“Rumah” Sri Mulyani
Melihat rumahnya dijarah, saya membayangkan betapa terlukanya Sri Mulyani. Rumah di Jl Mandar, Bintaro Sektor 3A, Tangerang Selatan, itu tak hanya menyimpan harta-bendanya yang dirusak, tapi juga segudang memori indahnya bersama keluarga yang kini koyak.
Rumah itu dibelinya jauh sebelum ia masuk ke jajaran pemerintahan. Saat masih menjadi Kepala LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1998-2001) dan salah satu pengamat ekonomi terkemuka.
Bagi sejumlah wartawan ekonomi di akhir 1990-an, rumah ini pun menyisakan memori. Sri kerap mengundang untuk bertandang. Sembari menghidangkan masakannya, ia mengajari para jurnalis bagaimana memahami krisis ekonomi 1998 yang meremukkan Indonesia.
Ketika puncak krisis meletup pada Mei 1998, Sri bahkan di tengah pusaran kemelut. Ia hadir di gedung MPR/DPR atas undangan mahasiswa. Ia bahkan sempat tidak bisa pulang ke rumah pertamanya di Ciledug, Tangerang, selepas memberikan paparan di Markas Besar ABRI, Cilangkap, Jakarta Timur, atas undangan Kassospol ABRI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono.
Jalan yang mulai gelap menuju rumahnya di Ciledug sudah dipenuhi massa. Aksi pembakaran terjadi di mana-mana. Setelah menepi di sebuah rumah, baru selepas subuh ia bisa kembali melanjutkan perjalanan pulang. Dan kini, rumah keduanya di Bintaro yang justru dijarah massa pada Minggu dini hari, 31 Agustus 2025.
Melihat kronologi kejadiannya, diduga aksi brutal ini terorganisir. Lebih dari seribu orang tiba-tiba datang dalam dua gelombang, pukul 01.00 dinihari dan dua jam setelahnya. Seorang saksi mengatakan, begitu kembang api dibunyikan, massa merangsek masuk kompleks. Lebih dari 20 aparat TNI tak kuasa menghadang.
Saat tanah mulai terang, tumpukan barang jarahan yang belum sempat diangkut, menyisakan luka menganga. Sebuah foto ilustrasi Sri Mulyani ikut terimpit di bawah tumpukan. Foto yang remuk itu tak lain apresiasi dari Katadata kepadanya, sebagai salah seorang tokoh yang berjasa dalam penanganan pandemi Covid-19.
Terlepas dari pro-kontra atas kebijakannya sebagai Menteri Keuangan, amuk massa bisa jadi turut dipicu oleh masifnya disinformasi yang menyebar. Potongan video pernyataannya “Guru itu Beban Negara” jelas hoax yang sengaja diviralkan. Sri pun sudah menyangkalnya.
Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga pendidik, rasanya tidak mungkin Sri merendahkan profesi guru. Kedua orang tuanya, Prof. Dr. Satmoko dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko, adalah pendiri IKIP Semarang, yang kini dikenal dengan nama Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Informasi sesat lainnya yang ditebar, yakni soal rumah Sri di Maryland, Amerika Serikat. Bangunan itu faktanya sudah dibelinya 15 tahun silam, beberapa hari sebelum ia resmi bekerja sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia pada 1 Juni 2010. Sri kala itu undur diri dari Kementerian Keuangan, setelah “di-bully” para politisi Senayan dalam kasus Bank Century.
Rumah itu dibelinya dengan kredit dari bank, berdasarkan surat keterangan kerja dan gajinya dari Bank Dunia. Dengan jabatan Managing Director, yang belakangan merangkap sebagai Chief Operating Officer atau pejabat tertinggi kedua di Bank Dunia, Sri tentu memiliki kemampuan untuk membelinya. Apalagi jabatan itu diembannya selama enam tahun.
Karena itu, sungguh menyesatkan tudingan bahwa seolah-olah rumah Sri di AS itu hasil dari korupsi. Masalahnya, di era post-truth ini, publik kerap langsung percaya pada cerita yang disebarkan. Kesesatan yang terus-menerus digaungkan, seolah menjadi sebuah kebenaran.
Dalam soal integritas, Sri juga punya rekam-jejak yang panjang. Bahkan, dalam buku biografinya “No Limits” yang saya tuliskan, ia bercerita bagaimana upaya menjaga integritas itu dilakukannya sejak hari pertama menjabat Menteri Keuangan.
Dipanggilnya Inspektur Jenderal Kemenkeu ke ruangannya untuk menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang Menteri Keuangan. Dalam keseharian, Sri pun tak pernah terlihat memakai, apalagi memamerkan, barang-barang mewah dan branded seperti dilakukan banyak pejabat.
Dalam hal jabatannya sebagai Menkeu, Sri Mulyani tak juga mengejarnya. Ia kembali masuk kabinet pada Juli 2016 dan legowo meninggalkan jabatan prestisiusnya di Bank Dunia, karena dibujuk oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Padahal, masih tersisa tiga tahun baginya untuk hidup nyaman, terhormat dan bekerja dengan gaji besar di Bank Dunia.
Ia tak kuasa menolak tugas negara yang memanggilnya pulang. Seperti pernah diungkapkan oleh Rocky Gerung di malam perpisahannya di hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada 18 Mei 2010, di tengah riuh kasus Century, “Ini bukanlah forum perpisahan. Tapi untuk memastikan ia kembali.”
Setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024, tanpa disangka Sri kembali masuk kabinet Presiden Prabowo. Kabarnya, kali ini pun karena panggilan negara yang disampaikan oleh tiga mantan Presiden: SBY, Megawati, dan Jokowi atas permintaan Prabowo. Pertimbangannya, pemerintah baru ingin langsung berlari cepat.
Tapi rupanya, ia dihadapkan pada berbagai keputusan sulit. Di satu sisi, sebagai pembantu Presiden, harus mengakomodasi dengan cepat berbagai visi besar Presiden Prabowo. Di sisi lain, sebagai bendahara negara, ia dihadapkan pada ketersediaan anggaran negara yang terbatas dan ekonomi nasional yang belum pulih benar pasca-pandemi.
Sejumlah kebijakannya menuai pro-kontra. Tak mudah memang meramu kebijakan publik yang ideal. Sebab, seperti pernah disampaikan oleh ekonom senior Chatib Basri, pengambilan kebijakan kerap dihadapkan pada kondisi tak ideal, yang disebutnya sebagai “Imperfect World”.
Berbagai kendala institusi dan politik menjadi tantangan yang tak terelakkan. Akibatnya, kebijakan publik seringkali tak punya pilihan pada situasi first best. Harus berkompromi dengan realitas, yang membuatnya tidak sempurna. Dalam konteks ini, sah-sah saja muncul dialektika di tengah masyarakat, demi terciptanya solusi yang lebih adil bagi publik.
Spekulasi yang sempat beredar, Sri Mulyani akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan. Terlepas dari benar-tidaknya desas-desus itu, ia rasanya tak punya beban jika harus lengser.
Sudah 14 tahun lamanya ia menjabat Menteri Keuangan di bawah tiga Presiden: SBY, Jokowi, dan Prabowo. Hanya terpaut setahun dari seniornya, Ali Wardhana, sebagai Menteri Keuangan terlama dalam sejarah Indonesia.
Berbagai krisis pun sudah dilalui dan ditanganinya. Berkali-kali pula ia luka. Rumahnya kali ini dijarah. Tapi saya percaya, Indonesia akan tetap menjadi “rumahnya”. Seperti pesan yang selalu disampaikannya, “Jangan pernah lelah mencintai Indonesia.”
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
