Tarif Trump dan Perang Dominasi Energi

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
23 April 2025, 07:05
Pri Agung Rakhmanto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pada 5 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Trump menetapkan tarif dasar 10% untuk semua negara pengekspor ke AS. Selain itu ada bea tambahan yang besarannya bervariasi bagi negara yang memiliki surplus neraca perdagangan, termasuk Indonesia. Kebijakan bagian dari Liberation Day dan implementasi visi America First ini rencananya berlaku pada 9 April 2025. 

Pada hari H, Trump justru mengumumkan penundaan selama 90 hari untuk memberi ruang negosiasi. Namun, penundaan tidak berlaku bagi Cina, yang langsung membalas dengan menetapkan tarif 84% atas barang AS, dan dinaikkan lagi menjadi 125%. Trump membalasnya dengan menaikkan tarif menjadi 245%, kemudian Cina meresponsnya dengan menyatakan tidak takut “berperang.”

Secara umum, di luar perang tarif perdagangan, perang untuk mendominasi di sektor energi juga tengah terjadi, khususnya antara AS dan Cina. 

Strategi yang dipilih Trump untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris, kemudian mendorong peningkatan produksi minyak dan gas (migas) secara masif dengan slogan “drill, baby, drill”, memposisikan AS sebagai pihak yang seolah menantang arus transisi energi global. Sedangkan Cina cenderung sebaliknya. Apakah memang seperti itu? 

Merujuk data International Energy Agency (IEA) 2024, hingga akhir 2023, AS menghasilkan energi terbarukan sebesar 1.493 Trillion Watt-hour (TWh). Angka ini hampir sama dengan produksi energi terbarukan seluruh negara Eropa (1.492 TWh) dan dua kali lipat dari Uni Eropa (692 TWh) yang selama ini dikenal sebagai pendukung utama transisi dan pengembangan energi terbarukan. 

Di dunia, produksi energi terbarukan AS hanya kalah dari Cina, yang menghasilkan 3.749 TWh. Merujuk data Rystad Energy, AS membelanjakan modal untuk pengembangan jaringan listrik energi terbarukan sebesar US$73,17 miliar pada 2024. Angka ini sedikit lebih besar dibandingkan Uni Eropa (US$71,47 miliar), tetapi di bawah Cina (US$101,84 miliar). 

Jadi, AS sebenarnya termasuk salah satu pemain utama di dunia untuk pengembangan energi terbarukan. Akan tetapi memang kalah dibandingkan Cina. 

Cina memang mendominasi dalam mata rantai dan teknologi penyediaan energi terbarukan di tingkat global. Cina menguasai lebih dari 80% manufaktur produksi listrik tenaga surya dan lebih dari 60% untuk manufaktur listrik tenaga angin (Bloomberg-ING Research, 2024). 

Cina juga menguasai lebih dari 80% kapasitas pemrosesan lithium–ion battery yang diperlukan untuk industri dan ekosistem kendaraan listrik global (Benchmark Mineral Intelligence, 2025). 

Cina menguasai sekitar 80% pertambangan graphite global dan lebih dari 60% pertambangan mineral jarang, sekaligus lebih dari 90% industri hilir pengolahan untuk keduanya. 

Merujuk data IEA (2024), Cina juga menguasai 40%-80 % industri hilir pengolahan untuk jenis mineral kritis seperti tembaga, lithium, dan cobalt yang merupakan bahan baku untuk industri energi terbarukan. Di samping menjadi bahan baku manufaktur seperti otomotif dan teknologi komunikasi-informasi. 

Trump tentu memahami kondisi itu. Di sisi lain, dalam hal penyediaan energi fosil, khususnya migas, AS sudah sejak lama unggul, terutama dalam hal pengembangan teknologi eksplorasi-produksi. 

AS berhasil melakukan revolusi teknologi pengembangan migas non-konvensional. Salah satunya melalui perekahan (fracking) batuan shale dan pengeboran deep-ultra deep water. Hal ini membuat pasokan migas AS dan dunia, secara teknikal menjadi relatif lebih “berkelanjutan”, jika tak bisa disebut sebagai dapat diperbarui. 

Saat ini AS adalah produsen minyak bumi (crude oil) terbesar dunia. Produksinya produksi mencapai 12,9 juta barel per hari (bph), mengalahkan Rusia (10,5 juta bph), Arab Saudi (9,6 juta bph), Kanada (4,9 juta bph), dan Cina (4,2 juta bph). 

Produksi gas alam, AS merupakan produsen terbesar mencapai 1.035,3 miliar meter kubik (25,5%), disusul Rusia dengan (14,4%), Cina (5,8%), Kanada (4,7%), dan Qatar (4,5%). Saat ini AS adalah eksportir Liquified Natural Gas (LNG) terbesar dunia (20,8%), disusul Qatar (19,%), Australia (19,6%), dan Rusia (7,8%).  

Berdasarkan data World Atlas (2025), AS memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 55,25 miliar barel. AS berada di peringkat ke-9 dunia, hanya di bawah negara-negara kaya minyak – mayoritas negara Timur Tengah, Venezuela, Kanada, dan Rusia. 

