Ilusi Pertumbuhan Pariwisata Dalam Negeri
Sektor pariwisata memegang peran strategis bagi Indonesia. Bukan hanya sebagai penggerak devisa, tetapi juga sebagai lokomotif penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, dan penggerak sektor-sektor pendukung seperti transportasi dan akomodasi.
Dalam konteks upaya pemerintah mendorong pariwisata sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, penting memastikan bahwa geliat sektor ini memberikan dampak yang menyeluruh dan mampu memperkuat rantai nilai pariwisata secara holistik.
Paradoks Pariwisata: Lonjakan Wisatawan, Akomodasi Terpuruk
Data Badan Pusat Statistik terbaru menunjukan bahwa kunjungan wisatawan hingga Juni 2025, baik mancanegara maupun domestik mengalami lonjakan yang signifikan. Lonjakan tersebut telah melampaui capaian tertinggi dalam tiga tahun terakhir, dan seolah menandai pulihnya sektor pariwisata nasional. Namun kenyataannya, sektor akomodasi justru mengalami tekanan berat.
Secara tahunan, pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) pada juni 2025 masing-masing melonjak sebesar 18,2% dan 25,9%. Namun lonjakan tersebut tidak mampu mendorong kinerja sektor akomodasi yang terus melemah sejak kuartal I-2023, bahkan tetap terkontraksi -0,40% pada kuartal II-2025 di tengah pertumbuhan ekonomi 5,12% secara tahunan (YoY).
Secara akumulatif, data BPS menunjukan bahwa kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara pada periode Januari-Juni 2025 mencapai 7 juta kunjungan dan 613,8 juta perjalanan. Angka tersebut telah melampaui capaian tertinggi dalam tiga tahun terakhir pada periode yang sama. Banyaknya cuti bersama pada semester I-2025 turut serta mendorong tingginya pertumbuhan kunjungan ini.
Namun ironinya, lonjakan tersebut tidak diikuti peningkatan Tingkat Penghunian Kamar (TPK). Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang dan nonbintang justru terus melemah sejak 2023 dan mengalami kontraksi berturut-turut hingga Juni 2025, masing-masing sebesar -8,6% dan -5,5%.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pada awal tahun 2025 melalui pembatasan perjalanan dinas di pusat dan daerah semakin menekan permintaan akomodasi formal, terutama pada segmen Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE). Survei Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) menunjukkan penurunan signifikan tingkat hunian hotel di kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang selama ini menjadi penopang industri perhotelan nasional.
Tekanan ini juga diperparah oleh pelemahan daya beli masyarakat pada awal 2025 yang mengurangi belanja wisata, sehingga subsektor penyediaan makanan dan minuman juga mulai terdampak. Walaupun masih tumbuh positif hingga kuartal II-2025, namun mengalami pergolakan yang signifikan dengan tren penurunan sejak kuartal I-2023. Fenomena ini menegaskan bahwa pemulihan pariwisata Indonesia dihadapkan pada tantangan struktural yang serius, di mana pertumbuhan kunjungan tidak otomatis menggerakkan seluruh ekosistem industri.
Mobilitas yang Melemah: Sinyal Ilusi Kebangkitan Pariwisata
Pergerakan orang yang dinamis tidak hanya mencerminkan meningkatnya kunjungan wisata, tetapi juga seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi melalui rantai konsumsi yang tercipta sepanjang perjalanan. Setiap perjalanan memicu belanja transportasi, makanan dan minuman, hingga penggunaan akomodasi. Dengan demikian, mobilitas yang sehat akan memberikan efek berganda terhadap perekonomian.
Namun di saat tingginya lonjakan wisatawan baik mancanegara atau domestik, kondisi tersebut justru tidak terjadi, yang tercermin melalui pelemahan pertumbuhan sektor transportasi hingga pertengahan tahun 2025. Pelemahan mobilitas masyarakat yang terjadi menciptakan anomali dan menimbulkan kesan bahwa kebangkitan pariwisata nasional lebih bersifat ilusi dibandingkan kenyataan yang merata di seluruh rantai nilai.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor transportasi mengalami perlambatan hingga memasuki 2025. Pada juni 2025, jumlah penumpang pesawat terbang domestik tercatat terkontraksi dalam secara berturut-turut, yakni -8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tren serupa juga terlihat pada moda transportasi lain seperti penumpang kapal laut yang sempat mengalami kontraksi pada Januari, Februari, dan Mei 2025. Sementara penumpang kereta api masih tumbuh positif, namun juga menunjukkan pelemahan yang signifikan sejak Desember 2024.
Sinyal pelemahan sektor transportasi telah disadari oleh pemerintah, tercermin dari kebijakan stimulus yang diluncurkan pada Juni 2025. Stimulus ini berupa potongan tarif pada berbagai moda, mulai dari pesawat, kereta api, kapal laut, hingga tarif penyeberangan dengan tujuan mendorong kembali mobilitas masyarakat. Namun, dampak kebijakan ini masih terbatas. Pertumbuhan jumlah penumpang pesawat belum beralih ke fase ekspansif, sedangkan moda kapal laut menunjukkan respons yang lebih positif dengan pertumbuhan penumpang yang melonjak signifikan.
Keluar dari Ilusi: Strategi Pemulihan yang Menyeluruh
Lonjakan wisatawan yang tidak diikuti peningkatan signifikan pada sektor akomodasi dan makanan-minuman menjadikan perkembangan pariwisata seolah seperti “ilusi”. Bagi negara yang mengklaim diri sebagai destinasi pariwisata dunia, dampak industri ini seharusnya merata di seluruh rantai nilai, sehingga memberi nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan kebijakan yang berorientasi jangka panjang perlu diutamakan, alih-alih hanya mengandalkan stimulus dua bulan yang hanya memberi dampak sesaat. Ketepatan langkah regulator menjadi kunci untuk keluar dari “ilusi” pemulihan pariwisata. Tidak hanya memperkuat sisi pasokan pariwisata dari sisi supply, tetapi juga perlu mendorong permintaan wisatawan dari sisi demand.
Salah satu strategi jangka panjang adalah memperkuat konsumsi masyarakat melalui peningkatan kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, dan penekanan angka PHK. Perbaikan daya beli ini akan menciptakan efek berganda bagi sektor pariwisata, karena semakin luasnya ruang anggaran rumah tangga untuk rekreasi.
Dari sisi pelaku industri, diversifikasi menjadi kunci menghadapi tekanan ini. Ketergantungan pada pasar MICE di hotel berbintang perlu dikurangi dengan memperluas segmen layanan, misalnya menyasar wisatawan keluarga, pelancong muda, serta pasar lokal melalui paket bundling. Strategi efisiensi operasional, termasuk inovasi pada model bisnis berbasis pengalaman (experience-based hospitality), akan membantu menjaga stabilitas pertumbuhan sektor ini di tengah perubahan preferensi wisatawan dan pengetatan anggaran pemerintah.
Ke depan, pemulihan pariwisata pascapandemi harus diarahkan agar dampaknya merata ke seluruh rantai nilai, bukan sekadar mengejar lonjakan kunjungan wisatawan. Pemerintah dan pelaku usaha perlu membangun ekosistem pariwisata yang lebih terintegrasi dengan memperkuat daya beli masyarakat, transportasi yang efisien dan terjangkau, menghidupkan subsektor akomodasi lewat diversifikasi produk, serta mendorong daya saing destinasi. Pendekatan yang lebih menyeluruh ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antara jumlah kunjungan dengan dampak ekonomi yang dihasilkan, sehingga sektor pariwisata dapat kembali menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
