Bagaimana Masa Depan Pembuat Kendaraan Bensin, Hibrida, dan Listrik?

Ade Febransyah
Oleh Ade Febransyah
22 Agustus 2025, 14:50
Ade Febransyah
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Peneliti utama, Decisions & Corporate Foresight, Prasetiya Mulya Business School
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Era sekarang ini tersedia tiga pilihan kendaraan roda empat untuk membantu pekerjaan mobilitas kita. Ada mobil bensin (internal combustion engine/ICE), hibrida (hybrid electric vehicle/HEV) dan mobil listrik (battery electric vehicle/BEV).

Di Jakarta, dalam satu tahun terakhir, mobil-mobil listrik buatan Cina terlihat lalu-lalang di jalanan ibu kota. Apakah pabrikan Tiongkok akan menguasai pasar kendaraan listrik? Atau mobil-mobil bensin yang sebagian besar dari pabrikan Jepang dan Eropa tetap menjadi pilihan utama masyarakat? Atau semua pabrikan juga berlomba memperkenalkan mobil hibrida?

Preferensi Individu

Keputusan menggunakan produk baru didasari pada pengalaman pengguna memakai solusi lama (Kahneman & Tversky, 1991). Pengguna mobil bensin sekarang memutuskan untuk mengadopsi mobil listrik atau hibrida, jika dinilai memberikan lebih banyak manfaat dan lebih sedikit kerugian dibandingkan mobil bensin. Sebaliknya mobil bensin akan tetap dipilih jika mobil bensin masih dinilai lebih unggul dalam manfaat dan kerugian dibandingkan solusi baru. 

Untuk menilai preferensi individu terhadap pilihan kendaraan, studi terhadap sekelompok individu yang memiliki jobs to be done yang sama dilakukan (Febransyah, 2025). Ambillah commuter -memiliki pekerjaan commute to work- yang sehari-harinya menggunakan kendaraan pribadi berbahan bakar bensin. Kemudian mereka dikelompokkan berdasarkan kemampuan membeli sampai harga tertentu untuk sebuah kendaraan.

Untuk pasar mobil di Indonesia, pemilik mobil dapat dikelompokkan menjadi dua: mereka yang mampu membeli hingga Rp 400-an juta dan 700-an juta. Dua kelompok ini mewakili mayoritas pemilik kendaraan di Indonesia. Kemampuan membeli pengguna menjadi faktor penghambat yang menentukan intensi dan tindakan mengadopsi kendaraan baru. Ketika seseorang tidak mampu mengatasi faktor penghambat ini, tindakan membeli atau mengadopsi akan sulit terjadi.

Selanjutnya setiap kelompok pengguna menentukan pilihan kendaraannya: mobil bensin, hibrida, dan listrik, dengan menggunakan kriteria utama berupa benefits dan costs. Benefits dipecah lagi menjadi sub-kriteria functional dan emotional benefits dan costs dibagi menjadi upfront cost (harga) dan operating cost.

Individu yang mewakili kelompok pengguna ditanyakan untuk mendapatkan tingkat kepentingan dari kriteria maupun sub-kriteria yang mereka gunakan dalam menilai kendaraan. Manfaat fungsional dari sebuah kendaraan meliputi performa, keandalan, keamanan, fitur, kemudahan mengisi bahan bakar, dan kecocokan penggunaan sehari-hari.

Manfaat emosional diperoleh dari kebanggaan, kenyamanan, citra diri, identitas kendaraan. Sementara biaya operasional meliputi biaya bahan bakar/energi, perawatan, perbaikan, pajak tahunan, asuransi dan depresiasi/resale value.

Dari kelompok pengguna dengan kemampuan beli di harga Rp 400-an juta ternyata preferensi mereka masih mobil bensin, diikuti dengan mobil listrik dan terakhir hibrida. Dengan menggunakan skala rasio, skor 0,37 untuk mobil bensin sedikit di atas mobil listrik dengan skor 0,35 menunjukkan kehadiran mobil listrik tidak membuat kelompok ini meninggalkan mobil bensin.  

Mobil bensin masih dipilih berdasarkan kriteria benefits, baik manfaat fungsional dan emosional, serta harga kendaraan. Sedangkan mobil listrik begitu unggul dalam operating costs. Mobil bensin masih menjadi pilihan karena sub-kriteria comfort, pride untuk emotional benefit; sub kriteria kemudahan mengisi bahan bakar, keandalan, keamanan untuk functional benefit; dan sub-kritera depresiasi/nilai jual, biaya perbaikan untuk operating costs.

Sementara untuk kelompok dengan kemampuan beli hingga Rp 700-an juta, terjadi perubahan drastis. Mobil listrik menjadi pilihan pertama dengan skor berdasar skala rasio sebesar 0,51, diikuti mobil hibrida 0,29, dan mobil bensin 0,20. Preferensi terhadap mobil listrik juga diperlihatkan berdasarkan kriteria benefits baik fungsional dan emosional.

Hasil ini kontras dengan mereka yang berkemampuan beli hingga Rp 400-an juta. Bagi mereka yang memiliki kemampuan beli lebih tinggi, mobil listrik begitu unggul di hampir seluruh sub-kriteria, dan mobil bensin tidak lagi menjadi pilihan utama di seluruh sub-kriteria.

Dari uji preferensi individu ini mengindikasikan mobil listrik lebih mudah diadopsi ketimbang mobil bensin di kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan beli tinggi. Hal ini sejalan dengan studi Buhmann dan Criado (2023) yang menunjukkan semakin tinggi harga kendaraan listrik semakin dipilih mereka yang memiliki kemampuan beli tinggi demi manfaat emosional berupa status dan reputasi. 

Sedangkan untuk mobil hibrida, di segmen masyarakat dengan kemampuan beli di Rp 400-an juta belum tersedia pilihan kendaraan tersebut yang kompetitif dibandingkan mobil bensin dan mobil listrik, sehingga preferensinya paling akhir. Namun untuk individu dengan kemampuan beli di Rp 700-an juta, preferensi mobil hibrida di atas mobil bensin dan di bawah mobil listrik. Hal ini terjadi karena tersedianya pilihan kendaraan mobil hibrida yang kompetitif yang dibawa oleh pabrikan mobil bensin dengan merek yang sudah kuat di pasar Indonesia.

Yang juga perlu diperhatikan bahwa platform teknologi (bensin, hibrida, dan listrik) bukan penentu utama preferensi individu. Individu tetap menggunakan faktor benefit dan biaya sebagai pertimbangannya. Ada kelompok individu yang tetap memilih mobil bensin maupun hibrida karena faktor keandalan, nilai jual, biaya perawatan, keamanan, identitas kendaraan, kenyamanan, kebanggaan dari pabrikan yang sudah teruji di pasar.

Perilaku Produsen

Jadi terlihat potret jangka pendek dari pasar otomotif di Indonesia, dominasi mobil bensin mendapat ancaman dari mobil listrik khususnya di segmen masyarakat berkemampuan beli yang tinggi. Bagi pabrikan mobil bensin, berhijrah total ke mobil listrik bukan pilihan terbaik. Pilihan realistisnya adalah menguatkan mobil hibrida untuk tetap mempertahankan jejaring bisnisnya yang mendukung kendaraan berteknologi motor bakar.

Sebaliknya bagi pabrikan mobil listrik, bertarung all in di kendaraan listrik perlu ketahanan finansial dan kemampuan desain dan pengembangan produk yang cepat. Meski secara penjualan terjadi peningkatan, namun tingkat adopsi mobil listrik di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan total populasi mobil keseluruhan. Bagi pabrikan mobil listrik, kompetisi tidak hanya dari pabrikan mobil bensin yang sudah besar, tapi persaingan sengitnya justeru terjadi sesama pabrikan mobil listrik.  

Strategi adu harga murah perlu disikapi dengan hati-hati. Salah satu manfaat mobil listrik buat penggunanya adalah biaya perawatan yang lebih kecil dari mobil bensin. Konsekuensinya, revenue model dari pembuat mobil listrik justru harus dapat memaksimalkan revenue dan profitnya dari penjualan kendaraan. Dengan demikian adu harga murah justru akan mengancam kinerja keuangan pabrikan dan keberlanjutan dari pabrikan mobil listrik di masa mendatang.

Sementara bagi pabrikan mobil bensin, tren penurunan penjualan tentu mengkhawatirkan. Studi terhadap preferensi individu memperlihatkan mereka dengan kemampuan beli yang tinggi tidak bermasalah dengan harga mobil listrik yang tinggi. Ada manfaat penurunan operating cost dan manfaat emosional berupa status dan reputasi dari mobil listrik. Segmen inilah yang justru mengkhawatirkan pabrikan mobil bensin.

Sementara untuk segmen pengguna dengan kemampuan beli yang rendah, pabrikan mobil listrik seharusnya masih memiliki peluang untuk bertahan di masa mendatang. Mengapa? Ekosistem kendaraan mobil bensin sudah hidup dan kuat sedangkan ekosistem kendaraan listrik masih di tahap awal.

Jadi masa depan akan berpihak kepada siapa? Melihat ekosistem kendaraan berteknologi motor bakar yang sudah terbentuk, pembuat mobil bensin dan sekaligus hibrida akan memiliki kesempatan untuk bertahan dan tumbuh di masa depan. Ditambah lagi jika adanya keinginan dari pabrikan mobil bensin sekaligus hibrida untuk memperbaiki harga kendaraan yang lebih terjangkau, mobil bensin dan juga hibrida akan tetap menjadi pilihan masyarakat untuk bepergian kemanapun tanpa kecemasan akan jarak tempuh.

Sedangkan buat pabrikan yang all in di kendaraan listrik, masa depan terbaik akan berpihak kepada mereka jika ekosistem kendaraan listrik benar-benar sudah kuat. Darimana mengetahui ekosistem kendaraan listrik sudah kuat? Jika mobil listrik sudah banyak terlihat di jalan-jalan tol antar kota dan provinsi. Dan untuk membangun ekosistem kendaraan listrik yang kuat, sepertinya masih perlu waktu yang cukup lama.

Jadi untuk pabrikan mobil bensin sekaligus hibrida, jangan terlalu khawatir. Sedangkan untuk pabrikan yang all in di mobil listrik, bersabarlah. Tidak ada disrupsi cepat di industri ini.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ade Febransyah
Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...