Bencana Ekologis dan Kegagalan Negara
Bencana di Sumatra yang dipicu siklon tropis Senyar, berikut kekacauan yang mengikutinya, menunjukkan kegagalan negara atau penyelenggara negara. Terlebih, Senyar (berpusat di Selat Malaka) bersamaan dengan siklon Ditwah (di Teluk Bengal) dan siklon Koto (di Laut Cina Selatan/Pasifik Barat) membentuk kluster siklon tropis, yang dianggap anomali cuaca, menegaskan menguatnya resiko iklim di kawasan ini, termasuk Indonesia.
Dengan krisis iklim yang kian menjadi, anomali-anomali cuaca makin mungkin untuk terjadi. Menjelang akhir Desember 2021 pernah ada Badai Tropis Vamei yang berkembang di Laut Natuna, melanda Malaysia, Singapura dan Indonesia. Vanei dicatat sebagai siklon tropis pertama yang pernah terbentuk dan melintasi khatulistiwa.
Bencana Ekologis
Dari sisi kebencanaan, siklon memang termasuk bahaya meteorologis (meteorological hazards) yang terjadi dengan cepat (rapid onset), karena angin kencang dan banjir terjadi secara cepat. Namun, pembentukan dan pergerakan siklon itu terjadi secara bertahap sehingga memungkinkan adanya peringatan dini dan persiapan-persiapan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan telah memberikan peringatan kepada kepala daerah di Sumatra bagian utara akan adanya ancaman hidrometeorologi, akibat siklon Senyar, delapan hari sebelumnya, dan diulangi lagi di H-4 dan H-2.
Dari sisi peringatan dini, BMKG telah melakukan langkah yang tepat. Namun, tentu dipahami bahwa BMKG tidaklah dalam kapasitas untuk melakukan langkah-langkah persiapan di lapangan. Para ahli cuaca tentu mempunyai kapasitas untuk memperkirakan tingginya intensitas hujan yang bakal terjadi, yang kemudian tercatat di satu pos kalau air hujan yang tercurah dari langit dalam sehari setara dengan sebulan.
Mengapa dalam rentang 8 hari sebelum hari-H tidak cukup ada langkah-langkah untuk menghadapi ancaman hujan yang sudah di depan mata? Ada daerah yang mungkin telah mencoba menyebarkan informasi ancaman tersebut. Tetapi, dengan skala ancaman yang besar, pemerintah pusat harusnya juga bertanggung jawab.
Mendagri mengakui pemerintah kurang siap menghadapi banjir Sumatra, karena terjadi sangat cepat. Diksi “kurang siap” dan alasan ini terjadi “sangat cepat”, sebetulnya menandakan pemerintah masih tidak mau secara rendah hati mengakui ketidaksiapannya merespons peringatan ancaman yang sudah dirilis BMKG. Bahkan dapat saja pengakuan ini dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah sebetulnya abai, melupakan ada jutaan penduduk yang berada dalam ancaman siklon. Bahaya yang dibawa oleh alam tidaklah harus menjadi bencana (disaster), kalau ada keseriusan dalam mengantisipasinya.
Antisipasi itu pun harusnya sudah muncul jauh-jauh hari karena kerusakan-kerusakan hutan di sekujur bumi di Indonesia bukanlah cerita yang baru. World Population Review 2025 bahkan telah menempatkan Indonesia di peringkat kedua, setelah Brasil, sebagai negara yang paling banyak mengalami deforestasi. Artinya, dengan kerusakan hutan yang demikian masif, munculnya bencana hanyalah soal waktu saja. Buku pelajaran siswa SD pun mestinya ada memuat logika ini, yakni deforestasi menjadi penyebab banjir, tanah longsor ataupun kekeringan akibat tidak ada lagi akar pohon yang mengikat tanah.
Maka tepatlah kalau bencana banjir Sumatra ini sejatinya adalah bencana ekologis akibat dosa-dosa ekologis yang wujud nyatanya adalah luasnya kerusakan hutan. Kerusakan hutan skala masif tidak mungkin terjadi jika tidak ada kehadiran korporasi-korporasi besar—entah bergerak di pertambangan atau perkebunan. Korporasi-korporasi ini pun tidak mungkin secara leluasa merangsek ke hutan bila tidak ada dukungan legal dari pemerintah melalui pemberian konsesi. Belum lagi ditambah dengan masih kuatnya pembalakan hutan secara ilegal, yang lagi-lagi menjadi mudah terjadi ketika ada pembiaran oleh pemerintah.
Kegagalan mengurus sumber daya alam ini telah berlangsung lama, tanpa ada perbaikan serius. Studi Pramudya, Hospes, & Termeer (2018) misalnya, telah menyebutkan bahwa sudah banyak regulasi untuk mengendalikan perluasan kebun sawit ilegal, tetapi lemah implementasinya sehingga perkebunan ilegal pun tetap meluas.
Absurd jadinya ketika ada pejabat, seperti dari Kemenhut, yang mengklaim bahwa tumpukan kayu gelondongan yang hanyut dibawa banjir berasal dari pohon lapuk dan tumbang alami. Pohon yang lapuk akan hancur berkeping-keping diterjang derasnya arus banjir. Pohon yang tumbang alami tidak akan sebersih pohon yang ditebang untuk kepentingan komersial. Lagi-lagi, klaim pemerintah yang terburu-buru seperti ini menguatkan kesimpulan bahwa pemerintah enggan untuk mengakui bahwa bencana Sumatra bukan bencana alam, tetapi bencana ekologis.
Kegagalan Negara
Ketika banjir besar terjadi di banyak lokasi, menyebabkan ratusan korban, dan ribuan orang terkurung air, bantuan tidak juga segera datang. Penjarahan di Sibolga dan Tapanuli Tengah tidak perlu terjadi bila ada kesigapan pemerintah. Naluri bertahan hidup pasti akan membawa manusia menuju tempat-tempat di mana ada sumber-sumber pangan.
Pemerintah daerah juga tidak cukup mampu untuk mengatasi kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk karena infrastruktur lokal juga terdampak banjir besar dan tanah longsor. Bencana ekologis tersebut setidaknya melanda sembilan daerah di Aceh dan 11 daerah di Sumatra Utara. Pemerintah daerah pun sudah menyatakan ketidaksanggupannya menangani bencana tersebut.
Proyeksi Celios, kerugian ekonomi dapat mencapai Rp68,67 triliun, sekitar 0,29% dari PDB nasional. Ini dihitung dari kerusakan rumah penduduk, hilangnya pendapatan rumah tangga, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, serta produksi pertanian yang hilang karena lahan terkena banjir dan longsor. Dalam konteks global, estimasi dampak ekonomi dari bencana diyakini hanyalah sebagian kecil dari ongkos riilnya, demikian Jenty Kirsh-Wood, kepala analisis risiko global untuk UNDRR/PBB. Biaya sebenarnya, disebutkan, bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat angka estimasi. Bila meminjam perkiraan UNDRR ini, maka bencana banjir Sumatra bisa membawa kerugian jauh melebihi Rp 68,67 triliun.
Lebih dari itu, ada kerugian non-ekonomi yang tidak bisa dikuantifikasi. Yakni apa yang dirasakan oleh penduduk, para korban bencana ekologis, atas gagalnya negara mengurus mereka, dari tahap peringatan dini dan mungkin sampai kemudian, ketika kerusakan-kerusakan ekologis tetap dibiarkan dan para perusak hutan bebas berkeliaran.
Di masa depan, di tengah krisis iklim yang makin parah, anomali-anomali cuaca bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi lagi. Sekali lagi, sebuah bahaya alam (hazard) tidak harus menjadi bencana (disaster). Dalam At Risk, Blaikie et al. (2004) menunjukkan bahwa risiko bencana adalah hasil interaksi antara bahaya alam dan kerentanan (vulnerability). Artinya, bila bahaya alam tidak bisa dicegah karena di luar kendali manusia, maka sisi kerentananlah yang harusnya ditangani secara serius. Termasuk di sini adalah mengambil langkah-langkah mencegah berlanjutnya kerusakan ekologis dan melakukan persiapan-persiapan yang tepat ketika muncul ancaman bahaya dari alam.
Akankah bencana besar di Sumatra kali ini sanggup memicu perubahan cara dan sikap negara mengurus ekologi dan warga negara yang rentan, dan bukan sekedar janji-janji? Wallahualam.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
