Risiko kredit seret membayangi perbankan di seluruh dunia seiring pandemi corona yang melumpuhkan sejumlah sektor bisnis dan memukul konsumsi. Lantas, seberapa berdaya tahan perbankan nasional dalam menghadapi tantangan yang tak pasti kapan berakhir ini?

Lembaga Pemeringkat Internasional, Moody’s Investors Service telah menurunkan outlook perbankan nasional dari stabil menjadi negatif untuk 12-18 bulan ke depan. Ini seiring kondisi ekonomi yang akan melemah.

(Baca: Bayang-bayang Resesi di Asia Tenggara dan Ekonomi Indonesia Tumbuh 0%)

Tim analis Moody’s menyatakan kualitas kredit bakal menurun meski restrukturisasi dan penurunan suku bunga kredit bisa memberikan sedikit dukungan. Namun, tebalnya permodalan bisa menjadi bantalan untuk menghadapi risiko yang meningkat.  

“Permodalan bank-bank di Indonesia, yang saat ini terkuat di Asia Pasifik, akan tetap kokoh sehingga menyediakan bantalan yang cukup untuk melawan risiko yang meningkat,” kata tim analis Moody’s dalam laporan tertulisnya.

Dalam tiga tahun belakangan, rasio kecukupan modal alias CAR perbankan memang tercatat stabil di atas 20%, lebih tebal dibandingkan kondisi saat krisis global 2008 yang di kisaran 16-17%. Per Januari 2020, CAR nyaris mencapai 23%.

Pencadangan untuk kredit bermasalah yang semakin tebal juga menjadi bantalan bagi perbankan. “Permodalan yang kuat ditambah peningkatan cadangan untuk kredit bermasalah akan memitigasi risiko,” demikian tertulis.

Namun, tekanan pada profitabilitas perbankan bakal sulit dihindari. Penyebabnya, penurunan kualitas kredit akan mengerek biaya kredit, meskipun restrukturisasi akan memitigasi risiko. Di sisi lain, pemangkasan agresif suku bunga acuan oleh Bank Indonesia akan menekan margin bunga bersih (NIM).

(Baca: Potensi Bank Terpukul Seperti Krisis Moneter 1998

Tahun lalu, NIM bank umum konvensional turun 0,13%. Kondisi ini ditambah pertumbuhan kredit yang lemah, hanya 6,08%, membuat laba bersih perbankan mengalami kontraksi. Laba bank kecil BUKU I turun 34,71%, bank kecil BUKU II turun 1,96%, dan bank menengah BUKU III turun 10,05%. Sedangkan bank besar BUKU IV mencatatkan perlambatan pertumbuhan menjadi kurang dari 10%.

Berikut Pergerakan Bunga Acuan, NIM, Pertumbuhan Kredit dan Laba Bank Umum Konvensional:

TahunBunga AcuanNIMPertumbuhan  KreditPertumbuhan Laba Bersih Bank 
BUKU IBUKU IIBUKU IIIBUKU IV
20186%*5,14%*11,75%-2,23%-10,73%17,66%14,33%
20195%*4,91%*6,08%-34,71%-1,96%-10,05%9,45%
Januari 20205%4,96%6,1%-45%22,27%-18,12%19,08%

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Januari 2020 (Diolah)

Catatan: *Posisi Desember

Posisi terakhir bunga acuan per Maret 2020 sebesar 4,5%

Bank Dibayangi Risiko Kredit Seret dari Beragam Sektor

Persoalan kredit seret -- yang selama ini membebani perbankan -- berisiko semakin berat di tengah pandemi corona. Mulai September 2016, rasio kredit seret alias NPL menembus level 3%, naik hampir separuh dari posisi tiga tahun sebelumnya yang masih di bawah 2%. Ini terjadi seiring perlambatan ekonomi global dan jatuhnya harga komoditas.

