KATADATA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberhentikan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino. Pemberhentian tersebut menyusul penetapan Lino sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan peralatan Quay Container Crane (QCC) tahun 2010.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, keputusan pemberhentian Lino tersebut berdasarkan rekomendasi dari Dewan Komisaris Pelindo II. Selain Lino, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham Pelindo II juga memberhentikan Direktur Pelindo II Feriady Noerlan lantaran telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri beberapa bulan lalu.
Pertimbangannya adalah Dewan Komisaris berharap Lino dan Feriady tidak lagi dibebani dengan urusan pengelolaan perusahaan saat menjalani proses hukumnya masing-masing. "Ini agar mereka berkonsentrasi dengan proses hukumnya," ujar Rini dalam siaran pers Kementerian BUMN, Rabu (23/12).
Sebelumnya, Rini menyerahkan nasib Lino kepada Dewan Komisaris Pelindo II sebelum memgambil keputusan. "Kami sedang menunggu laporan dari komisaris," kata Rini, awal pekan ini.
Pada Jumat pekan lalu, Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati mengatakan, penetapan status tersangka tersebut setelah KPK mendapatkan dua alat bukti. Yang dipersoalkan adalah kebijakan Lino menunjuk langsung perusahaan asal Cina, Wuxi Huang Dong Heavy Machinery, untuk memasok tiga unit QCC tanpa melalui proses tender tahun 2010.
Sebenarnya, KPK telah memeriksa kasus tersebut sejak tahun 2014 berdasarkan laporan masyarakat. Lino pernah menjelaskan, Pelindo II sejak 2007 telah berkali-kali mengadakan lelang QCC namun selalu gagal. Karena itu, dirinya menggunakan prosedur penunjukan langsung pada tahun 2010. Apalagi, Lino beralasan, sistem penunjukan langsung dalam situasi tertentu dibolehkan oleh undang-undang.
Selain kasus yang tengah disidik oleh lembaga antirusuah, Lino juga tersangkut kasus pengadaan 10 mobile crane tahun 2012. Kasus ini masih disidik oleh Bareskrim Polri berdasarkan pengembangan kasus lamanya waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam kasus tersebut, Direktur Pelindo II Feriady Noerlan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Saat diperiksa di Bareskrim, 9 November lalu, Lino menjelaskan pengadaan crane tersebut sudah sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Pelindo II tentang prosesur pengadaan dan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 dan Peraturan Menteri BUMN No. 5 Tahun 2008. Lelang pertama dilakukan Agustus 2011 dan diikuti lima perusahaan. Namun, lelang itu tidak membuahkan hasil karena harga penawaran vendor dinilai masih ketinggian.
Tiga bulan berselang, lelang kembali digelar dan diikuti enam peserta. Belakangan, yang mengikuti lelang cuma peserta, yang akhirnya dimenangkan oleh Guanxi Equipment. Harga penawarannya Rp 45,6 miliar atau lebih rendah 23 persen dari anggaran yang ditetapkan Pelindo II. Lino juga mengaku telah menjalankan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu memberikan sanksi pemotongan harga sebesar lima persen kepada Guanxi karena keterlambatan pengadaan barang tersebut.
Selain KPK dan Bareskrim Polri, Lino juga harus menghadapi pemeriksaan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Oktober lalu. Pansus tersebut menindaklanjuti kasus yang tengah diperiksa Bareskrim dan mengungkap dugaan praktik-praktik penyimpangan lainnya di Pelindo II. Belakangan, pemeriksaan Pansus berkembang dengan menyoroti perpanjangan pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT), perusahaan patungan Pelindo II dengan Hutchison Port Indonesia. Pansus pun meminta BPK melakukan audit atas perpanjangan pengelolaan JICT tersebut.
Awal Desember lalu, BPK telah menyerahkan hasil audit itu kepada Pansus DPR. Berdasarkan hasil audit yang salinannya dimiliki Katadata, auditor BPK menjabarkan 10 poin yang yang menunjukkan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang berlaku da kelemahan pengendalian internal.dalam pengelolaan JICT. Pertama, Direktur Utama Pelindo II menandatangani Amandemen Perjanjian Pemberian Jasa-JICT Pelabuhan Tanjung Priok antara Pelindo II dan JICT serta revisi perjanjian kerjasama pengelolaan Terminal Peti Kemas III Tanjung Priok antara Pelindo dan Hutchison sebelum persetujuan RUPS.
Kedua, Menteri BUMN sebagai pemegang saham Pelindo II belum menetapkan status pemenuhan persyaratan atas persetujuan izin prinsip Amandemen Perjanjian Pemberian Kuasa-JICT Pelabuhan Tanjung Priok antara Pelindo II dan JICT.
Ketiga, saham JICT yang dimiliki Pelindo II belum sesuai dengan rekomendasi Dewan Komisaris dan persetujuan RUPS. Keempat, JICT belum memiliki izin usaha sebagai badan usaha pelabuhan dari Kementerian Perhubungan.
Kelima, klausul pembayaran PBB atas tanah HPL yang dikuasakan Pelindo II kepada JICT dalam Amandemen Perjanjian Pemberian Kuasa-JICT Pelabuhan Tanjung Priok belum sesuai dengan peraturan dan berpotensi membebani keuangan Pelindo II minimal Rp 563 miliar.
Keenam, pembayaran biaya pekerjaan konsultan terkait proses Amandeman Perjanjian Pemberian Kawasan JICT dan Revisi atas Perjanjian Kerja Sama untuk Pengelolaan Terminal Peti Kemas III Tanjung Priok belum sesuai dengan kontrak dan/atau peraturan perpajakan.
Ketujuh, penetapan nilai premium (up front fee) sebesar US$ 215 juta yang harus dibayar Hutchison Port Jakarta kepada Pelindo II belum optimal. Alhasil, belum mencukupi sebagai kompensasi kepemilikan 49 persen saham JICT. Kedelapan, penerimaan Pelindo II yang berasal dari pembayaran up front fee pada Amandemen Perjanjian Perpajakan Kerja Sama JICT dan KSO TPK Koja belum optimal.
Kesembilan, Pelindo II belum menerima pendapatan sewa atas empat unit Rubber Tyred Gantry (RTG) di Terminal II dari JICT sejak Juli hingga November 2015 minimal sebesar US$ 400 ribu.
Kesepuluh, Kementerian Perhubungan tidak menjalankan amanat Pasal 344 ayat (2) Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan belum melakukan pengaturan yang memadai terkait kerjasama antara BUMN dengan pihak ketiga di dalam Daerah Lingkungan Kerja (DLK).
Saat dikonfirmasi Katadata setelah munculnya hasil audit tersebut, Lino menyatakan, sesuai prosedur akan menyelesaikan 10 temuan BPK tersebut dalam waktu 60 hari sejak audit itu dirilis tanggal 1 Desember 2015. Dalam laporan audit tersebut, lanjut Lino, sudah dijelaskan bahwa tidak diperlukannya konsesi untuk perpanjangan kerjasama JICT.
Selain itu, Lino menjelaskan tidak ada kerugian negara dari masalah tersebut. Pada waktu kontrak ditandatangani, semua kondisi mengikat (binding) pihak Hutchison dan JICT tapi tidak mengikat pihak Pelindo II. Pasalnya, disebutkan bahwa kontrak ini baru efektif setelah ada keputusan Menteri BUMN, yang nyatanya baru terbit kurang lebih satu tahun sesudahnya. “Jadi tidak ada masalah,” tukas Lino.


