neo Commerce memberikan deposito dengan nominal kecil, tetapi memiliki suku bunga hingga 8% per tahun. Bank Ammar menawarkan tingkat suku bunga hingga 9% untuk tingkat suku bunga 36 bulan. Luar biasa, bukan? 

Perilaku agresif bank digital itu bukannya tidak mendapat perhatian. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menekankan pentingnya perlindungan nasabah melalui transparansi informasi. OJK telah memberikan peringatan kepada bank digital untuk berhati-hati dalam mengelola dananya, tapi bank digital cenderung abai terhadap peringatan ini.

Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner LPS, juga menegaskan, bank memang tidak dilarang menawarkan bunga tinggi. Namun, bank harus memastikan nasabah memahami setiap risiko yang ada.  Jangan sampai nasabah merasa terperdaya di kemudian hari. 

Setiap Langkah Menjadi Pertaruhan

Edukasi mengenai risiko dan manfaat menabung di bank digital perlu terus ditingkatkan. Permasalahan hukum yang pernah dialami pengelola Peer to Peer (P2P) lending harus menjadi pelajaran. Pada Februari 2024, OJK melaporkan kredit macet P2P lending mencapai Rp1,79 triliun (2,95%). Debitur tidak mampu membayar hingga risiko berdampak pada ekosistem fintech dan reputasi perusahaan penyedia platform. Gara-gara kurang edukasi, kasus gagal bayar itu kerap berlanjut menjadi perkara pidana tatkala kreditur melaporkan perusahaan fintech P2P lending ke aparat hukum.

Apalagi lingkungan  bisnis saat ini juga sedang tidak terlalu oke sehingga industri perbankan Indonesia pada 2025 berada di persimpangan yang kompleks. Ada tantangan makroekonomi yang berat, yang menjadi ujian ketahanan dan kemampuan beradaptasi dengan ketidakpastian, baik dari dalam negeri maupun global.

Di dalam negeri, ekonomi Indonesia sedang berjuang dengan perlambatan konsumsi rumah tangga, yang merupakan lebih dari 50% dari PDB negara. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tingkat pengangguran yang tinggi, PHK massal, ketimpangan ekonomi, dan inflasi makanan yang terus berlangsung. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91% pada Agustus 2024, menjadikan Indonesia yang tertinggi di antara enam negara ASEAN. 

BI memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan akan meningkat menjadi 11-13% pada 2025, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi pada 2024 yang berada di kisaran 10-12%. Angka ini menunjukkan optimisme terhadap pemulihan ekonomi dan peningkatan permintaan kredit di sektor-sektor prioritas yang dapat menciptakan lapangan kerja. Tapi OJK menduga pertumbuhan kredit perbankan hanya naik 9-11%.

Ketidakpastian global yang dipicu oleh ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme, dan fluktuasi harga komoditas juga dapat berdampak signifikan pada kinerja perbankan digital. Persoalan-persoalan itu dapat mengganggu rantai pasokan global dan menurunkan pertumbuhan sehingga mengurangi pendapatan masyarakat dan korporasi. Pada gilirannya, itu dapat menurunkan aktivitas layanan perbankan digital, seperti pinjaman dan investasi.

Fluktuasi harga komoditas, terutama energi dan pangan, juga dapat memicu inflasi, mengurangi daya beli masyarakat, dan meningkatkan risiko kredit. Terang saja, itu semua dapat menurunkan kualitas aset perbankan digital dan meningkatkan potensi kerugian.

Bank digital mesti benar-benar menjaga ritme bisnis mereka. Meskipun efektif menarik nasabah, suku bunga tinggi dapat membebani struktur keuangan bank. Ketidakpastian global yang meningkatkan volatilitas pasar juga memaksa bank digital menerapkan manajemen risiko proaktif dan diversifikasi aset untuk menjaga ketahanan finansial. 

Di tengah tantangan dan risiko tinggi, kita berharap bank digital tetap berdiri teguh, Boleh jadi, mereka memang komika yang selalu bermain di tepi jurang, tampil dengan risiko tinggi tapi menyenangkan tiada tara. Setiap langkah menjadi pertaruhan besar. Dengan strategi cemerlang, mestinya Bank Digital akan terus menjaga pertumbuhan dan menghibur para nasabahnya.

Hasan Ashari
Hasan Ashari
Mahasiswa Program Doktor Perbanas Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...