Namun, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai karantina wilayah (lockdown) bukan kebijakan tepat. Apalagi kalau karantina itu dilakukan di kota dengan jumlah kasus terbanyak saat ini, yaitu Jakarta.

Lembaga think tank itu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun 0,5% jika lockdown terjadi di Jakarta selama dua pekan. “PDB tahunan Indonesia akan bekurang 1% jika (lockdown) berlangsung selama sebulan,” ujar Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri dalam artikelnya berjudul Tepatkah Lockdown dalam Menghadapi Covid-19? yang dirilis Senin lalu.

Jakarta saat ini menyumbang 25% pendapatan domestik bruto nasional dan menentukan lebih dari 60% perekonomian nasional. Meskipun ada pekerjaan bisa dilakukan secara virtual di rumah masing-masing, namun 80% aktivitas kerja masih membutuhkan lalu lintas manusia dan pertemuan.

(Baca: Jokowi Minta APBN Fokus untuk Tangani Corona, Bantuan Sosial, dan UMKM)

Yose membuat perhitungan tersebut berdasarkan kegiatan sektor riil saja. Kalau sektor keuangan dimasukkan pula, maka pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia dapat menjadi lebih terpuruk. Tanpa ada lockdown pun, di tengah kondisi global yang memburuk, pertumbuhannya dapat turun hingga 1% dari PDB.

Bank Pembangunan Asia atau ADB memperkirakan tiga skenario yang bakal terjadi pada perekonomian dunia akibat virus corona. Untuk yang terbaik, ekonomi dunia kehilangan 0,1% PDB global, lalu skenario sedangnya 0,2% PDB global, dan paling buruk 0,4% PDB global.

(Baca: Jokowi Siapkan 2 Juta Avigan dan 3 Juta Chloroquine untuk Obati Corona)

Apakah Social Distancing Saja Cukup?

Lockdown tidak akan efektif menurunkan penyebaran virus corona kalau tak diiringi persiapan matang pemerintah. Persiapan itu tak cuma fasilitas kesehatan, tapi juga kebutuhan dasar masyarakat.

Tiongkok berhasil menerapkannya karena sudah belajar dari kasus sindrom pernapasan akut atau SARS pada 2002-2003. Ketika wabah Covid-19 mulai terjadi, pemerintah di sana langsung bergerak cepat memastikan layanan kesehatan cukup, begitu pula dengan logistik. Banyak warga diisolasi, tapi tak ada satu pun yang kekurangan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

Hal berbeda terjadi di Italia, isolasi ketat di sana ternyata tak berhasil. Angka kasusnya terus naik. Pemerintah setempat kelimpungan dengan jumlah pasien yang terus naik. Petugas kesehatan dari Tiongkok sampai turun tangan untuk membantu.

Situasi bertambah buruk karena Negeri Pizza memiliki jumlah penduduk manula cukup banyak. Situs Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS atau CDC menyebut virus corona berisiko tinggi terhadap pasien yang sudah tua, apalagi memiliki penyakit kritis bawaan. Penyakit itu misalnya jantung, diabetes, kanker, gagal ginjal, dan lainnya.

(Baca: Beberapa Obat yang Diklaim Efektif Sembuhkan Pandemi Corona)

pandemi covid-19
pandemi covid-19 (Katadata)

Lantas, apa cara yang paling tepat untuk mencegah penyebaran Covid-19? Tidak ada sebenarnya jurus yang paling ampuh. Namun, mengacu pada tulisan Stevens, social distancing menjadi pilihan tepat. Kurva otomatis melandai kalau gerak sosial dibatasi.

Negara yang melakukan hal itu dan berhasil menurunkan angka penyebaran virus corona adalah Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Ketiganya juga memiliki pengalaman dalam menangani SARS.

Tanpa lockdown penuh, ketiga negara itu berhasil menangani virus corona. Langkah utamanya adalah persiapan matang. Fasilitas medis dan layanan kesehatan diperkuat dan tak sungkan melibatkan pihak swasta.

Lalu, pengetesan dalam skala besar. Ibarat perang, kalau tak tahu musuh di mana rasanya susah. Karena itu, ketiganya meyakini tes virus corona terhadap warganya dalam jumlah besar harus dilakukan. Dari sini, pemerintah setempat dapat menelusuri warga atau wilayah mana yang rentan.

(Baca: Tes Massal Segera Dilakukan, Pasien Corona Berpeluang Dirawat di Rumah)

Langkah akhir, pembatasan gerak sosial alias social distancing. Warga diminta tak berkerumun, meliburkan sekolah, bekerja dari rumah, dan mengisolasi mandiri di tempat tinggalnya. Begitu pula untuk warga yang mau masuk ke negaranya. Ada sejumlah aturan ketat harus dipatuhi, terutama dari negara dengan angka kasus tinggi.

Dari tangkapan layar situs LiveScience.com di bawah ini terlihat kurva eksponensial kasus virus corona dapat ditekan. Caranya adalah dengan melakukan intervensi, yaitu penguatan fasilitas kesehatan dan logistik serta pembatasan gerak sosial.

Kurva virus corona
Kurva kasus virus corona, dengan (bergaris) dan tanpa (warna ungu) intervensi.  (LiveScience.com)

Bagaimana dengan Indonesia? Negara ini harus mengakui tak punya cukup fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia kalau ledakan kasus Covid-19 terus berlanjut.

Presiden Joko Widodo telah mengimbau warga untuk bekerja di rumah, begitu pula dengan kegiatan belajar dan ibadah. Namun, itu saja tidak cukup. CSIS berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan tempat karantina dan penanganan pasien yang masif.

Penambahan fasilitas kesehatan baru terealisasi besok malam. Sampai sekarang rapid test atau tes cepat yang Jokowi minta untuk segera dilakukan belum terjadi. Di sisi lain, pemerintah juga berkejaran dengan waktu agar angka kasus tidak semakin banyak.

Kurva harus segera diturunkan. Jangan sampai virus corona menjadi bom waktu untuk penduduk dan ekonomi Indonesia.

(Baca: Jokowi: Wisma Atlet Siap jadi Rumah Sakit Darurat Corona Besok Malam)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement