Untung-Rugi Kebijakan Satu HET Beras Reguler
Pemerintah, melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) akan mengeluarkan kebijakan satu Harga Eceran Tertinggi (HET) beras reguler. Kebijakan ini diambil setelah ramai pemberitaan beras oplosan, yakni pencampuran beras premium dengan beras kualitas rendah. Beras oplosan tersebut kemudian dijual dengan harga beras premium.
Dengan kebijakan ini, kategori beras medium dan premium akan dihapus. Nantinya di pasar, hanya akan ada satu HET beras reguler. Cara ini dinilai ampuh untuk meniadakan beras oplosan.
Akan tetapi, kebijakan satu HET beras reguler tampaknya bukan solusi substansial untuk mengatasi persoalan beras oplosan. Kebijakan ini justru berpotensi mengubur persoalan beras oplosan dan menimbulkan persoalan lain yang lebih kompleks.
Bukan Solusi Substansi
Kebijakan ini dapat menjadi celah untuk menghindar dari persoalan hukum dan memunculkan persoalan baru. Pemberlakuan satu HET beras reguler hanya akan menjadi jembatan agar publik melupakan persoalan beras oplosan. Ketika publik sudah lupa, persoalan hukum tidak akan berlanjut dan dimakan oleh waktu.
Pada akhirnya, pengungkapan kasus beras oplosan tidak memiliki konsekuensi apa pun. Padahal publik masih ingat semangat presiden yang ingin persoalan ini diusut tuntas. Sudah seharusnya kasus tersebut diusut dan diberikan konsekuensi sesuai aturan yang berlaku.
Pemerintah semestinya melihat akar masalah beras oplosan. Pengusaha ingin untung besar dengan modal minim. Keinginan tersebut terbentur aturan kualitas beras premium yang perlu modal besar dan kadang langka di pasar.
Pengusaha pun berinisiatif mencampur beras premium dengan medium, atau bahkan beras tidak berkelas, tetapi diberikan label premium dan dijual dengan harga premium.
Bagaimana Agar Beras Oplosan tidak Terjadi?
Hal mendasar adalah pemerintah mesti berkomitmen untuk menjalankan aturan, bukan dengan mudahnya mengubah aturan yang sudah ada. Pemberlakuan aturan memerlukan tindakan nyata di lapangan.
Salah satunya adalah membuat mekanisme kontrol terhadap perberasan. Mekanisme kontrol ini akan secara dini mendeteksi setiap pelanggaran yang terjadi di lapangan seperti beras oplosan atau pelanggaran lain.
Deteksi dini akan mempercepat penanganan dan mencegah pelanggaran lanjutan. Sebaliknya tanpa mekanisme kontrol yang ketat, pelanggaran seperti beras oplosan akan mudah terjadi. Tanpa deteksi dini pelanggaran yang didiamkan akan semakin membesar dan menimbulkan pelanggaran yang lain.
Mekanisme kontrol “kualitas beras” dapat dilakukan pemerintah melalui investigasi mendadak secara acak di tempat-tempat penjualan beras, terutama beras premium. Investigasi ini dapat dilakukan sekali atau dua kali dalam kurun waktu satu tahun.
Mekanisme kontrol juga dapat memanfaatkan toko selaku penjual beras. Pada awal kerja sama penjualan antara produsen beras dengan toko, pihak toko harus memastikan kualitas beras yang dijual sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Toko pun dapat diberikan kewajiban untuk menguji sampel beras yang masuk secara reguler seperti sekali dalam setahun dan melaporkannya kepada pemerintah.
Hal yang terjadi selama ini adalah kontrol mutu beras di pasaran sangat minim, bahkan tidak ada. Ada kemungkinan persoalan ini sudah terjadi lama, dan menjadi ramai setelah terdeteksi adanya pelanggaran.
Namun, sekali lagi deteksi pelanggaran yang terlambat menunjukkan pemerintah menjadi bagian yang perlu bertanggung jawab terhadap beras oplosan.
Mekanisme kontrol yang terukur mesti disertai sanksi bagi para pelanggar. Sanksi teguran hingga pemutusan izin usaha menjadi urgen untuk dilakukan. Kondisi ini akan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Pengusaha tidak akan berani untuk melanggar aturan dan mereka akan berusaha menjaga mutu beras yang didistribusikan.
Kontrol masyarakat selaku konsumen akhir juga menjadi bagian penting dalam menerapkan aturan. Pemerintah dapat menerima masukan dari masyarakat secara online. Berbagai masukan yang diterima dari masyarakat dapat menjadi data awal untuk
Jangan sampai terjadi lagi kondisi seperti sekarang ini, kontrol tidak dilakukan. Begitu dilakukan pemeriksaan banyak pengusaha terpaksa berhadapan pengadilan karena melanggar aturan. Bagaimanapun pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usaha yang nyaman dan menghilangkan “jebakan” yang tercipta karena tidak ada mekanisme kontrol terhadap penerapan kebijakan.
Bisa Kontraproduktif
Pemberlakuan kebijakan “satu HET beras reguler” justru bisa menambah persoalan lain dalam perberasan nasional. Satu HET beras reguler dapat memicu beras yang beredar menjadi kurang berkualitas. Akan banyak beras kurang bermutu beredar di lapangan, karena perbedaan mutu tidak berpengaruh terhadap HET.
Keadaan ini akan menciptakan variasi mutu beras antara wilayah di Indonesia juga antarperusahaan pengepakan beras. Terdapat variasi mutu beras dengan harga yang sama sesuai dengan HET. Produsen tidak perlu lagi berupaya menjaga mutu beras mereka dalam kondisi terbaik “premium” karena tidak akan berpengaruh terhadap harga beras yang mereka jual.
Di sisi lain kebijakan ini akan memunculkan “beras kategori khusus” yang sebenarnya bisa diasosiasikan sebagai pengganti “beras premium” yang berlaku saat ini. Tanpa mekanisme kontrol yang ketat, beras kategori khusus pun nantinya dapat dioplos dengan beras medium dan dijual dengan harga beras kategori khusus.
Artinya kebijakan pemerintah satu HET beras reguler hanya akan melestarikan budaya beras oplosan yang terjadi selama ini. Kebijakan ini tidak mengatasi masalah tetapi hanya akan meredakan masalah dalam waktu pendek. Akan tetapi kebijakan ini hanya akan melanggengkan masalah dalam waktu panjang.
Penutup
Persoalan beras oplosan perlu di tangan substansial sehingga dunia usaha tetap jalan bahkan lebih baik dan tidak akan terjadi lagi dimasa depan.
Persoalan ini membutuhkan penanganan yang bukan sekadar mengotak atik aturan di atas meja. Namun, bagaimana seluruh elemen bisa berperan guna mencegah agar beras oplosan tidak terjadi lagi.
Kontrol mutu beras sudah semestinya dilakukan secara rutin secara random, termasuk kontrol dari toko yang semestinya memastikan bahwa beras yang mereka jual sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