Sebagai pembanding, Cina tercatat memiliki sekitar 27 miliar barel cadangan terbukti minyak, Norwegia 7,6 miliar barel, Malaysia 3,6 miliar barel, Indonesia 2,3 miliar barel, Inggris 1,8 miliar barel, dan Denmark 340 juta barel. 

Sedangkan untuk gas alam, AS memiliki cadangan terbukti sekitar 322,2 triliun cubic feet (TCF). Angka ini sekitar 4,6% dari total cadangan gas dunia dan merupakan peringkat ke-4 yang terbesar. 

Untuk cadangan gas alam ini, AS hanya kalah dibandingkan Rusia (1.688 TCF), Iran (1.183 TCF), dan Qatar (858 TCF). Namun masih lebih besar dibandingkan Arab Saudi (303,2 TCF), Cina (184,4 TCF), Indonesia (98 TCF), dan beberapa negara maju Eropa seperti yang banyak mengandalkan gas alam seperti Norwegia (65,5 TCF) dan Belanda (27,8 TCF).  

Dengan kemampuan produksi yang saat ini terbesar di dunia dan dengan penguasaan teknologi serta akses sumberdaya-cadangan migas yang juga tergolong kuat, AS secara relatif jelas lebih berpeluang (dibandingkan Cina) untuk menjadi negara superpower di pengembangan energi migas.  

Maka, jika dilihat dari perspektif geopolitik energi, pilihan strategi yang dijalankan AS saat ini pro-migas dan seolah anti transisi energi. Sedangkan pilihan strategi yang dijalankan Cina (termasuk Uni Eropa) adalah pro-transisi energi dan seolah lebih environmentalis. Situasi ini sejatinya tak mengherankan.

Untuk memenangkan (mendominasi) perang energi di tingkat global, keduanya mendasarkan pilihan strategi pada keunggulan komparatif masing-masing. Terutama di dalam mata rantai penyediaannya, yaitu pada aspek ketersediaan akses sumber daya bahan mentah-bahan baku, dan kesiapan teknologi-know how dan sumber daya manusia. 

Sisi “mulia” dari transisi energi di dalam konteks ini, yaitu aspek lingkungan hidup-pengurangan emisi, terlihat menjadi relatif dan normatif saja. 

Dalam hal emisi, merujuk publikasi European Commision 2024 tentang Green House Gas (GHG) Emissions, emisi GHG AS adalah sebesar 5,96 Giga ton setara CO2. Ini lebih besar daripada Rusia (2,67) Uni Eropa (3,22), dan India (4,13), tetapi jauh lebih kecil dibandingkan Cina (15,94). 

Secara persentase, emisi GHG AS itu kurang lebih 11,3% dari porsi emisi global, sementara porsi Cina (30,1%), India (7,8%), Uni Eropa (6,1%), dan Rusia (5%). Angka ini sejalan dengan porsi emisi COs yang khusus berkaitan dengan aktivitas energi. Cina adalah penyumbang emisi yang terbesar dengan 31,9%, disusul AS dengan 13,2%, India 8%, dan kawasan Eropa secara keseluruhan (minus Rusia dan bekas wilayah persemakmurannya) di kisaran 10,1%. 

Pada titik ini, Cina, yang sekilas terlihat sebagai nomor satu di dalam pengembangan dan penyediaan transisi energi-energi terbarukan, ternyata sekaligus juga masih nomor satu sebagai penyumbang emisi COs terbesar di dunia. Kondisi ini tak lepas dari lebih dari 55% konsumsi energi primer Cina masih dipenuhi dari batubara, 19% dari minyak, 9% dari gas bumi, 10% dari energi terbarukan. 

Seperti halnya AS, sekitar 38% dipenuhi dari minyak, 36% gas, 9% batubara, 9% nuklir, dan 9% energi terbarukan. AS mengonsumsi minyak bumi rata-rata hingga 18,9 juta bph (19,6% dari konsumsi total dunia, terbesar), disusul Cina dengan 16,6 juta bph (16,5%). 

AS juga konsumen gas alam terbesar dunia (22,1%), lebih besar daripada seluruh kawasan Eropa (11,6%), Rusia (11,3%), dan Cina (10,1%). Dengan kata lain, negara-negara besar dan maju di dalam praktiknya juga adalah negara-negara dengan porsi konsumsi dan emisi energi fosil yang juga besar.

Jadi, melihat perkembangan “perang” di sektor migas, Indonesia perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih dan menjalankan strategi pengelolaan energinya. Jangan hanya latah – sekadar menjadi pengikut. Malahan juga berada paling depan berlari di dalam gerakan transisi energi, tanpa berpijak pada kondisi dan keunggulan komparatif yang kita miliki. 

Tetapkan (target) bauran energi nasional yang lebih proporsional atas dasar ketersediaan sumber daya dan kesiapan mata rantai penyediaannya. Target tersebut dalam kerangka kerja yang dapat dicapai secara realistis dengan lebih independen. 

Itulah wujud kemandirian dan daulat energi di dalam percaturan energi global, yang tak akan pernah lepas dari nilai dan kepentingan para pelaku utamanya. Jika tidak bisa melakukannya, kita bisa jadi hanya akan bernasib seperti pelanduk yang mati di tengah-tengah pertarungan dominasi “gajah-gajah” energi dunia, khususnya AS-Cina.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...