Hilangnya Masyarakat Adat dalam Pidato Presiden
Masyarakat Adat hilang dalam pidato setebal 24 halaman yang dibacakan Presiden Prabowo Subianto ketika Sidang MPR RI, 15 Agustus 2025 dalam rangka menyambut perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Ini merupakan ironi sekaligus bukti tidak adanya perhatian pemerintah.
Presiden menyampaikan berbagai ambisi pembangunannya, mulai dari ketahanan pangan, makan bergizi gratis, hingga produksi beras. Tapi, semuanya dilakukan tanpa ada peran Masyarakat Adat. Padahal jauh sebelum negara ada, Masyarakat Adat telah berdaulat atas pangannya sendiri dan memiliki sistem ketahanan pangan yang teruji secara turun temurun.
Ambisi pembangunan yang menjauh dari peran Masyarakat Adat hanya akan menjadi proyek bancakan para elite dan kerap merusak. Bahkan tidak sedikit yang gagal, seperti proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ratusan hektare hutan dibabat, tapi, singkong yang ditanam gagal sejak tahun pertama. Perambahan hutan tersebut juga membawa petaka bagi masyarakat sekitar, seperti banjir yang tidak pernah terjadi sebelum proyek ini jalan.
Narasi pangan yang menjauh dari Masyarakat Adat juga akan mengabaikan berbagai kekayaan panganan lokal Indonesia. Alih-alih mengembangkan sagu, umbi-umbian lokal, atau berbagai buah lokal yang lebih cocok dengan ekosistem di Indonesia, pemerintah justru membanggakan proyek beras dan jagung—komoditas yang jelas-jelas bukan pangan asli kita dan telah lama kalah bersaing di pasar global.
Ketergantungan pada satu jenis komoditas ini ironisnya datang di saat Indonesia justru terus kehilangan fondasi utama produksinya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Indonesia terus menyusut. Hilangnya lahan produktif ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh retorika ambisius belaka. Laporan Food Estate: Menanam Kehancuran Menuai Krisis Iklim bahkan menyebut pendekatan ini menciptakan beban ganda kekurangan gizi (obesitas dan stunting) akibat rendahnya keragaman pangan.
Beban ganda ini bukanlah isu kecil. Angka stunting di Indonesia, meskipun telah mengalami penurunan, masih berada di level yang mengkhawatirkan, data terakhir menunjukkan prevalensi stunting masih di atas 20%. Di saat yang sama, masyarakat adat telah membuktikan bahwa mereka memiliki solusi nyata.
Masyarakat Adat Penjaga Ketahanan Pangan Bangsa
Bukti kedaulatan pangan Masyarakat Adat bisa kita lihat saat perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia di Kasepuhan Guradog, Lebak, Banten. Di sana, berbagai komoditas unggulan terpampang nyata: singkong yang ukurannya melebihi paha anak usia tiga tahun, sayur, dan buah-buahan yang jarang ditemui di pasar. Ini adalah bukti konkret bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga sejati ketahanan pangan bangsa, berbekal pengetahuan lokal yang tidak kalah penting dari teknologi modern.
Namun, alih-alih menjadi aktor utama, mereka terus termarjinalkan. Dari puluhan juta hektare wilayah adat yang telah teridentifikasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), tak sampai seperempatnya yang telah diakui dan ditetapkan oleh negara. Akibatnya, tanah-tanah adat ini terus dirampas untuk kepentingan pembangunan dan investasi.
Perampasan lahan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menciptakan kerentanan pangan dan krisis gizi baru, sebab anak-anak yang lahir dari komunitas ini kehilangan sumber makanan bergizi yang mereka miliki sejak tanah mereka dirampas.
Ambisi pangan skala luas ini, justru mengancam kelangsungan hutan. Proyek pangan skala luas, hendak menjawab masalah kerentanan pangan dan krisis pangan, yang salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim. Tapi, justru proyek ini direncanakan di tengah-tengah kawasan hutan yang masih alami, dan menjadi habitat berbagai komoditas pangan lokal. Pendekatan pertanian industrial monokultur ini hanya akan memperparah perubahan iklim, dan juga membuat sistem pangan rentan terhadap hama, penyakit, dan guncangan iklim yang semakin tidak menentu.
Pengabaian ini adalah bentuk pengabaian sejarah bangsa ini. Padahal, Bung Karno pernah berkata, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Bangsa ini terbentuk atas imajinasi bersama masyarakat adat dari semua pelosok negeri yang rela menyumbangkan tanahnya untuk fasilitas negara. Sayangnya, mereka masih diperlakukan sebagai warga kelas dua, hanya dianggap sebagai objek budaya yang memiliki pakaian, tarian, dan instrumen musik yang kerap dipakai di acara kenegaraan, sementara hak-hak fundamental mereka terus terabaikan.
Bahkan, pemaksaan makanan luar seperti beras bersubsidi ke dalam komunitas adat disebut sebagai gastrokolonialisme, yang secara halus merusak identitas dan budaya mereka sendiri. Seorang pejabat Dinas Ketahanan Pangan Boven Digoel yang dikutip dalam laporan Greenpeace bahkan menyatakan, “menyetujui program lumbung pangan berarti menyetujui genosida. Genosida bukan dalam arti membunuh orang secara langsung, tetapi dengan mengambil tanah yang menjadi sandaran hidup mereka atas nama makanan.”
Indonesia kini berusia delapan puluh tahun, tidak lagi muda. Sudah saatnya bangsa ini diurus dengan tepat dan meletakkan kembali pondasi negara yang sesungguhnya. Selama pemerintah terus menjadikan Masyarakat Adat sebagai warga kelas dua dan mengabaikan peran mereka sebagai penjaga hutan dan keragaman pangan, selama itu pula bangsa ini tidak akan pernah benar-benar mencapai cita-cita para pendiri bangsa. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya sekadar formalitas, melainkan langkah krusial untuk menjadikan Masyarakat Adat sebagai aktor utama dalam pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
