Janji Manis Digitalisasi Hutan Pak Menteri
Digitalisasi layanan kehutanan menjadi kebanggaan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni. Digitalisasi, seperti yang ia tulis dalam opini di media cetak Kompas berjudul “Krisis Dunia dan Tata Kelola Hutan” pada 3 Juni 2025 lalu, ditempatkan sebagai program paling atas. Pak Menteri menulis bahwa digitalisasi layanan kehutanan sebagai bentuk modernisasi tata kelola hutan. Melalui sistem digital, masyarakat dapat mengakses data dan proses perizinan dengan lebih mudah dan transparan. Proses yang dulunya panjang dan rawan penyimpangan kini katanya dipangkas menjadi efisien dan akuntabel.
Semuanya terdengar menjanjikan. Tapi jika kita bertanya, sejauh mana hutan-hutan di Indonesia benar-benar tersentuh oleh digitalisasi, jawabannya lebih sering berupa kritik yang tajam. Lembaga masyarakat sipil putus asa ketika meminta data Kementerian Kehutanan. Payung hukum berupa Keterbukaan Informasi Publik pun tak banyak membantu adanya keterbukaan pengelolaan kehutanan. Belum lagi proses pembahasan revisi UU Kehutanan di Komisi IV DPR RI yang berlangsung Juli 2025 ini yang tidak membuka ruang dialog cukup bagi partisipasi publik berbasis data informasi.
Faktanya, akses publik terhadap berbagai macam data informasi kehutanan tertutup. Semakin kemari, sistem informasi seperti Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (SIPNBP) atau Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) semakin banyak pembatasan terhadap aksesnya.
Melalui Keputusan Sekretaris Jenderal KLHK Nomor 31 tahun 2024 yang menutup data dan informasi geospasial dan proses perizinan di bidang planologi, serta di bidang pengelolaan hutan produksi lestari antara lain data permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), dokumen rencana kerja PBPH, data pemenuhan bahan baku industri, data produksi kayu olahan, data ekspor impor kayu bulat atau kayu olahan dari setiap perizinan, dan lain-lain.
Sulit melakukan pengawasan ketika informasi tentang perizinan dan pemanfaatan hutan tidak tersedia secara terbuka. Ketika publik tidak tahu siapa yang mengelola suatu kawasan, bagaimana perizinannya diperoleh, dan apakah ada pelanggaran terhadap regulasi, maka upaya menjaga hutan menjadi seperti meraba dalam gelap.
Forest Watch Indonesia (FWI) memandang persoalan utama dalam kehutanan kita adalah keterbukaan informasi. Temuan FWI (2025) menyebutkan seluas 10 juta hektare kawasan hutan ditetapkan sepanjang tahun 2022. Angka ini melonjak 20 kali lipat dari rata-rata tahunan di tahun-tahun sebelumnya, yang hanya sekitar 500 ribu hektare. Ini memiliki konsekuensi pada tanah-tanah, kebun-kebun, hutan-hutan yang menjadi dalam penguasaan negara, termasuk tanah ulayat.
Kawasan hutan di Indonesia sangatlah luas—lebih dari 120 juta hektare. Namun pengelolaan kawasan hutan kita masih gelap. Gelap bukan karena kurang cahaya. Tapi karena minimnya akses publik terhadap informasi dasar. Di mana dokumen berita acara tata batas? Siapa saja yang menandatangani? Di mana saja batas-batasnya? Apakah masih penunjukan atau sudah ditetapkan? Informasi semacam ini seharusnya menjadi barang publik yang dapat diakses secara digital, transparan, dan real time. Tapi kenyataannya masih dipertanyakan publik.
Kawasan hutan bukan berarti kawasan yang bertutupan hutan. Dari catatan FWI (2025), hanya 66% kawasan hutan yang masih memiliki tutupan hutan. Deforestasi di dalam kawasan hutan pun capai 660.251 hektare dalam satu tahun saja (2022-2023). Deforestasi dimaknai sebagai perubahan tutupan hutan menjadi bukan hutan, baik secara permanen maupun tidak.
Kawasan hutan juga bukan tanah tanpa penguasa. Isinya perusahaan- perusahaan yang notabene merusak hutan. Dikapling oleh konsesi tambang minerba (2.697.661 hektare), konsesi perkebunan kelapa sawit (4.296.501 hektare), dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) (26.572.745 hektare). Bahkan ditemukan seluas 3.996.672 hektare kawasan hutan yang tidak jelas dikuasai oleh perusahaan pertambangan, perkebunan, atau kehutanan, karena saling tumpang tindih ketiganya. Jika di total keseluruhan konsesi-konsesi tersebut mencapai 37,61 juta hektare yang hampir setara tiga kali luas Pulau Jawa.
