Ancaman 'Expansion Trap' dari Perluasan Anggota ASEAN


Rencana ASEAN memperluas keanggotaannya ke Timor Leste dan (mungkin) Papua Nugini akan berpotensi memunculkan masalah. Bagi John Mearsheimer, ahli ilmu politik dan hubungan internasional dari Universitas Chicago, blok regional yang terus membesar adalah undangan terbuka bagi rivalitas kekuatan besar—seperti yang terjadi pada NATO dan Rusia.
ASEAN memang bukan NATO, dan Asia Tenggara bukan Eropa Timur. Namun, jika teori Mearsheimer berlaku di sini, apakah ASEAN sedang menyiapkan bom waktu geopolitik dengan menerima anggota baru?
ASEAN selalu bangga pada prinsip non-interference dan consensus-based diplomacy-nya, tapi perluasan keanggotaan bukan sekadar tambah kursi di meja rapat. Timor Leste, misalnya, adalah magnet kepentingan asing. Cina telah aktif membangun infrastruktur di sana, Australia khawatir akan pengaruh Beijing, dan AS mungkin mulai menganggap Dili sebagai pion baru dalam grand chessboard Indo-Pasifik.
Sementara Papua Nugini—dengan sumber daya alamnya yang melimpah dan ketergantungan pada Australia—adalah contoh klasik buffer state yang bisa menjadi ajang tarik-ulur kekuatan besar. Dalam logika Mearsheimer, ini resep sempurna untuk destabilisasi.
Eropa sudah membuktikan betapa berbahayanya expansion trap. NATO yang terus merangkul bekas negara Soviet memicu paranoia Rusia, berujung pada Perang Ukraina. ASEAN, dengan keanggotaan yang heterogen dan ketegangan laten di Laut Cina Selatan, bisa jadi sedang menapaki jalan serupa. Bedanya, sementara NATO punya Article 5 sebagai tameng kolektif, ASEAN hanya punya ASEAN Way—yang lebih mirip diplomasi ala “jangan marah, kita bicara nanti” ketimbang mekanisme keamanan nyata.
Lalu, apakah Timor Leste dan Papua Nugini akan menjadi “Ukraina-nya ASEAN”? Belum tentu. Tapi Mearsheimer akan berargumen bahwa perluasan keanggotaan tanpa pertimbangan dampak geopolitik adalah kesalahan fatal. Cina sudah mengincar Timor Leste melalui investasi Belt and Road, sementara AS dan sekutunya mungkin akan memandang perluasan ASEAN sebagai peluang untuk containment. Jika anggota-anggota baru ini terjebak dalam persaingan AS-Cina, ASEAN bisa kehilangan netralitasnya—dan berubah dari mediator menjadi medan perang proxy.
Diplomasi ASEAN selama ini bertahan karena fleksibilitas dan ambigu yang disengaja. Tapi Mearsheimer akan menertawakan pendekatan ini. Baginya, dunia adalah hutan di mana negara harus memilih: jadi pemangsa atau mangsa. Jika ASEAN terus memperluas diri tanpa strategi keamanan yang jelas, ia hanya akan menjadi arena baru bagi perebutan pengaruh.
Lihat saja bagaimana Kamboja sering dianggap sebagai “proxy Cina” atau Filipina yang bersikap ambigu antara Washington dan Beijing. Dengan tambahan anggota baru yang rentan pengaruh asing, problem ini akan makin runyam.
Solusinya? Mungkin ASEAN perlu belajar dari kesalahan Eropa. Bukan dengan menolak ekspansi, tapi dengan memastikan bahwa setiap perluasan disertai mekanisme yang mencegah intervensi kekuatan besar. Atau, lebih radikal lagi: akui saja bahwa dalam dunia ala Mearsheimer, ASEAN harus memilih antara tetap menjadi klub diskusi yang relevan atau beralih jadi aliansi keamanan yang solid. Tapi itu berarti mengubur ASEAN Way, dan itu seperti meminta harimau menjadi vegetarian.
Pada akhirnya, nasib ASEAN akan tergantung pada apakah ia bisa menyeimbangkan antara perluasan pengaruh dan stabilitas kawasan. Jika Mearsheimer benar, maka expansion trap sudah menunggu. Tapi jika ASEAN bisa membuktikan bahwa diplomasinya lebih cerdas dari teori realisme ofensif, mungkin—hanya mungkin—ia akan selamat dari permainan kekuatan besar. Atau setidaknya, bertahan sampai rapat berikutnya sambil makan “nasi bungkus” dan tersenyum diplomatis.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.