Per Januari lalu, NPL perbankan tercatat membaik ke level 2,77%. Namun, beberapa sektor masih berada di atas level itu. NPL sektor konstruksi 3,54%, perdagangan besar dan eceran 3,94%, pertambangan dan penggalian 4,84%, perikanan 5,29%, sedangkan penyediaan akomodasi, makan dan minum mencapai 5,8%.

Ke depan, tim analis Moody’s menyebut kredit yang terkait komoditas berisiko mengalami penurunan kualitas seiring melemahnya permintaan. Komoditas yang dimaksud termasuk batu bara dan minyak sawit yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia.

Penurunan kualitas kredit juga berisiko terjadi pada debitur yang memiliki pinjaman dalam dolar AS, namun tidak diamankan lewat fasilitas lindung nilai. Sebab, arus keluar modal asing akan terus menekan kurs rupiah terhadap dolar AS. Sejak awal tahun hingga Jumat, 3 April 2020, kurs rupiah tercatat amblas 18,5% dari Rp 13.866 menjadi Rp 16.430 per dolar AS.

Selain itu, risiko membayangi kredit usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta kredit kepada debitur retail yang bekerja sendiri alias self-employee. Ini seiring potensi melemahnya likuiditas di kalangan ini. Namun, “Meningkatnya restrukturisasi kredit dan penurunan suku bunga kredit akan meringankan sementara tekanan (yang dialami debitur di sektor-sektor ini),” demikian tertulis.

(Baca: Jokowi: Keringanan Kredit untuk Pekerja Informal & UMKM Berlaku April)

Adapun di tengah meluasnya larangan perjalanan internasional imbas pandemi corona, beberapa sektor seperti industri penerbangan dan pariwisata otomatis terdampak. Di sisi lain, sektor farmasi global digadang-gadang akan menopang ekonomi dunia. Sedangkan sektor telekomunikasi dan beberapa bisnis online diprediksi relatif terisolasi, bahkan mengalami peningkatan kinerja.

Berikut NPL perbankan berdasarkan lapangan usaha per Januari 2020:

Sektor Lapangan UsahaNPLTotal Kredit
Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan1,43%Rp 350,22 triliun
Perikanan5,29%Rp 12,065 triliun
Pertambangan dan Penggalian*4,84%Rp 129,44 triliun
Industri Pengolahan2,77%Rp 869,18 triliun
Listrik, air, dan gas1,16%Rp 175,69 triliun
Konstruksi*3,54%Rp 307,03 triliun
Perdagangan Besar dan Eceran*3,94%Rp 949,88 triliun
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum5,8%Rp 98,76 triliun
Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi2,48%Rp 212,24 triliun
Perantara Keuangan1,3%Rp 228,62 triliun
Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan2,04%Rp 245,19 triliun
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib0,01%Rp 24,94 triliun
Jasa Pendidikan1,01%Rp 12,186 triliun
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial1,74%Rp 22,5 triliun
Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan, dan Perorangan Lainnya2,28%Rp 75,78 triliun
Jasa Perorangan yang Melayani Rumah Tangga2,9%Rp 2,68 triliun
Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya0%Rp 169 miliar
Kegiatan yang belum jelas batasannya9,54%Rp 2,35 triliun

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Januari 2020 (Diolah)

*Sektor dengan penyaluran kredit di atas Rp 100 triliun, dan NPL di atas 3%.

Selanjutnya: Potensi Bank Terpukul Seperti Krisis Moneter 1998

Potensi Bank Terpukul Seperti Krisis Moneter 1998

Para ekonom senior menilai perbankan nasional sudah lebih siap menghadapi tekanan. Terlebih, tekanan yang terjadi sejauh ini masih lebih ringan dibandingkan saat krisis moneter 1997-1998. “Magnitude-nya berbeda,” kata Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan yang juga Ekonom Senior Fauzi Ichsan kepada katadata.co.id.

Ia memaparkan, saat krisis moneter, kurs rupiah melemah drastis dari Rp 2.300 menjadi Rp 16.000 per dolar AS dalam 9-12 bulan, sebelum stabil di kisaran Rp 8.000-9.000 per dolar AS. Sedangkan sekarang, sebut saja di tengah krisis Covid-19, pelemahan kurs rupiah tak sedrastis itu yakni dari kisaran Rp 14.000 menjadi Rp 16.500 per dolar AS.