Operasionalisasi izin di dalam kawasan hutan terus mendorong kerusakan hutan secara terencana. Meski begitu teritorialisasi kawasan hutan tidak begitu menguntungkan. Pasalnya sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor kehutanan sangat kecil, di bawah 1%. Rakyat hanya bisa merasakan dampaknya daripada keuntungan bisnis kawasan hutan yang merusak.
Berbagai upaya menjadi jurus andalan Kementerian Kehutanan untuk mendongkrak ekonomi dari hasil hutan. Seperti inisiatif multi usaha kehutanan yang memungkinkan satu izin melakukan berbagai macam program usaha seperti kebun energi (hutan tanaman energi), kebun pangan (food estate), karbon, jasa lingkungan dan lainnya.
Namun kerusakan hutan terus terjadi dan fakta-fakta hasil hutan tersebut bukan hanya mencerminkan lemahnya tata kelola kawasan hutan melainkan disorientasi mau dibawa sampai mana rezim kawasan hutan ini.
Jika digitalisasi menjadi solusi seperti kata Pak Menteri, maka seyogyanya semua informasi bisa dibuka secara daring—dari sistem perizinan, peta konsesi, hingga status hutan. Kita masyarakat bisa mengawasi bersama-sama. Masyarakat sipil bisa ikut memantau. Wartawan bisa menginvestigasi. Investor pun akan lebih percaya, karena ada kepastian dan transparansi.
Digitalisasi yang sesungguhnya akan mengubah tatanan. Ia akan memperlihatkan siapa yang bermain di balik konsesi, siapa yang menumpuk izin di banyak tempat, siapa yang membuka hutan tanpa membayar provisi. Bahkan dapat memperlihatkan tata perizinan yang silang sengkarut. Maka wajar jika banyak pihak lebih nyaman membiarkan data tetap tertutup, publik dibatasi, sistem tetap analog, dan proses tetap tidak terlacak. Transparansi bukan hanya soal teknologi, tapi soal kemauan untuk melepaskan kontrol atas informasi.
Di sisi lain, tanpa digitalisasi, Indonesia akan kesulitan meyakinkan dunia pemenuhan atas komitmen penurunan emisi karbon. Dalam Second NDC (Nationally Determined Contributions) yang diajukan ke dunia internasional nantinya, Indonesia menjanjikan penurunan emisi signifikan, dengan sektor kehutanan sebagai tulang punggung. Menekan penurunan laju deforestasi. Tapi bagaimana bisa mengukur dan mengelola penurunan emisi jika data dasar tentang tutupan hutan dan deforestasi saja banyak disamarkan?
Ketertutupan ini juga berdampak pada masyarakat adat dan lokal. Mereka yang hidup dan bergantung pada hutan sering kali tidak tahu apakah tanah yang mereka garap telah dibebani izin kepada perusahaan besar. Ketika konflik terjadi, mereka tidak punya dokumen resmi untuk membela diri. Informasi yang mestinya mereka akses justru dikuasai oleh segelintir orang di ibu kota.
Mungkin di sinilah letak ironi paling dalam dari digitalisasi tata kelola hutan di Indonesia. Kita punya teknologi, punya sumber daya, bahkan punya komitmen resmi di atas kertas. Tapi kita belum punya keberanian untuk membuka data dan memulai pemerintahan yang transformatif. Masalah utamanya lebih bersifat politis dan struktural: siapa yang ingin transparansi jika selama ini mereka diuntungkan oleh kabut?
Digitalisasi tidak akan menyelesaikan semua masalah dalam satu malam. Tapi tanpa digitalisasi, kita bahkan tidak tahu dari mana harus memulai. Pemerintah seperti tidak mau ada transformasi tata kelola ke arah yang lebih baik, terbuka, dan akuntabel. Asimetris informasi. Walhasil, simpang siur, tumpang tindih, kerugian negara, kepastian hukum, kerusakan hutan dan lingkungan, dan konflik agraria selalu menjadi pemandangan umum di negeri ini. Dari semua dampak ketertutupan itu, masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi kelompok paling terdampak.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
