Ironi Rating ESG di Balik Kasus Korupsi Sawit

Gilang Rakasiwi
Oleh Gilang Rakasiwi
12 Desember 2025, 07:05
Gilang Rakasiwi
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam satu dekade terakhir, tuntutan terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan semakin mendapatkan perhatian dari investor, lembaga keuangan, pemerintah, hingga lembaga non- pemerintah secara global. Tuntutan ini muncul atas kesadaran akan dampak negatif dari operasi perusahaan yang tidak hanya mengancam keberlanjutan perusahaan, tetapi juga menimbulkan dampak bagi lingkungan dan sosial. Dampak lingkungan seperti emisi, pencemaran air, dan polusi sering kali diabaikan oleh perusahaan. 

Dalam aspek sosial, berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), konflik dengan masyarakat sekitar, hingga eksploitasi tenaga kerja masih sering terjadi. Ketika dampak-dampak tersebut tidak dikelola dengan baik, perusahaan menghadapi risiko kerugian finansial akibat denda, kewajiban ganti rugi serta risiko kehilangan akses pendanaan dari investor dan lembaga keuangan. 

Selain itu, pelanggaran pada aspek lingkungan dan sosial juga menimbulkan risiko reputasi yang secara langsung dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Krüger (2015) menunjukkan bahwa pasar saham bereaksi negatif terhadap peristiwa negatif terkait tanggung jawab sosial perusahaan terutama terkait isu sosial dan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif dari operasi perusahaan bukan sekadar isu moral, tetapi dapat berimplikasi langsung terhadap nilai perusahaan dan pemegang saham.

Untuk merespons risiko tersebut, berbagai standar dan kerangka kerja untuk pelaporan dan pengungkapan praktik keberlanjutan mulai bermunculan, baik yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan, pemerintah, maupun lembaga independen seperti Global Reporting Initiative (GRI), Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), International Sustainability Standards Board (ISSB) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (POJK). Selain standar dan kerangka kerja, berkembang juga mekanisme penilaian kinerja ESG perusahaan. Lembaga seperti Sustainalytics, MSCI, S&P Global, dan SPOTT memberikan rating yang bertujuan membantu investor menilai kualitas pengelolaan risiko dan juga kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.

Dalam praktiknya, hasil penilaian ESG rating ini menjadi salah satu indikator bagi investor dan lembaga keuangan dalam menilai kelayakan investasi sebuah perusahaan. Bagi perusahaan, rating ESG bukan hanya berfungsi sebagai indikator kinerja ESG, tetapi juga menjadi alat untuk membentuk reputasi positif. Banyak perusahaan berupaya masuk dalam indeks ESG baik di skala domestik maupun global sebagai bentuk pengakuan akan implementasi keberlanjutan perusahaan.

Dengan semakin banyaknya lembaga pemeringkat ESG dan meningkatnya partisipasi perusahaan dalam berbagai pemeringkatan, muncul pertanyaan: apakah skor ESG rating yang tinggi benar- benar mencerminkan realitas yang terjadi di perusahaan?

Pertanyaan ini menjadi relevan karena belum ada standar penilaian yang seragam yang digunakan oleh lembaga pemeringkat ESG. Metode penilaian yang digunakan masih bergantung pada data dan dokumen yang disampaikan oleh perusahaan. Kekhawatiran ini sejalan dengan hasil penelitian Christensen, Serafeim, dan Sikochi (2022), yang menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada kesepahaman antarlembaga rating mengenai bagaimana seharusnya kinerja ESG dinilai. Ketidakselarasan ini membuat berbagai pihak mudah disesatkan oleh angka dan skor ESG yang terlihat objektif, padahal bisa saja tidak mencerminkan realitas di lapangan.

Dalam konteks industri sawit, terdapat lembaga pemeringkat khusus sektor sawit yaitu SPOTT, yang menilai kinerja ESG 100 perusahaan sawit secara global. SPOTT menggunakan 10 indikator penilaian yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Penilaiannya berbasis pada data publik seperti data pelaporan rutin perusahaan ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), laporan tahunan, laporan keberlanjutan, dan situs web perusahaan.

Pada November 2025, SPOTT telah merilis hasil rating terbaru yang memuat skor ESG perusahaan-perusahaan sawit, termasuk beberapa perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi fasilitas ekspor CPO pada tahun 2022 yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Hasil rating ESG untuk ketiga perusahaan tersebut sebagai berikut: Wilmar Group (92,4%), Musim Mas Group (92,2%) dan Permata Hijau Group (74,7%). 

Jika melihat indikator penilaian pada kriteria governance, terdapat dua indikator terkait etika dan pencegahan korupsi di internal perusahaan yaitu commitment to ethical conduct and prohibition of corruption dan progress on commitment to ethical conduct and prohibition of corruption.