Begitu juga dengan NPL perbankan. Saat krisis moneter, NPL mencapai 40-50% dari total kredit, sedangkan sekarang 3%. Pertumbuhan ekonomi juga diprediksi masih positif tahun ini. Pemerintah memperkirakan ekonomi tumbuh 2,3%, sedangkan saat krisis moneter, ekonomi terkontraksi 12-13%. “Jadi kita sudah pernah mengalami krisis yang lebih besar dari Covid-19,” ujarnya

Berdasarkan perhitungan kasar, jika kredit dalam risiko alias loan at risk yang saat ini di kisaran 11% seluruhnya menjadi NPL, modal perbankan yang nyaris 23% masih bisa menyerap risiko tersebut. Loan at risk mencakup NPL ditambah kredit berstatus lancar yang sudah direstrukturisasi. “Kalau NPL 11%, masih separuhnya CAR, itu kasarnya,” kata Fauzi.

Layanan bank
Layanan bank (Arief Kamaludin|KATADATA)

Yang perlu dijaga adalah dari segi likuiditas. Restrukturisasi kredit sangat membantu debitur di tengah tekanan ekonomi. Tapi, restrukturisasi sebaiknya dalam konteks debitur tetap membayar bunga kredit sehingga bank bisa menggunakan pendapatan tersebut untuk membayarkan bunga simpanan.

“Selama debitur bayar bunga, pokok ditunda tidak apa, relatif aman,” kata dia. Risiko juga terjaga selama nasabah tidak menarik dana simpanannya di bank. Dalam hal ini, peran LPS penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa simpanannya di bank aman. “LPS memiliki Rp 126 triliun, cukup untuk meyakinkan tidak usah menarik dana,” ujarnya.

Dana Rp 126 triliun ini dinilai cukup, dengan asumsi, bila bank beraset besar yang sistemik mengalami masalah, akan diselamatkan pemiliknya lewat rekapitalisasi. Sebagai contoh, bank BUMN akan diselamatkan pemerintah lewat Penyertaan Modal Negara (PMN). Sedangkan bank swasta yang sistemik kemungkinan akan diselamatkan lewat suntikan modal dari investor strategisnya yang kuat.

“Yang jadi isu (bank yang) relatif kecil dan tidak sistemik,” ujarnya. Terkait risiko ini, sudah ada panduan untuk penanganan bank gagal oleh LPS – mana yang masuk golongan good banks dan diselamatkan, serta bad banks yang dilikuidasi. Dengan kesiapan dari sisi perbankan dan otoritas, semestinya sistem perbankan lebih berdaya tahan. 

Senada, Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan kondisi perbankan sudah lebih kuat seiring regulasi yang lebih baik. Pada 1997-1998, perbankan bahkan tidak mengenal Batas Minimal Penyaluran Kredit. Indonesia juga tidak memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS. “Banyak perbedaan,” ujarnya.

Sejauh ini, ia berpendapat, NPL terkendali dengan adanya berbagai kebijakan. Sedangkan likuiditas perbankan masih dalam kondisi normal. Ini seiring pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum hingga injeksi likuiditas yang terus dilakukan BI lewat operasi moneter.

Sedangkan mengutip laporan tim analis Moody’s, likuiditas akan terjaga lantaran pertumbuhan dana masih sejalan dengan pertumbuhan kredit. Ini seiring melemahnya permintaan kredit. Meskipun, likuiditas dolar mengetat seiring arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik.  

Menurut David, dalam menghadapi tekanan ekonomi saat ini, yang terpenting adalah jeli melihat sektor-sektor bisnis yang rentan dan bisa dibantu oleh pemerintah. “Supaya perusahaan-perusahaan, perbankan, dan pegawai atau masyarakat secara umum bisa menerima manfaat,” ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami