Bank Dunia, Revolusi AI dan Masa Depan Pekerjaan di ASEAN
Dunia sedang menghadapi perubahan besar yang mungkin setara dengan revolusi industri pada masa lalu. Kali ini, pemicunya bukan mesin uap atau listrik, melainkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)—teknologi yang tidak hanya menggantikan tenaga manusia, tetapi juga mengubah cara berpikir, bekerja, dan berinteraksi.
Topik ini menjadi sorotan utama dalam Executive Dialogue Session pada 56th Joint Governors’ Meeting of the World Bank and IMF South-East Asia Voting Group (SEAVG) di Washington D.C. pada Oktober 2025. Dengan tema “The Role of Artificial Intelligence in Shaping Future Jobs: Are We Ready?”, pertemuan ini mengajak dunia, termasuk Asia Tenggara, untuk menilai sejauh mana kita siap menghadapi perubahan besar yang dibawa AI terhadap masa depan pekerjaan.
Dalam paparannya, Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, menekankan bahwa AI berpotensi menambah Produk Domestik Bruto (PDB) dunia hingga 7% dalam sepuluh tahun ke depan. Namun, dampaknya tidak akan sama di semua negara. Negara dengan infrastruktur digital dan kualitas pendidikan tinggi akan diuntungkan, sementara negara yang belum siap bisa semakin tertinggal.
Inilah tantangan besar era ini: AI bisa menjadi kekuatan yang mempercepat kemajuan, tetapi juga bisa memperlebar kesenjangan. Pertanyaannya bukan sekadar apakah teknologi ini akan bermanfaat, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya agar tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Bank Dunia di Era Perubahan
Perkembangan AI datang pada saat Bank Dunia sendiri sedang bertransformasi. Setelah lebih dari delapan dekade berperan sebagai lembaga pembangunan global, Bank Dunia kini mencoba menyesuaikan diri dengan zaman yang serba digital dan cepat berubah. Saat ini, Bank Dunia berupaya mengarahkan diri dari lembaga yang berfokus pada pembiayaan proyek menjadi mitra transformasi digital. Lembaga ini tidak hanya berbicara tentang pembangunan fisik, tetapi juga tentang kesiapan digital, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas manusia.
Namun, di balik langkah reformasi tersebut, tantangannya tetap besar. Negara berkembang sering kali merasa bahwa suara mereka belum sepenuhnya terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Reformasi misi Bank Dunia perlu diikuti dengan reformasi tata kelola agar manfaat digitalisasi dan inovasi dapat dirasakan secara lebih adil oleh semua anggota.
AI, antara Peluang dan Tantangan Baru
AI memang membuka peluang besar bagi dunia kerja. Laporan Bank Dunia (2025) menunjukkan bahwa di negara berkembang, sebagian besar pekerjaan tidak akan hilang karena AI, melainkan akan berubah bentuk. Teknologi ini dapat membantu meningkatkan efisiensi, memperluas akses pendidikan, memperkuat layanan publik, dan menciptakan jenis pekerjaan baru yang lebih produktif.
Namun, potensi ini tidak datang tanpa risiko. Sebagian besar data dan sumber daya AI masih terkonsentrasi di negara maju, sementara negara berkembang masih berjuang dengan keterbatasan infrastruktur digital, literasi teknologi, dan pendanaan riset. Akibatnya, muncul kesenjangan baru, bukan lagi antara negara kaya dan miskin dalam hal pendapatan, tetapi dalam hal kemampuan menguasai teknologi. Tanpa upaya bersama, AI bisa menciptakan dua tipe dunia pekerjaan, yaitu satu dunia dengan tenaga kerja berkeahlian tinggi yang produktif dan sejahtera, dan dunia lainnya yang terjebak pada pekerjaan berupah rendah tanpa akses terhadap teknologi.
AI yang Berpihak pada Manusia
Dalam sesi intervensi di Executive Dialogue Session SEAVG, Indonesia menyampaikan pandangan yang menegaskan arah kebijakan Indonesia, yaitu bahwa pertanyaan tentang AI adalah bukan apakah kita siap menghadapi AI, tetapi bagaimana kita membuat AI bekerja untuk kita, untuk rakyat kita dan tujuan pembangunan bersama.
Pandangan tersebut menggambarkan pendekatan Indonesia yang berorientasi pada manusia (human-centered approach). Teknologi, betapapun canggihnya, harus menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan menggantikannya. Indonesia menyoroti tiga pilar penting untuk memastikan AI dapat digunakan secara inklusif, yaitu: (1) Pemerataan infrastruktur digital, agar semua wilayah dan kelompok masyarakat dapat terhubung dan mendapat manfaat dari teknologi; (2) Pengembangan sumber daya manusia, melalui pendidikan, pelatihan ulang (reskilling), dan peningkatan keterampilan digital; dan (3) Kolaborasi lintas sektor dan lintas negara, untuk memastikan pengelolaan AI dilakukan secara etis, adil, dan transparan. Pendekatan ini tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga relevan bagi seluruh kawasan ASEAN yang tengah berjuang menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan pembangunan manusia.
Dalam konteks realitas dunia kerja, beberapa pandangan mengatakan bahwa AI akan mengubah hampir semua sektor pekerjaan, tetapi dampaknya tidak seragam. Pekerjaan yang bersifat administratif dan berulang cenderung bisa digantikan, sementara pekerjaan yang membutuhkan empati, kreativitas, dan interaksi sosial akan tetap penting. Dunia kerja ke depan menuntut keterampilan hibrida, yaitu keterampilan yang mengkombinasikan antara kemampuan teknis (seperti analisis data dan pemrograman) dengan kemampuan sosial (seperti komunikasi dan berpikir kritis).
Negara yang berinvestasi lebih besar dalam pendidikan digital diperkirakan akan memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dalam 10–15 tahun mendatang. Dalam konteks ini, AI bukan sekadar tantangan teknologi, tetapi juga tantangan sistem pendidikan. Negara-negara ASEAN perlu mempersiapkan generasi muda yang mampu bersaing dalam ekonomi digital global tanpa kehilangan jati diri dan nilai kemanusiaannya.
ASEAN dan Kolaborasi Digital
Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi digital dunia. Dengan populasi lebih dari 650 juta jiwa dan ekonomi yang terus berkembang, kawasan ini dapat menjadi pasar sekaligus pusat inovasi. Namun, kesiapan tiap negara masih berbeda. Singapura dan Malaysia telah memiliki strategi AI nasional yang matang, sedangkan negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina masih memperkuat fondasi digital dan kapasitas tenaga kerjanya.
Dalam situasi ini, kerja sama regional menjadi sangat penting. Usulan pembentukan Knowledge Platform di kawasan ASEAN, yang berfungsi sebagai wadah berbagi pengetahuan dan kolaborasi di bidang digitalisasi, pembiayaan hijau, dan inovasi keuangan publik, menjadi ide yang layak dipertimbangkan. Platform ini diharapkan dapat membantu negara-negara ASEAN belajar satu sama lain, membangun kapasitas bersama, dan menghindari kesenjangan yang terlalu lebar di dalam kawasan. AI tidak bisa dikelola secara individual oleh satu negara. Diperlukan pendekatan kolektif, baik dalam regulasi, infrastruktur, maupun etika penggunaan teknologi.
Peran Bank Dunia, Menjembatani Inovasi dan Keadilan
Sebagai lembaga pembangunan global, Bank Dunia memiliki tanggung jawab besar untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi tantangan digital. Melalui kerangka kerja Leveraging AI for Development, Bank Dunia menekankan tiga aspek utama: (a) Efisiensi layanan publik, seperti penerapan AI untuk mempercepat distribusi bantuan sosial dan meningkatkan transparansi anggaran; (b) Keadilan akses, agar manfaat AI tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, tetapi menjangkau masyarakat rentan dan daerah tertinggal; dan (c) Etika dan tata kelola yang kuat, termasuk perlindungan data pribadi, transparansi algoritma, dan akuntabilitas penggunaan teknologi.
Namun, keberhasilan langkah ini juga bergantung pada kemauan Bank Dunia untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi negara berkembang dalam proses perumusan kebijakan digital. Reformasi misi seharusnya berjalan beriringan dengan reformasi representasi, agar semangat inklusivitas tidak berhenti di tataran konsep.
AI bukan hanya soal efisiensi atau produktivitas, tetapi juga tentang bagaimana teknologi bisa memperluas kesempatan dan memperkuat keadilan sosial. Indonesia setidaknya sudah mulai menggunakan AI untuk berbagai tujuan pembangunan, mulai dari pertanian cerdas (smart farming), analisis kebijakan fiskal berbasis data, hingga pelayanan publik digital. Namun, agar manfaatnya benar-benar terasa, teknologi ini perlu dikelola secara bertanggung jawab. Pemerintah dan lembaga internasional perlu bekerja sama memastikan AI tidak memperlebar kesenjangan sosial, tetapi justru menjadi alat untuk menguranginya. AI seharusnya memperkuat, bukan menggantikan, kapasitas manusia. AI harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan
Revolusi AI memberi dunia peluang besar untuk menciptakan pertumbuhan yang lebih cepat, inovatif, dan efisien. Tetapi kemajuan teknologi juga membawa tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kemajuan itu tidak menyingkirkan mereka yang paling rentan. Bank Dunia kini memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa reformasi misinya bukan hanya soal modernisasi teknologi, tetapi juga tentang memperkuat keadilan dan inklusivitas.
Sementara itu, bagi ASEAN dan Indonesia, AI adalah peluang untuk melangkah lebih jauh, bukan hanya menjadi pengguna teknologi global, tetapi juga pembentuk arah kebijakan digital dunia. Jika dikelola dengan bijak, AI bisa menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih adil, hijau, dan berkelanjutan. Namun jika diabaikan, teknologi ini bisa memperlebar jarak antara mereka yang “siap” dan yang tertinggal. Tantangan terbesar bukanlah bagaimana menghadapi AI, tetapi bagaimana memastikan bahwa AI bekerja untuk manusia, bukan manusia yang bekerja untuk AI.
Tulisan ini merupakan opini pribadi, dan tidak mencerminkan opini atau pendapat institusi penulis bekerja.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
