‘Sharenting’, Saat Orang Tua Berlebihan Posting Anak di Medsos
Di tengah derasnya arus “konten keluarga” yang membanjiri linimasa media sosial, muncul fenomena yang kini ramai diperbincangkan tentang sharenting yaitu kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau kisah tentang anak di media sosial. Apa yang tampak sebagai wujud cinta dan kebanggaan ternyata menyimpan risiko yang tak selalu disadari, mulai dari privasi yang terampas hingga jejak digital yang melekat selamanya.
Apa Itu Sharenting?
Istilah sharenting lahir dari gabungan kata sharing dan parenting untuk menggambarkan praktik berbagi kisah kehidupan anak secara daring. Penelitian medis di jurnal Frontiers in Psychology mencatat bahwa orang tua kini menjadi salah satu produsen data digital terbesar tentang anak-anaknya sendiri.
Di Indonesia, tren ini mulai meluas sejak pertumbuhan pesat media sosial pada pertengahan 2010-an. Album foto keluarga yang dulu tersimpan di lemari beralih menjadi unggahan di Instagram, Facebook, hingga TikTok. Tujuannya terlihat sederhana: mendokumentasikan pertumbuhan buah hati dan berbagi kebahagiaan. Namun, batas antara berbagi yang sehat dan berlebihan ternyata amat tipis.
Dorongan di Balik Sharenting
Ada banyak alasan mengapa orang tua tergoda untuk terus mengunggah konten tentang anak. Salah satunya adalah dorongan untuk mendapat pengakuan sosial. Dalam budaya digital yang diwarnai likes dan komentar, setiap unggahan tentang keberhasilan atau kelucuan anak kerap dianggap sebagai cermin keberhasilan orang tua. Studi komunikasi keluarga di Indonesia menunjukkan, tidak sedikit orang tua yang merasa harus terus berbagi momen agar dianggap aktif dan bahagia sebagai keluarga.
Motif lain adalah menjadikan media sosial sebagai arsip digital keluarga. Alih-alih menyimpan foto di album, orang tua menganggap platform daring sebagai tempat penyimpanan kenangan yang mudah diakses kapan saja. Dalam beberapa kasus, orang tua juga terdorong oleh tren atau tekanan norma media sosial; tidak membagikan momen anak justru dianggap aneh atau tertinggal zaman.
Yang kerap luput disadari, banyak orang tua belum benar-benar memahami konsekuensi jangka panjang jejak digital anak. Data pribadi yang tampak sepele seperti tanggal lahir, nama sekolah, atau lokasi rumah dapat menjadi celah keamanan jika diakses orang yang salah. Di sinilah sharenting berpotensi menjadi pedang bermata dua.
Risiko dan Dampak: Lebih dari Sekadar “Cute Photo”
Foto anak yang lucu memang kerap memancing tawa dan tanda hati. Namun di balik itu, tersimpan risiko yang tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah jejak digital permanen. Foto bayi atau kisah lucu masa kecil yang diunggah hari ini akan tetap tersimpan di server dan mesin pencari bertahun-tahun kemudian. Ketika dewasa, anak bisa merasa tidak punya kendali atas identitas daringnya sendiri.
Risiko berikutnya adalah soal privasi dan keamanan. Informasi yang dibagikan secara terbuka dapat dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab. Laporan keamanan siber menyoroti kasus digital kidnapping, yakni pencurian foto anak untuk disalahgunakan oleh akun lain. Ada pula bahaya cyber-bullying: kisah atau gambar yang dulu dianggap lucu bisa menjadi bahan olok-olok ketika anak beranjak remaja.
Konsekuensi psikologisnya tidak kalah serius. Ketika anak menyadari bahwa banyak hal tentang dirinya telah dibagikan tanpa izin, rasa percaya kepada orang tua bisa terkikis. Hubungan yang seharusnya dilandasi perlindungan justru berubah menjadi ketidaknyamanan.
Masalah lain muncul dari sisi komentar publik. Penelitian terbaru menunjukkan konten anak di platform video sering mendapat komentar yang menilai penampilan fisik, bahkan pada anak yang masih balita. Fenomena ini memperlihatkan bahwa begitu konten pribadi masuk ke ruang publik, kontrol terhadapnya praktis lepas dari genggaman orang tua.
Dimensi Kultural dan Etika di Indonesia
Fenomena sharenting di Indonesia tak bisa dilepaskan dari nilai budaya yang menjunjung keterbukaan dan keharmonisan keluarga. Studi etika komunikasi keluarga menyebutkan bahwa nilai harmoni, unggah-ungguh, dan tepo seliro mendorong orang tua untuk menampilkan citra keluarga yang rukun dan bahagia di mata orang lain. Di dunia nyata, berbagi foto keluarga dianggap sebagai bentuk keramahan; namun di dunia maya, norma ini menjadi dilema.
Dalam teori Communication Privacy Management, informasi pribadi seharusnya memiliki batas yang dinegosiasikan bersama pemiliknya. Pada sharenting, anak sering kali tidak diberi kesempatan menjadi pemilik bersama atas cerita atau gambarnya sendiri. Ketika batas ini dilanggar, timbul yang disebut “boundary turbulence” konflik akibat privasi yang tercederai. Inilah tantangan etis yang perlu disadari orang tua: bagaimana menyeimbangkan nilai budaya berbagi dengan hak anak atas privasi.
Jalan Tengah: Bijak Berbagi Tanpa Merampas Hak Anak
Mengkritisi sharenting bukan berarti melarang orang tua berbagi kebahagiaan. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dan etika untuk menahan diri. Salah satu prinsip sederhana yang bisa diterapkan ialah memilih untuk tidak mengunggah informasi yang bersifat sensitif, seperti lokasi rumah, detail sekolah, kondisi kesehatan, atau foto anak dalam situasi rentan.
Pengaturan privasi media sosial juga perlu dimanfaatkan maksimal. Membatasi audiens unggahan, menyimpan momen penting di album pribadi, atau menghapus unggahan lama setelah beberapa tahun adalah langkah-langkah kecil yang memberi dampak besar bagi perlindungan anak.
Ketika anak mulai cukup besar untuk memahami, orang tua dapat mengajak mereka berdiskusi sebelum mempublikasikan foto atau cerita. Persetujuan anak bukan hanya soal etika, melainkan juga cara menanamkan rasa hormat terhadap hak mereka atas tubuh dan citra diri sendiri.
Pendidikan literasi digital bagi orang tua dan anak menjadi kebutuhan mendesak. Program parenting di sekolah maupun komunitas dapat memasukkan modul khusus tentang risiko dan tata cara berbagi konten anak di dunia maya.
Tak kalah penting, pemerintah melalui Kementerian PPPA, KPAI, dan pihak legislatif perlu merumuskan pedoman atau aturan khusus yang melindungi hak privasi anak di era digital. Saat ini, UU Perlindungan Anak dan UU Data Pribadi belum secara spesifik mengatur sharenting. Regulasi yang jelas akan menjadi rambu bagi orang tua maupun influencer keluarga untuk tidak melampaui batas.
Penutup: Antara Cinta dan Privasi
Sharenting pada dasarnya lahir dari rasa cinta dan keinginan berbagi kebahagiaan. Namun cinta yang tidak disertai kebijaksanaan bisa berubah menjadi beban bagi anak di kemudian hari. Kita perlu mengubah cara pandang: bukannya semakin banyak berbagi berarti semakin sayang, melainkan semakin bijak kita menahan diri, semakin besar perlindungan yang kita berikan.
Setiap unggahan tentang anak adalah potongan cerita hidup yang akan mereka warisi di dunia maya. Mari kita pastikan warisan itu bukan berupa jejak yang membuat mereka malu atau merasa tidak aman. Cinta orang tua seharusnya menghadirkan rasa nyaman dan ruang privat, bukan sekadar deretan foto viral di linimasa.
Dengan menempatkan kepentingan terbaik anak di atas segalanya, kita dapat menemukan keseimbangan antara merayakan momen berharga keluarga dan menjaga hak anak atas privasi sebuah keseimbangan yang layak diperjuangkan di era serba digital pada saat ini.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