Dari hasil penilaian, ketiga perusahaan tersebut mendapatkan nilai sempurna pada indikator tersebut. Dengan kata lain, menurut penilaian SPOTT, ketiga perusahaan tersebut telah memiliki sistem tata kelola yang dapat mencegah terjadinya korupsi, meskipun fakta hukum menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini terlibat dalam kasus korupsi fasilitas ekspor CPO. 

Mereka diminta untuk membayar uang pengganti kerugian negara hingga triliunan rupiah dan apabila dalam waktu yang telah ditentukan perusahaan tidak membayar uang pengganti, maka aset perusahaan akan disita dan dilelang. Artinya, perusahaan yang mendapatkan nilai governance tinggi dalam penilaian SPOTT ternyata memiliki rekam jejak pelanggaran tata kelola yang serius.

Metodologi penilaian yang digunakan oleh SPOTT, yang hanya berdasarkan pengungkapan publik dan menekankan pada transparansi perusahaan terkait risiko ESG. Metodologi ini memiliki keterbatasan dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang terjadi di lapangan. Karena pendekatan ini menilai apa yang dipublikasikan oleh perusahaan, terutama pada aspek governance, perusahaan tetap mendapatkan nilai tinggi selama perusahaan memiliki dokumen yang “benar” sesuai kriteria, meskipun perilakunya “salah”. 

Menurut saya, pendekatan seperti ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga kontraproduktif dengan tujuan keberlanjutan itu sendiri. Jika perusahaan terlibat korupsi, maka aspek governance seharusnya mendapat skor buruk atau bahkan tidak dapat dinilai. Tujuan ESG rating seharusnya bukan ditujukan untuk memoles citra, tetapi memberikan gambaran akurat mengenai risiko dan performa aktual perusahaan.

Sekali lagi, kasus korupsi fasilitas ekspor CPO ini menunjukkan sebuah ironi, di mana perusahaan yang telah terbukti terlibat dalam skandal korupsi masih bisa mendapatkan nilai governance tinggi karena penilaian tidak memasukkan fakta hukum tersebut ke dalam metodologi penilaian. Meskipun di dalam hasil penilaian, SPOTT mencantumkan pemberitaan media massa yang menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terlibat dan telah menjadi tersangka kasus korupsi.

Masalah etika dalam penilaian ESG sebenarnya tidak hanya terjadi di sisi perusahaan yang membuat komitmen dan pengungkapan ESG, tetapi juga di sisi lembaga pemeringkat yang mengandalkan pendekatan tick-box. Penilaian yang didasarkan pada pemenuhan dokumen mengabaikan dimensi moral yang merupakan inti dari tata kelola. Padahal etika tidak dapat digantikan menjadi checklist administratif. 

Etika adalah kualitas dari keputusan dan perilaku bukan sekadar kebijakan tertulis perusahaan. Melé (2019) menegaskan bahwa etika perusahaan seharusnya mencerminkan nilai-nilai yang terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya komitmen formal yang tertulis.

Dengan mengabaikan fakta pelanggaran yang sudah terbukti secara hukum, lembaga rating justru memberi sinyal yang salah kepada investor, lembaga keuangan dan publik. Kondisi ini sangat berbahaya di mana investor yang mengandalkan rating dapat salah menilai risiko tata kelola perusahaan. Lembaga keuangan dapat memberikan pendanaan kepada perusahaan yang memiliki risiko tata kelola yang tinggi. Publik dapat tertipu oleh citra keberlanjutan yang tidak mencerminkan kondisi nyata.

Kasus ini menunjukkan perlunya perubahan mendasar di beberapa aspek. Lembaga rating harus mengintegrasikan informasi faktual, termasuk controversy event, fakta hukum, pelanggaran etik dan hasil investigasi sebagai bagian dari metodologi penilaian. ESG rating harus mencerminkan perilaku nyata yang dilakukan oleh perusahaan, bukan sekadar kumpulan dokumen berisi komitmen semata. 

Perusahaan di sisi lain juga harus menyadari bahwa ESG bukan sekadar alat untuk mencetak reputasi, tetapi sebagai kerangka untuk mencegah dampak negatif dan menjaga integritas jangka panjang. Jika pembelajaran dari kasus ini benar-benar diterapkan, maka ESG dapat kembali kepada tujuan awalnya yang mencerminkan fakta, integritas dan bukan untuk memoles citra. Dengan demikian, praktik bisnis yang etis dapat tumbuh tidak hanya sebagai tuntutan, tetapi sebagai fondasi keberlanjutan jangka panjang perusahaan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Gilang Rakasiwi
Gilang Rakasiwi
Mahasiswa Magister Manajemen, Konsentrasi ESG-Sustainability, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...