Beras dan Dilema Ketahanan Pangan Indonesia
Dalam kacamata kebijakan pemerintah, stok beras kerap dipandang sebagai indikator ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Upaya cetak sawah baru melalui program food estate yang masuk dalam proyek strategis nasional seolah menjadi jalan pintas menuju ketahanan pangan Indonesia. Namun kenyataannya, impor beras justru melonjak tajam dalam dua tahun terakhir dari 3,1 juta ton (2023) menjadi 4,5 juta ton (2024).
Kecenderungan Indonesia menjadi beras-sentris sendiri berakar dari kebijakan sejak era Orde Baru, ketika pemerintah menetapkan beras sebagai komoditas strategis nasional dan menjadikannya pusat program pangan. Kampanye swasembada beras pada 1980-an membuat beras diasosiasikan sebagai simbol ketahanan pangan.
Ketergantungan pada beras menciptakan kerentanan pada sistem pangan di Indonesia. Rantai pasokan beras yang panjang meningkatkan potensi gangguan, sementara cuaca ekstrem dan perubahan iklim terus menekan produktivitas sawah di banyak wilayah. Risiko gagal panen akibat banjir, kekeringan, dan serangan hama membuat situasi kian tidak stabil. Kombinasi faktor-faktor ini menunjukkan bahwa ketergantungan tunggal pada beras menciptakan kerentanan struktural yang melemahkan ketahanan pangan.
Pemaknaan secara sempit mengenai ketahanan pangan menyesatkan dan menafikan realitas sosial dan ekologis Indonesia yang beragam. Pendekatan yang beras-sentris seolah-olah menunjukkan upaya penyeragaman pangan, menjadikan masyarakat kehilangan ruang untuk mempertahankan sumber pangan lokalnya. Bagi masyarakat Papua, sagu bukan sekadar bahan pangan, melainkan simbol kehidupan dan identitas budaya. Sementara bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, sorgum telah menjadi bagian dari tradisi pangan yang bertahan lintas generasi.
Kebijakan ketahanan pangan seharusnya tidak hanya diukur dari jumlah beras di gudang, tetapi dari sejauh mana sistem pangan mampu bertahan, beradaptasi, dan menyejahterakan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Alih-alih mempertahankan pendekatan ekstraktif seperti food estate, arah kebijakan pangan perlu menguatkan diversifikasi berbasis potensi lokal dan berlandaskan prinsip ekonomi restoratif. Dalam kerangka ini, ekonomi ekstraktif berpijak pada eksploitasi sumber daya untuk kepentingan jangka pendek, sementara ekonomi restoratif menempatkan pemulihan ekosistem dan keberlanjutan sebagai dasar pengelolaan pangan.
Kegagalan Pendekatan Ekstraktif dalam Kebijakan Pangan
Pendekatan ekonomi ekstraktif dalam kebijakan pangan kontradiksi dengan ambisi Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Program food estate yang dirancang secara top-down bukan solusi yang tepat untuk menjawab masalah ketahanan pangan di Indonesia. Program ini justru menekankan produksi monokultur komoditas pangan tertentu seperti padi dengan mengabaikan kondisi sosial, budaya, dan ekologi setempat.
Bukti empiris telah menunjukkan kegagalan sebagian besar proyek food estate. Di Kalimantan Tengah, proyek food estate berakhir terbengkalai dan sebagian wilayahnya beralih menjadi perkebunan sawit milik swasta. Petani di lahan food estate kerap mengalami gagal panen karena kombinasi faktor alam, teknis, dan kebijakan. Lahan yang dikonversi dari hutan rawa atau gambut tidak cocok untuk tanaman pangan seperti padi dan jagung.
Model ekstraktif memaksakan praktik monokultur di lahan gambut yang tidak cocok mempercepat degradasi tanah dan meningkatkan risiko serangan hama. Lahan dieksploitasi secara intensif tanpa ada upaya pemulihan, konservasi, atau restorasi ekosistem. Akibatnya, sistem produksi menjadi sangat bergantung pada input eksternal seperti pupuk kimia, pestisida, dan benih non-lokal, yang akhirnya hanya meningkatkan biaya produksi dan membebankan petani. Selain itu, pendekatan top down secara sistematis mengabaikan pengetahuan serta kearifan lokal. Pada akhirnya, keberlanjutan sistem pangan sulit tercapai karena arah kebijakan ekonomi pemerintah masih berorientasi pada keuntungan jangka pendek yang merusak lingkungan dan menguntungkan segelintir pemodal.
Diversifikasi Pangan dalam Perspektif Ekonomi Restoratif
Sebagai antitesis pendekatan ekstraktif, ekonomi restoratif menempatkan manusia dan alam sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar alat produksi. Prinsip utamanya adalah memulihkan ekosistem, keadilan sosial, dan keseimbangan ekonomi. Dalam konteks pangan, prinsip ini dapat diterjemahkan diversifikasi pangan berbasis lokal.
Pendekatan ekonomi restoratif menawarkan solusi untuk memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus menumbuhkan ekonomi lokal. Studi CELIOS (2025) menunjukkan bahwa terdapat 23.472 desa di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi restoratif yang tinggi, terutama di Kalimantan Utara, Maluku, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah-wilayah ini memiliki kekayaan ekosistem hutan, pesisir, dan lahan pertanian yang mendukung pengembangan pangan lokal yang adaptif terhadap perubahan iklim. Ekonomi restoratif diperkirakan dapat meningkatkan output ekonomi Indonesia hingga sepuluh kali lipat dalam 25 tahun ke depan, dari Rp203,26 triliun menjadi Rp2.208,7 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa ekonomi restoratif juga dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berbasis sumber daya lokal.
Sejalan dengan pendekatan ekonomi restoratif, diversifikasi pangan menjadi solusi sistem pangan di Indonesia. Strategi ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekologis, memperkuat budaya lokal, dan menciptakan keadilan ekonomi bagi komunitas lokal.
Diversifikasi pangan tidak semata-mata sebagai upaya mengubah pola konsumsi masyarakat agar tidak beras-sentris. Diversifikasi pangan menekankan pentingnya pemanfaatan sumber pangan alternatif berbasis potensi lokal, memanfaatkan keanekaragaman hayati, serta menguatkan nilai-nilai sosial dan budaya dalam sistem pangan.
Pemetaan Potensi Desa (Podes) 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 37.587 desa/kelurahan (44,6 persen desa/kelurahan) di Indonesia yang mayoritas penduduknya bergerak pada subsektor utama tanaman pangan. Data Nusantara Food Biodiversity juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 822 pangan lokal, baik yang digunakan pangan pokok, lauk hewani, lauk nabati, minuman, bumbu dan rempah, hingga obat. Sejumlah 698 pangan lokal terdata masih dikonsumsi oleh masyarakat, di mana 77,39% masuk status ekologis indigenous atau asli dan 22,61% dikategorikan introduced atau sudah dikenal.
Pentingnya diversifikasi pangan dalam kebijakan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi utama. Pertama, dalam dimensi ketahanan pangan, diversifikasi pangan dapat meminimalkan risiko krisis akibat gagal panen dan gangguan pasokan beras. Studi FAO–IFPRI (2024) menunjukkan bahwa strategi diversifikasi tanaman dan dukungan terhadap petani kecil merupakan langkah penting untuk meningkatkan ketahanan sistem pangan terhadap guncangan produksi dan rantai pasok.
Kedua, diversifikasi pangan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dengan memperluas basis produksi dan rantai nilai di pedesaan, termasuk peluang bagi petani kecil dan pelaku usaha mikro untuk mengembangkan produk olahan berbasis komoditas lokal yang bernilai tambah. Ketiga, sistem pangan yang beragam mendorong pola tanam polikultur, penggunaan benih lokal, serta pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan dibanding sistem monokultur intensif seperti food estate. Ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan seharusnya dapat dicapai tanpa memperburuk kehilangan hutan primer, sehingga menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
