Kebebasan Pers, Pilar Demokrasi yang Semakin Rapuh

Yusrizal Hasbi
Oleh Yusrizal Hasbi
7 April 2025, 07:15
Yusrizal Hasbi
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi. Ia berfungsi sebagai mata dan telinga publik, mengawasi kekuasaan, serta menyuarakan kebenaran. Namun, di Indonesia, kebebasan pers yang seharusnya menjadi benteng utama demokrasi kini tampak semakin rapuh akibat berbagai bentuk represi, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Lonjakan kasus kekerasan terhadap jurnalis membawa dampak nyata terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini tercermin dalam survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 yang menunjukkan penurunan signifikan ke angka 69,36. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 71,57 dan jauh merosot dari capaian 77,88 pada 2022.

Menurut laporan Dewan Pers, skor IKP 2024 masih berada dalam kategori “Cukup Bebas”, meski mengalami penurunan sebesar 2,21 poin dari tahun sebelumnya. Setiap lingkungan dalam survei ini menunjukkan skor yang relatif serupa, berkisar antara 67 hingga 70. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, Lingkungan Ekonomi mencatat skor terendah di angka 67,74, sementara Lingkungan Fisik & Politik sedikit lebih baik dengan 70,06, diikuti oleh Lingkungan Hukum yang mencapai 69,44.

Meskipun kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya terkekang, tren penurunan ini menjadi alarm bagi dunia jurnalistik. Tantangan demi tantangan terus mengintai, menguji seberapa kuat kebebasan pers dapat bertahan di tengah tekanan yang semakin nyata.

Munculnya Berbagai Tekanan

Di atas kertas, Indonesia menjamin kebebasan pers melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, kenyataannya, kebebasan itu semakin terkikis oleh berbagai regulasi yang justru menghambat kerja jurnalistik. Salah satu contohnya adalah pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering digunakan untuk menjerat jurnalis dan media yang memberitakan kasus-kasus sensitif.

Kasus yang menimpa jurnalis dan media independen terus bertambah. Beberapa wartawan menghadapi kriminalisasi setelah mengungkap kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Ada pula tekanan dalam bentuk intimidasi fisik dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas, sehingga membatasi ruang gerak jurnalisme kritis.

Dalam konteks demokrasi, kebebasan pers adalah hak fundamental yang harus dijaga. Media memiliki peran besar dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah serta institusi lainnya. Dengan adanya pers yang bebas, masyarakat dapat mengakses informasi yang akurat, berimbang, dan independen. Ini penting agar warga negara dapat mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sosial dan politik mereka. Tanpa kebebasan pers, informasi yang diterima masyarakat dapat terdistorsi, sehingga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Media yang seharusnya menjadi penyampai kebenaran justru sering kali menjadi alat propaganda pemilik modal dan kelompok tertentu. Narasi yang diangkat pun tidak selalu berdasarkan kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan bisnis dan politik pemiliknya. Tidak heran jika berita yang muncul cenderung bias, tidak berimbang, atau bahkan menutup-nutupi fakta yang sebenarnya.

Dalam kondisi seperti ini, jurnalis menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan idealisme dan menjalankan tugas jurnalistik secara profesional. Namun, di sisi lain, tekanan dari pemilik media atau klien iklan membuat mereka sulit menyajikan berita yang benar-benar objektif. Akibatnya, banyak media yang memilih untuk “bermain aman” dengan menghindari berita-berita yang berpotensi merugikan pihak-pihak tertentu.

Menyelamatkan Kebebasan Pers

Perkembangan teknologi digital telah membawa tantangan baru bagi kebebasan pers di Indonesia. Media sosial kini menjadi sumber utama informasi bagi masyarakat, tetapi juga menjadi ladang subur bagi hoaks dan disinformasi. Banyak orang lebih percaya pada berita viral yang belum tentu benar dibandingkan berita dari media arus utama yang memiliki standar jurnalistik yang jelas.

Di sisi lain, tekanan terhadap pers juga datang dalam bentuk sensor digital. Beberapa media independen mengalami pemblokiran atau serangan siber setelah menerbitkan laporan investigasi yang mengungkap praktik korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi di ruang digital juga semakin sempit dengan adanya regulasi yang memungkinkan pemerintah memblokir situs atau konten yang dianggap “mengganggu ketertiban umum” tanpa mekanisme transparan.

Fenomena buzzer dan propaganda digital juga semakin memperburuk situasi. Ketika media kritis memberitakan sesuatu yang dianggap merugikan kelompok tertentu, serangan dari akun-akun anonim di media sosial sering kali muncul untuk membentuk opini publik yang mendiskreditkan media tersebut. Ini membuat masyarakat semakin sulit memilah mana informasi yang benar dan mana yang hanya merupakan bagian dari permainan opini politik.

Melemahnya kebebasan pers di Indonesia adalah alarm bahaya bagi demokrasi. Jika pers tidak lagi bebas, maka ruang untuk mengontrol kekuasaan semakin sempit, dan transparansi dalam pemerintahan semakin terancam. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga.

Pertama, negara harus berhenti menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman dan represif terhadap jurnalis dan media. Perlindungan terhadap jurnalis juga harus diperkuat, baik dalam bentuk kebijakan maupun penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan.

Kedua, media harus kembali pada prinsip dasar jurnalistik, yaitu keberimbangan, independensi, dan keberpihakan pada kebenaran. Media harus berani menghadapi tekanan politik dan ekonomi dengan tetap menjaga objektivitas berita. Untuk itu, perlu ada mekanisme pendanaan alternatif bagi media independen agar tidak sepenuhnya bergantung pada iklan atau sponsor yang memiliki kepentingan tertentu.

Ketiga, masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan pers. Publik harus lebih kritis dalam mengonsumsi berita dan tidak mudah percaya pada informasi yang belum terverifikasi. Dukungan terhadap media independen juga perlu ditingkatkan, misalnya dengan berlangganan berita berkualitas atau mendukung jurnalisme yang berintegritas.

Kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi hak seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pers yang bebas, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang benar dan transparan. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang berani, independen, dan tidak tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi.

Jika kebebasan pers terus melemah, maka demokrasi di Indonesia hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi. Saatnya semua pihak—pemerintah, media, dan masyarakat—bersama-sama menjaga kebebasan pers agar tetap menjadi pilar utama demokrasi yang kokoh. Sebab, tanpa pers yang bebas, kebenaran bisa lenyap, dan kekuasaan akan semakin tak terkendali.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Yusrizal Hasbi
Yusrizal Hasbi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...