Perusahaan pembiayaan terbilang paling aktif menerbitkan MTN, mengingat penerbitan surat utang ini tidak memerlukan izin dari OJK. Tak juga melalui penawaran umum, perusahaan penerbit langsung menjalin kesepakatan dengan para investornya. Besaran bunga yang diberikan penerbit pun ditentukan oleh hasil negosiasi. Tingkat bunga MTN cenderung lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat bunga obligasi untuk tenor yang sama. Hal inilah yang membebani keuangan perusahaan penerbit di saat pendapatan dari bisnisnya melambat.

Risiko gagal bayar pun membayangi penerbitan surat utang tersebut. Mei lalu, pasar MTN tersentak oleh kasus gagal bayar bunga MTN PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membekukan operasional SNP Finance sejak 14 Mei 2018 karena perusahaan memberikan informasi yang tidak benar sehingga merugikan kepentingan debitor, kreditor, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk OJK. 

SNP Finance, perusahaan pembiayaan milik Grup Columbia, mengalami gagal bayar bunga MTN V SNP Tahap II senilai Rp 5,25 miliar 9 dan bunga MTN III seri B senilai Rp 1,5 miliar. Keduanya jatuh tempo pada 9 dan 14 Mei 2018. Adapun nilai pokok MTN V SNP Tahap II mencapai Rp 200 miliar sedangkan MTN III Seri B Rp 50 miliar.

(Baca: Likuiditas Ketat, Pefindo Pangkas Peringkat Multifinance Grup Trakindo)

Sejak Januari hingga Agustus 2018, sudah ada lima perusahaan pembiayaan yang dicabut izin usahanya dan 6 perusahaan lainnya dibekukan. Perusahaan multifinance yang dicabut izin usahanya yaitu, PT Garishindo Buana Finance Indonesia, PT Prioritas Raditya Multifinance, PT Surya Nordfinans, PT Arthabuana Margausaha Finance dan PT Patra Multifinance. Sedangkan multifinance yang dibekukan adalah PT Tossa Salimas Finance, PT Sunprime Nusantara, PT Pracico Multifinance, PT Capitalinc Finance, PT Mega Finanada, PT PANN Pembiayaan Maritim.

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank II OJK Bambang W Budiawan mengatakan sebagian besar pembekuan dan pencabutan itu dilakukan karena perusahaan pembiayaan tersebut menjalankan proses bisnis target bisnis yang tidak tepat. Akibatnya rasio pembiayaan menyebabkan kredit macet (NPL) yang tinggi. Kondisi keuangan perusahaan pembiayaan terganggu karena mereka cukup gencar menerbitkan MTN untuk membiayai bisnisnya.

Hal ini menjadi catatan buruk di tengah derasnya penerbitan MTN dalam beberapa tahun terakhir dan menunjukkan kerentanan para penerbit MTN. Investor perlu lebih selektif memilih MTN sebagai portofolio investasinya dan tidak sekadar menadah bunga tinggi. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang manajer investasi memutar dana kelolaannya di MTN.

Larangan ini tertuang dalam surat edaran bernomor S-697/PM.21/2018 tentang Investasi Reksa Dana Pada Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang Ditawarkan Tidak Melalui Penawaran Umum. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa otoritas melarang manajer investasi menerbitkan reksa dana pasar uang dan terproteksi menggunakan underlying asset MTN.  

Kesulitan pendanaan ini membuat industri pembiayaan pesimistis dengan target pertumbuhan tahun ini. Awalnya APPI menargetkan pertumbuhan tahun ini bisa mencapai kisaran 8-10%. “Kalau melihat kondisi sekarang, mungkin tumbuh 7-8% saja sudah oke,” ujar Suwandi. Pefindo juga memprediksi pertumbuhan industri ini pada rentang yang sama. Untuk tahun depan, perkiraannya hanya tumbuh 6,5%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement