Indonesia Darurat Pengusaha

Wijayanto Samirin
Oleh Wijayanto Samirin
24 November 2025, 06:05
Wijayanto Samirin
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

“Menjadi orang baik dan bersih di Indonesia sangat sulit,” kata seorang teman yang juga konglomerat energi pada suatu sore. Seorang pengusaha properti menambahkan, “Sudah regulasinya rumit, menjalankannya pun dipersulit. Kita selalu digiring ke ranah abu-abu jika ingin bisnis tetap jalan.” Teman yang lain pun berujar, “Pengusaha tidak perlu dikasih banyak fasilitas. Asal jangan diganggu saja sudah cukup”. Bahkan seorang pengusaha kondang yang fotonya secara reguler muncul di berbagai media berkata terus terang, “Kalau bisa, saya akan tutup pabrik dan jadi importir barang Cina saja. Di situ ada kepastian dan margin yang jelas.”

Keluhan dan kritik tersebut sebenarnya bukan hal baru. Namun mendengarnya secara langsung, tanpa sensor dan tanpa tedeng aling-aling dari para pelaku usaha, membuat optimisme berubah menjadi pesimisme akut. Yang lebih memprihatinkan, bukan hanya pengusaha besar yang menjadi korban, pedagang kecil di pinggir jalan pun menghadapi tekanan yang tak kalah berat—pemerasan oleh preman berseragam telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

Kita semua memahami bahwa iklim berusaha di Indonesia sedang terpuruk. Yang kita tidak bisa pahami adalah mengapa situasi justru terus memburuk, sementara di ruang publik para pejabat menyampaikan narasi bahwa semuanya baik-baik saja. Ada jurang yang kian lebar antara cerita di podium para petinggi dan kenyataan di lapangan.

Lapangan Bola yang Becek

Dalam sepak bola, tidak ada pemain yang suka bermain di lapangan becek. Bukan hanya kotor dan berisiko cedera, kondisi itu membuat permainan tidak berkembang dan menghilangkan keasyikan yang seharusnya hadir dalam pertandingan.

Nasib para pengusaha di Indonesia kurang lebih serupa. Mereka ingin bermain di lapangan yang bersih—dengan regulasi yang jelas, birokrasi yang sehat, dan kepastian hukum—namun yang tersedia justru lapangan becek berlumpur. Meskipun sangat menantang karena dominasi praktik suap, premanisme, dan ketidakpastian regulasi, para pengusaha tetap harus bertahan karena dunia usaha adalah profesi, panggilan, dan jalan hidup mereka.

Dengan peraturan yang tumpang-tindih, birokrasi yang rawan korupsi, serta kepemimpinan yang kerap abai pada realitas lapangan, hampir mustahil ada pengusaha dapat berbisnis dengan cara yang sepenuhnya bersih. Seperti halnya pemain bola mustahil tetap bersih jika bertanding di lapangan becek.

Entrepreneur Drain

Terlepas dari peran instrumental pengusaha—pencipta lapangan kerja, pembayar pajak, motor ekspor, dan pendorong inovasi—ekosistem sosial-ekonomi-politik kita belum memperlakukan mereka secara bersahabat. Dalam berbagai kasus, pengusaha seringkali dijadikan kambing hitam: atas kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, pemutusan hubungan kerja, stagnasi penerimaan negara, tingginya tingkat korupsi, hingga kegagalan mengelola kekayaan alam.

Ketika tekanan terus meningkat, respons alami dari kelompok yang tidak menyukai konflik adalah menghindar. Dalam konteks dunia usaha, strategi tersebut sudah terlihat. Tanda-tandanya sangat kentara: Banyak pengusaha kini lebih senang tinggal di Singapura, Malaysia, Hong Kong, atau Australia. Lalu, anak-anak mereka telah menjadi permanent resident di sana. Kemudian, mayoritas cucu-cucu mereka yang tidak mempunyai ikatan batin dengan Indonesia sudah menjadi WNA.

Ketika sulit mencari alasan untuk tetap bertahan, pilihan paling logis adalah berpindah ke negara yang memberikan kenyamanan, keadilan, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondisif. Apalagi paspor negara-negara tersebut menjanjikan bebas visa hingga ke 194 negara. Ini memudahkan mobilitas global yang menjadi bagian dari aktivitas mereka. 

Jika fenomena entrepreneur drain benar-benar terjadi, dampaknya akan struktural, sistemik dan cenderung bersifat permanen. Ini akan membawa efek beruntun: capital drain, brain drain, job drain, tax drain, hingga competitiveness drain.

Bagaimana dengan nasib lapangan bola yang ditinggalkan? Ia akhirnya akan diisi oleh pemain baru atau oleh pemain lama yang tetap bertahan bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan politik dan kekuatan jaringan. Mereka mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap praktik-praktik buruk yang justru memperberat kondisi lapangan itu sendiri.

Segera Bertindak, Belum Terlambat

Indonesia memasuki titik yang menentukan. Upaya memperbaiki keadaan tidak bisa lagi diulur dan ditunda. Mempidanakan sebanyak mungkin pelaku bukanlah solusi jika tujuannya adalah untuk memperbaiki Indonesia, bukan sekadar menghukum secara membabi buta dan memenuhi halaman depan media dengan berita bombastis.

Banyak dari para pengusaha itu sesungguhnya hanyalah korban dari sistem yang buruk. Selama lapangan tetap becek dan berlumpur, siapa pun yang turun bermain akan menghadapi risiko yang sama. Dan kita akan terjebak dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan. 

Langkah yang dibutuhkan adalah menghilangkan sumber masalah, bukan hanya menangani gejala. Presiden Prabowo dan pemerintahannya harus menjadikan upaya memperbaiki ekosistem bisnis sebagai prioritas nasional. Diperlukan kemauan politik dan sapu yang bersih untuk membereskan lapangan yang kotor. Selain melakukan penyederhanaan regulasi, membersihkan birokrasi dan aparat penegakan hukum dari oknum korup adalah syarat mutlak agar iklim usaha kembali sehat. Secara paralel, upaya merangkul para pengusaha pun harus terus dilakukan.

Indonesia pernah menghadapi masalah besar—Krisis Keuangan 1998, Subprime Mortgage 2010, dan Covid 2019. Dengan kerja keras dan komitmen penuh kita berhasil melewatinya. Kali ini, jika resep yang sama diterapkan maka koreksi besar akan dapat dijalankan dan Indonesia bisa terhindar dari fenomena darurat pengusaha. 

Masih ada ruang untuk memperbaiki keadaan—sebelum para talent dan entrepreneur terbaik benar-benar pergi dan tidak akan kembali lagi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Wijayanto Samirin
Wijayanto Samirin
Ekonom Universitas Paramadina

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...