Banjir Sumatra 2025: Alarm untuk Model Ekonomi Indonesia yang Berkelanjutan

Jeany Hartriani
Oleh Jeany Hartriani
5 Desember 2025, 07:05
Jeany Hartriani
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 menegaskan rapuhnya fondasi ekologis dan sosial Indonesia. Ribuan penduduk terdampak, ratusan meninggal dunia, dan kerugian ekonomi ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah. 

Seperti pola yang telah berulang selama bertahun-tahun, respons publik kembali terjebak pada lingkaran saling menyalahkan: antara pemerintah pusat dan daerah, antara pelaku industri dan regulator, antara masyarakat dan korporasi.

Namun pasca-bencana, satu pertanyaan strategis masih jarang dibahas: mengapa skala bencana ekologis di Indonesia semakin membesar meski negara ini terus bertumbuh secara ekonomi?

Jawabannya bukan semata perkara cuaca ekstrem. Intensitas bencana hidrometeorologi meningkat karena perubahan iklim yang memperparah kerusakan ekosistem di daerah tangkapan air, tata ruang yang longgar, serta model ekonomi yang masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Ketika ekonomi nasional dikelola dengan mengorbankan daya dukung lingkungan, setiap pertumbuhan justru memperbesar risiko bencana berikutnya.

Dengan demikian, penanganan bencana ekologis tidak dapat dilepaskan dari arah pembangunan ekonomi nasional.

Transformasi Berkelanjutan Butuh Komitmen dan Disiplin, Bukan Slogan

Dalam Future Leadership Programme 11 (FLP 11) yang saya ikuti di Kuala Lumpur pada 23–27 November 2025 lalu, isu pembangunan ekonomi dan keberlanjutan tidak dipisahkan sebagai dua agenda yang saling bersaing, melainkan diposisikan sebagai inti dari strategi transformasi ekonomi kawasan. Program ini diselenggarakan oleh Development Leadership Dialogue (DLD) bekerja sama dengan Khazanah Research Institute (KRI) dan berafiliasi akademik dengan SOAS University of London. 

Peserta FLP 11 terdiri dari future leaders dari berbagai negara Asia lintas sektor — pemerintahan, akademisi, swasta, organisasi multilateral, dan masyarakat sipil. Kuliah inti dipimpin oleh akademisi terkemuka termasuk Joseph Stiglitz dan Ha-Joon Chang, didukung oleh Christopher Cramer, Jomo K. S., Yuen Yuen Ang, Elizabeth Thurbon, Keun Lee, dan Jonathan Pincus, yang masing-masing mengulas ekonomi politik global, krisis ekologi, industrial upgrading, dan strategi green industrialisation di Asia, khususnya Asia Tenggara. Serangkaian workshop dan diskusi tertutup selama lima hari menegaskan satu arah pembelajaran penting: pembangunan berbasis teknologi dan nilai tambah tinggi yang berorientasi ketahanan ekologis bukan sekadar pilihan moral, tetapi syarat kompetitif bagi negara-negara ASEAN untuk bertahan dalam dinamika krisis global. 

Beberapa pembelajaran kebijakan yang relevan untuk Indonesia antara lain:

  1. Talent pipeline untuk sektor teknologi disiapkan sejak paling dini.
    Kurikulum anak usia dini diarahkan pada logika aplikasi, pemecahan masalah, dan sains terapan—sejalan dengan kebutuhan industri electronics & engineering (E&E), riset, dan inovasi.
  2. Transformasi industri dijalankan lintas rezim politik.
    Malaysia perlahan beralih dari pertanian ke manufaktur, kemudian ke teknologi tinggi sejak 1960-an melalui rencana jangka panjang yang tidak berganti setiap pergantian administrasi.
  3. Keberlanjutan menjadi instrumen kompetitif.
    Kebijakan iklim, insentif energi bersih, dan investasi pada industri rendah emisi bukan sekadar kampanye lingkungan, melainkan strategi ekonomi untuk memperkuat daya saing global.

Transformasi seperti ini bukan hasil kebetulan. Ada metodologi, konsistensi, dan keberanian untuk mengambil keputusan jangka panjang yang tidak selalu populer di awal.

Kenapa Indonesia Perlu Keluar dari Orientasi Ekonomi Berbasis Ekstraksi?

Indonesia adalah negara megabiodiversitas dengan potensi SDA yang sangat besar, tetapi ketergantungan terhadap ekstraksi alam masih dominan sebagai motor pertumbuhan. Dalam jangka pendek, pilihan ini memang menciptakan keuntungan ekonomi. Namun dalam jangka panjang, biaya ekologis dan sosialnya jauh lebih besar.

Tekanan terhadap hutan dan daerah aliran sungai menyebabkan:

  • Frekuensi banjir dan longsor meningkat,
  • Daya tampung air menurun,
  • Kerusakan infrastruktur dan aktivitas ekonomi meluas,
  • Rumah tangga miskin menjadi pihak yang paling terdampak.

Setiap bencana besar tidak hanya menelan korban manusia, tetapi juga menimbulkan kerugian fiskal dan makroekonomi. Ironisnya, biaya bencana ekologis tahunan kini setara—bahkan melebihi—biaya transformasi ekonomi menuju industri berteknologi tinggi bila dilakukan secara terencana.

Dengan mengalihkan fokus menuju:

  • Manufaktur dan teknologi tinggi,
  • Energi terbarukan dan transisi energi,
  • Material dan industri rendah emisi,
  • Ekonomi sirkular dan inovasi berbasis riset,

Indonesia dapat menurunkan tekanan terhadap alam sekaligus meningkatkan daya tahan sosial-ekonomi terhadap perubahan iklim. Transformasi ini bukan idealisme hijau, melainkan prasyarat keberlanjutan pertumbuhan nasional.

Prioritas Baru: Berhenti Menyalahkan, Mulai Membangun Sistem

Pascabencana Sumatra, pelajaran paling strategis bukan pada mencari siapa yang salah, tetapi mencari apa yang harus dibangun agar kejadian serupa tidak berulang. Kebijakan bencana seharusnya tidak hanya fokus pada respons cepat dan rehabilitasi, tetapi pada reformasi struktural berbasis tiga agenda inti:

  1. Kebijakan industri dan investasi yang ramah iklim sebagai arsitektur utama pertumbuhan.
  2. Perencanaan tata ruang berbasis sains dan penegakan hukum lingkungan yang tegas dan konsisten.
  3. Strategi SDM untuk menyiapkan tenaga kerja hijau dan teknologi tinggi sejak jenjang pendidikan paling awal.

Indonesia memiliki kapasitas, pasar, dan sumber daya untuk memimpin transformasi ekonomi hijau di Asia Tenggara. Yang dibutuhkan sekarang bukan kemampuan teknis, melainkan kemauan politik dan konsistensi eksekusi.

Saatnya Indonesia Berbenah

Selama negara ini terus membangun ekonomi yang menghabiskan daya dukung lingkungan, maka bencana ekologis hanya akan menjadi siklus rutin. Menuding aktor tertentu dalam setiap bencana mungkin memberikan pelampiasan emosional, tetapi tidak memberikan solusi.

Indonesia membutuhkan lompatan: dari ekonomi berbasis ekstraksi menuju ekonomi bernilai tambah tinggi dan berteknologi bersih.

Bencana Sumatra 2025 seharusnya menjadi momentum untuk keluar dari pola reaktif dan masuk ke era transformasi ekonomi yang visioner. Ketahanan ekologis bukan lagi isu lingkungan—melainkan syarat bertahannya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia di Indonesia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Jeany Hartriani
Jeany Hartriani
Co-initiator & Deputy Head Katadata Green

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...